Menuju konten utama

Piringan Hitam Menolak Berhenti Berputar

Pada 2022 lalu, penjualan PH di AS telah melampaui penjualan CD untuk pertama kalinya sejak 1987.

Piringan Hitam Menolak Berhenti Berputar
Ilustrasi. Calon pembeli mendengarkan Piringan Hitam atau Vinyl grup band Bon Jovi yang diputar menggunakan Gramafon di jalan Surabaya, Menteng, Jakarta, Senin (1/8). Hingga kini piringan hitam masih diburu pecinta musik dan kolektor dengan harga Rp20.000 hingga Rp2 juta tergantung dari seberapa langka piringan hitam tersebut. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc/16.

tirto.id - Sekilas, keramaian pada kawasan M Bloc pada Jumat (5/5) malam itu tampak biasa. Maklum, sejak berdiri, M Bloc memang menjadi destinasi primadona bagi muda-mudi Ibu Kota dan sekitarnya. Tapi malam itu sedikit berbeda.

Sedikitnya dua puluhan orang telah mengantri untuk mendapatkan piringan hitam (PH) atau vinyl dari tiga album milik unit indie rock asal Jakarta, The Adams. Tak hanya bisa mendapatkan PH-nya saja, di hari itu mereka juga bisa mendapatkan tanda tangan (legalisir, jika merujuk ke istilah permusikan) dari para personil The Adams.

Mudah ditebak, PH The Adams pun laris manis. Tidak sampai semalam, PH lengkap dengan tanda tangan mereka sudah menghiasi lapak marketplace dengan harga yang dikatrol hingga menembus langit.

Selain faktor The Adams yang populer dan punya penggemar yang terus beregenerasi, kegilaan tersebut juga tidak terlepas dari popularitas PH yang tengah meroket dalam setidaknya satu dekade terakhir.

Industri Piringan Hitam yang Kian Menggiurkan

Laporan dari Recording Industry Association of America (RIAA) menyebutkan bahwa pada tahun 2022 lalu, penjualan PH di AS telah melampau penjualan CD untuk pertama kalinya sejak tahun 1987. RIAA mencatat bahwa setidaknmya terdapat 41 juta keping PH yang terjual pada tahun 2022 dibandingkan penjualan CD yang “hanya” mencapai 33 juta keping.

Menurut laporan Music Consumer Profile, mayoritas pembeli PH di AS justru merupakan Gen-Z yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Generasi yang lahir jauh setelah PH ditinggalkan oleh banyak orang karena digantikan oleh format yang lebih praktis.

Selain itu, data dari Billboard juga menunjukan bahwa PH yang laris di pasaran justru adalah rilisan dari album yang dirilis di era kiwari. Saat tulisan ini dibuat, tiga musisi yang memuncaki penjualan PH menurut Billboard adalah Ed Sheeran, Taylor Swift, dan Lana Del Rey. Tiga musisi yang besar —lagi-lagi— setelah PH ditinggalkan banyak orang.

Di Indonesia pun tidak jauh berbeda. Dalam beberapa tahun terakhir, rak-rak PH di toko musik Tanah Air tidak hanya dipenuhi oleh PH bekas lawas dari para musisi lawas seperti Koes Plus, tapi juga disesaki oleh rilisan PH dari band-band baru.

Selain The Adams, para musisi seperti Nadin Amizah, Hindia, Kunto Aji, The SIGIT, hingga White Shoes & The Couples Company, telah lebih dahulu merilis PH mereka. Rilisan vinyl dari band yang disebutkan terakhir bahkan telah menjadi folklore saking langka dan mahalnya.

“Belakangan di Indonesia mulai ada upaya pemecahan mitos bahwa vinyl tidak hanya untuk band lawas saja. Market terbesar vinyl di Indonesia justru adalah musik-musik baru,” ungkap co-founder PHR Pressing sekaligus founder Elevation Records, Taufiq Rahman,

Belakangan, tren merilis PH tersebut juga diikuti oleh major label. Musica Studio misalnya, kini rajin merilis katalog mereka dalam format PH, mulai dari musisi baru seperti D’Masiv dan Noah, hingga yang lebih klasik seperti Chrisye, Fariz RM, dan Nike Ardilla. Tidak ketinggalan juga Aquarius Musikindo yang pada tahun lalu merilis PH album-album Dewa 19 dan God Bless.

Tiap tahun pada bulan April, ribuan “pemadat” PH juga meramaikan event Record Store Day Indonesia yang diadopsi dari acara dengan nama yang sama di AS. Record Store Day biasanya tidak hanya menjadi ajang bagi para “pemadat” tersebut untuk memburu rilisan langka tapi juga ajang bagi musisi untuk merilis PH mereka.

Perlahan tapi pasti, meski belum ada data penjualan yang komprehensif seperti di AS, pasar PH di Indonesia terus bertumbuh tiap tahunnya.

Sinyal pertumbuhan tersebut kembali terasa saat Piringan Hitam Records (PHR) dan Elevation Records mengumumkan bahwa mereka resmi membuka PHR Pressing, pabrik piringan hitam (pressing plant) lokal di Indonesia untuk pertama kalinya setelah hampir 50 tahun.

Menurut Taufiq, pendirian PHR Pressing tidak terlepas dari sulitnya proses membuat vinyl bagi band lokal yang selama ini dilakukan di luar negeri dengan waktu yang bisa mencapai dua tahun untuk produksi satu album saja.

“Melonjaknya permintaan vinyl dunia akhirnya membuat pressing plant (pabrik vinyl) mengutamakan produksi album-album musisi dunia yang diproduksi dalam skala besar. Hal tersebut membuat produksi vinyl album musisi Indonesia yang umumnya hanya berjumlah ratusan tidak diutamakan” ungkap Taufiq.

Selain keterbatasan pressing plant, menurut Taufiq label dan musisi lokal juga kerap harus berhadapan dengan hal-hal teknis lain saat memproduksi vinyl di luar negeri, seperti persoalan bea masuk, pengiriman, hingga biaya-biaya tak terduga lainnya.

“Kita pikir akhirnya gak masuk akal kalau kita produksi vinyl di luar. Apalagi, setelah 50 tahun, sepertinya sudah waktunya Indonesia punya pressing plant lagi,” pungkas Taufiq.

Taufiq mengungkapkan bahwa saat ini PHR Pressing telah mulai beroperasi dan mulai menerima pesanan. Harapannya, pabrik dengan kapasitas produksi sebanyak 30 ribu keping vinyl per bulan tersebut mampu untuk menjawab permintaan vinyl baik dari para penggemar maupun musisi yang ingin merilis karya mereka dalam bentuk vinyl.

Harga pemesannya pun relatif terjangkau. Untuk pembuatan PH standar dengan berat 180 gram sebanyak 400 keping, PHR mengenakan biaya Rp160 ribu di luar pembuatan sampul. Durasi pengerjaannya pun relatif singkat, sekitar satu hingga dua bulan.

“Menariknya, banyak label dan lokal yang sebelumnya belum pernah merilis vinyl. Nama-nama yang tidak kita sangka akan merilis vinyl. Hal ini membuktikan asumsi kita bahwa pasar vinyl dapat berkembang apabila terdapat akses pressing plant di Indonesia,”

“Seperti kata Efek Rumah Kaca, Pasar Bisa Diciptakan,” kata Taufiq sembari tersenyum.

Bukan Sekadar “Gelembung”

Apa yang membuat PH jadi kembali laris di tengah dunia yang semakin digital ini?

Ada banyak penjelasan untuk ini. Soal nostalgia dan hal baru, misalkan. Mereka yang belum pernah merasakan pengalaman memutar PH, selalu penasaran untuk mencoba hal ini. Berbeda dengan mendengarkan musik di platform digital, mendengarkan PH perlu "ritual" yang rasa nostalgianya mirip dengan mendengarkan kaset pita: keluarkan PH dari kemasan, taruh di turntable, letakkan jarum, lalu baru diputar.

Lalu ada kepercayaan bahwa kualitas suara PH lebih baik ketimbang digital. Ini tentu dengan catatan: ia perlu didukung oleh sound system yang baik. Kalau PH tidak didukung oleh alat pemutar dan speaker yang bagus, jelas kualitasnya akan sama saja, bahkan terdengar lebih buruk ketimbang format lain, termasuk CD. Namun, PH dianggap punya kekhasan yang tak dipunyai format lain: suara kresek-kresek alias crackle yang muncul ketika jarum turntable menyentuh piringan hitam.

Infografik Vinyl

Infografik Vinyl. tirto.id/Fuad

Seperti yang ditulis di BBC Science Focus, "Menyebut suara vinyl itu lebih bagus ketimbang format musik lain, mungkin tidak akurat. Tapi jelas tidak ada yang bisa menyamai (sensasi) memutar vinyl."

Yang mungkin tak terlalu banyak dibahas adalah: bagi banyak orang, PH merupakan bagian dari gaya hidup kultur pop yang diadopsi sebagian masyarakat, utamanya muda-mudi. Tak bisa dipungkiri, satu foto dari sebuah album fisik PH di Instagram tentu lebih menarik dipamerkan dibandingkan postingan tangkapan layar music streaming, kan?

Faktor-faktor di atas penting untuk memahami kenapa PH terus bertumbuh, serta kenapa ia akan tetap bertahan. Pada akhirnya, vinyl memang barang niche yang akan selalu mendapatkan tempat di hati para penggemarnya. Sehingga sulit untuk membayangkan pesona PH akan pudar kembali seperti pada saat Ia dikalahkan oleh kaset dan CD beberapa dekade lalu.

Dengan berbagai terobosan seperti pendirian pabrik yang kian memudahkan produksi PH, hingga para label dan musisi yang kian rajin merilis katalognya dalam format PH, rasanya kita masih akan terus melihat pertumbuhan PH di Indonesia.

Selain itu, selama rak pajangan PH masih laris dilihat sebagai daya tarik di Instagram, pangsa pasar PH tentu akan baik-baik saja dan hal tersebut merupakan sinyal positif bagi musisi tanah air.

“Tidak bisa dipungkiri, rilisan fisik sudah mati di era internet seperti sekarang. Tidak ada lagi orang yang mendengarkan rilisan fisik secara serius selain segmen tertentu seperti kolektor. Tapi dibanding format fisik lain seperti CD dan kaset, the only way for musicians to make money from their physical release is vinyl,” tutup Taufiq.

Baca juga artikel terkait VINYL atau tulisan lainnya dari Ilham Shidqi Nurrahmadi

tirto.id - Musik
Kontributor: Ilham Shidqi Nurrahmadi
Penulis: Ilham Shidqi Nurrahmadi
Editor: Nuran Wibisono