tirto.id - Menarik minat warga untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya di pemilihan umum (pemilu) bukan kegiatan baru bagi Tommy Kurniawan. Pada Pemilu 2014, aktor pemeran Alan dalam film Eiffel I'm in Love ini maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) DPR lewat PKB di daerah pemilihan (dapil) Banten III. Lima tahun kemudian, Tommy maju lagi. Masih lewat PKB dan mengincar kursi DPR, tapi berlaga di dapil Jawa Barat (Jabar) V.
Baik di Pemilu 2014 maupun 2019, suara PKB di tingkat nasional melebihi ambang batas parlemen. Karena itu, suara yang dimiliki PKB berhak dikonversi menjadi kursi DPR.
Di Pemilu 2019, PKB meraih satu kursi DPR dari dapil Jabar V. Kursi itu bakal ditempati Tommy, sebab ia dapat 33.988 suara, tertinggi di antara semua caleg PKB di dapil tersebut. Ini berbeda dengan perolehan Tommy pada 2014. Meskipun PKB mendapat satu kursi, suara yang diperoleh Tommy kalah dari politikus PKB lain dari dapil Banten III. Walhasil, Tommy urung melenggang ke Senayan lima tahun lalu.
Namun, suara PKB, faktor utama pendorong Tommy lolos ke DPR, di dapil Jabar V sebenarnya pas-pasan, yakni 134.107 suara, dibuntuti secara ketat oleh Nasdem yang dapat 111.164 suara. Tiga caleg lain seperti Ravindra Airlangga dari Golkar, Faldo Maldini dari PAN, dan Teuku Taufiqulhadi dari Nasdem pun sebetulnya dapat suara yang lebih besar dari Tommy—sesuatu yang dimungkinkan terjadi karena penggunaan metode Sainte-Laguë untuk mengkonversi suara ke kursi.
PKB dan Tommy tidak sendiri. Partai dan caleg lain pun ada yang mengalami situasi serupa.
Pertanyaannya, berapa suara terkecil diraih partai-partai di Pemilu 2019 yang meloloskan kandidatnya ke DPR lewat suatu dapil? Berapa banyak suara yang diraup caleg yang diloloskannya? Dan berapa banyak dapil di mana caleg-caleg tersebut justru mendapat suara lebih kecil dari caleg partai lain yang tidak lolos?
Enam Partai Penguasa Dapil
Pemilu 2019 diikuti 20 partai. Sebanyak 16 di antaranya bertarung memperebutkan kursi DPR. Seluruh kandidat yang diajukan partai-partai itu mencapai hampir delapan ribu orang. Namun, hanya 575 di antaranya yang bakal melenggang ke Senayan, tempat anggota DPR berkantor.
Perebutan kursi DPR laiknya sebuah permainan dengan aturan-aturan tertentu. Aturan ini dibuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan Undang-undang 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Singkat kata, aturan-aturan ini membuat permainan menuju Senayan bertumpu di dua level berantai: nasional dan dapil. Disebut berantai sebab para pemain—dalam hal ini partai—mesti melewati level nasional dulu sebelum melangkah di level dapil.
Di level nasional, partai harus memenuhi ambang batas perolehan suara minimum empat persen total suara sah nasional di Pemilu 2019 agar ia diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR. Dari 16 partai, yang memenuhi syarat ini hanya sembilan partai: PKB, Gerindra, PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, PKS, PPP, PAN, dan Demokrat. Sembilan partai inilah yang lolos ke level dapil.
Level dapil ada karena delapan ribu caleg tidak benar-benar memperebutkan 575 kursi. Yang terjadi sebetulnya ialah partai-partai menempatkan caleg-calegnya di 80 dapil untuk memperebutkan sejumlah kursi yang dialokasikan untuk dapil tersebut. Alokasi kursi setiap dapil paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 10 kursi.
Di level dapil, suara partai yang lolos level nasional dikonversi ke kursi menggunakan metode Sainte-Laguë: suara partai di dapil dibagi 1, 3, 5, hingga seterusnya, lalu kursi-kursi diberikan ke partai-partai secara berurutan berdasarkan hasil pembagian suara partai itu dengan bilangan-bilangan tersebut.
Ambillah contoh dapil Kalimantan Utara (Kaltara) yang punya alokasi 3 kursi. Ketika suara dikonversi ke kursi menggunakan metode Sainte-Laguë, kursi pertama jatuh ke PDI Perjuangan. Kursi kedua ke Nasdem. Lalu, kursi ketiga ke Demokrat.
Partai pemilik kursi pertama jelas partai pemilik suara terbanyak pertama di dapil tersebut. Menariknya, kursi pertama itu jatuh ke enam partai saja: PDI Perjuangan, Gerindra, Golkar, Nasdem, dan PKS. PDI merupakan pemilik kursi pertama di 38 dapil, terbanyak dibanding partai lain. Sedangkan Gerindra meraup kursi pertama di 16 dapil, terbanyak kedua setelah PDI Perjuangan.
Meski demikian, sebetulnya tidak perlu suara sebesar itu untuk meloloskan satu kandidat ke DPR. Partai yang meloloskan satu kandidatnya ke DPR, tapi suaranya lebih kecil dari partai-partai lain yang meloloskan kandidatnya ke DPR juga ada, seperti PKB di Jabar V. Partai semacam ini yang ingin ditelisik lebih lanjut dalam artikel ini. Selanjutnya, partai kategori ini disebut partai pemilik suara terkecil.
Setelah data perolehan suara partai di dapil dibedah, sembilan partai yang lolos level nasional mencicipi posisi partai pemilik suara terkecil di dapil-dapil yang berbeda. Demokrat adalah partai dengan suara terkecil di 16 dapil, terbanyak di antara partai-partai lain. Sedangkan PDI Perjuangan menempati posisi itu di 3 dapil, paling sedikit di antara partai-partai lain.
Bila dikuliti lebih dalam, didapat dua kasus partai pemilik suara terkecil.
Kasus pertama, partai pemilik suara terkecil sekaligus partai pemilik kursi terakhir di dapil. Misalnya, di dapil Kalimantan Barat (Kalbar) II yang dapat alokasi 4 kursi. Di dapil ini, kursi pertama jatuh ke PDI Perjuangan. Kursi kedua ke Nasdem. Kursi ketiga ke PDI Perjuangan, sedangkan kursi keempat jatuh ke Golkar.
Kasus kedua, partai pemilik suara terkecil, tetapi bukan pemilik kursi terakhir di dapil. Contohnya adalah dapil Kalimantan Selatan (Kalsel) II. Dapil ini dapat jatah 5 kursi. Kursi pertama jatuh ke PDIP. Kursi kedua ke Golkar. Kursi ketiga ke Gerindra. Kursi keempat ke PKB. Lalu, kursi kelima didapat PDI Perjuangan.
Dalam kasus pertama, Golkar ialah partai pemilik suara terkecil di dapil yang meloloskan kandidatnya ke DPR. Di kasus kedua, kendati bukan pemilik kursi terakhir, PKB di dapil Kalsel II juga merupakan partai pemilik suara terkecil di dapil yang meloloskan kandidatnya ke DPR.
Suara terkecil partai yang meloloskan kandidatnya ke DPR lewat suatu dapil merentang dari yang paling kecil 37.616 (Demokrat di dapil Kalimantan Utara) hingga paling besar 236.697 (Golkar di dapil Sulawesi Utara). Rata-rata suara terkecil partai yang meloloskan kandidatnya ke DPR lewat suatu dapil senilai 122.194,84.
Persentase suara terkecil partai yang meloloskan kandidatnya ke DPR terhadap total suara partai lolos ambang batas parlemen di dapil merentang dari 4,56 persen (PKB di dapil Papua) hingga 18,96 persen (PDIP di dapil Papua Barat).
Di 25 dapil, jarak antara partai partai pemilik suara terbesar dan suara terkecil begitu besar, yakni lebih dari 20 persen. Di dapil Bali, misalnya, partai pemilik suara terbesar, PDI Perjuangan, meraup 56,65 persen suara. Sedangkan partai pemilik suara terkecil, Demokrat, meraih hanya 5,35 persen suara.
Menarik untuk menilik partai yang urutan perolehan suaranya satu peringkat di bawah partai pemilik suara terkecil.
Di dapil Tommy Kurniawan, Jabar V, misalnya, Nasdem berada satu peringkat di bawah PKB. Perolehan suara Nasdem sebesar 111.164, selisih 22.943 di bawah PKB. Selisih itu tampak besar, tetapi hanya setara 0,97 persen dari total suara sembilan partai yang lolos ambang batas parlemen di dapil Jabar V. Artinya, PKB pas-pasan betul meloloskan Tommy dari Jabar V.
Selain di Jabar V, di 23 dapil lainnya selisih persentase suara partai pemilik suara terkecil dengan partai yang satu peringkat di bawahnya juga tidak sampai 1 persen.
Persaingan sangat ketat ada di dapil Jawa Tengah (Jateng) VI dan Sulawesi Tengah (Sulteng). Di Jateng VI, ada Nasdem yang perolehannya 242 suara (0,01 persen) lebih kecil dari Demokrat, partai pemilik suara terkecil di dapil itu yang meloloskan kandidatnya ke DPR. Sementara partai pemilik suara terkecil di Sulteng, PKS, hanya beda 104 suara (0,01 persen) dari PKB yang satu peringkat di bawahnya.
Meskipun pas-pasan, tetap saja partai-partai di atas telah berhasil meloloskan satu kandidatnya ke DPR lewat dapil tersebut. Suara yang diraup caleg tersebut merentang dari 18.905 (Hasan Saleh dapil Kalimantan Utara) hingga 128.906 (Teuku Riefky Harsya dapil Aceh I) dengan rata-sata 48.186,44.
Suara caleg-caleg yang melenggang ke Senayan ini tertinggi dibanding caleg-caleg separtai. Namun, seperti kasus Tommy di muka, tidak selalu suara mereka lebih besar dari caleg pesaing terdekatnya.
Lihat Ilustrasi di atas. Di suatu partai, ada caleg yang perolehan suaranya tertinggi setelah caleg-caleg dari partainya yang lolos ke DPR. Otomatis bila partainya tidak meloloskan satu caleg pun ke DPR, dia adalah pemilik suara tertinggi pertama di partainya. Caleg yang perolehan suaranya paling besar di antara caleg-caleg inilah yang disebut caleg pesaing terdekat.
Misalnya di dapil Kalbar II yang punya alokasi 4 kursi. PDI Perjuangan dapat dua kursi (untuk Lasarus dan Krisantus Kurniawan). Dua kursi sisanya diraih Nasdem (Yessy Melania) dan Golkar (Adrianus Asia Sidot). Dalam hal ini, caleg yang berasal dari partai pemilik suara terkecil ialah Adrianus.
Untuk melihat pas-pasannya caleg dari partai pemilik suara terkecil, tengok saja selisih persentase suara Adrianus dengan persentase suara caleg pesaing terdekatnya, Simon Petrus dari Demokrat.
Nama Simon Petrus didapat dengan cara berikut. Satu peringkat di bawah Krisantus di PDI Perjuangan, ada Yulistia Harty. Satu peringkat di bawah Yessy di Nasdem, ada Muhammad Mochlis. Kedua caleg ini, kemudian, dibandingkan dengan caleg pemilik suara tertinggi di enam partai yang tidak meloloskan kandidatnya ke DPR lewat Kalbar II. Walhasil, yang perolehan suaranya tertinggi di antara mereka ialah Simon Petrus, pemilik suara tertinggi di Demokrat dapil Kalbar II.
Setelah dibandingkan, suara Adrianus ternyata lebih kecil 4.048 suara daripada suara Krisantus. Karena itu, batang dalam grafik bagian Kalbar II di bawah ini mencuat ke bawah—menandakan negatif.
Setelah didedah lebih dalam, di 61 dari 80 dapil, selisih suara caleg dari partai pemillik suara terkecil dengan caleg pesaing terdekatnya negatif. Selisih negatif paling tebal ada di angka minus 3,62 persen, yakni di dapil Jatim IX. Sedangkan selisih positif paling tebal ada di angka 4,77 persen, yakni di Kalsel II.Temuan ini memperlihatkan sebesar apa pun suara caleg, suara partai tetap yang utama karena suara partailah yang bakal dikonversi ke kursi menggunakan Sainte-Laguë. Di 61 dapil itu, misalnya, caleg-caleg terbukti cukup populer, tetapi partai mereka tidak sekuat itu untuk lolos ke DPR.
Tentu, diberlakukannya sistem proporsional terbuka sejak Pemilu 2009 membuat popularitas partai di dapil tidak semata-mata tanggung jawab pengurus partai di pusat, tetapi juga bergantung kerja-kerja para caleg di dapil.
Editor: Maulida Sri Handayani