tirto.id - Kehidupan komedian Charlie Chaplin harus berubah pada tahun 1952. Dia tidak lagi diperbolehkan menginjakkan kaki di Amerika Serikat. Pemerintah AS, khususnya FBI, menuduhnya sebagai simpatisan komunis meski tanpa bukti yang jelas. Atas larangan itu, alih-alih berjuang untuk kembali masuk ke Negeri Paman Sam, Chaplin terpaksa memilih meninggalkan karier aktornya di Hollywood dan bermukim di Swiss sembari merutuk bahwa ini hanya akal-akalan pemerintah AS.
“Sejak akhir perang dunia terakhir (Perang Dunia II), saya telah menjadi objek kebohongan dan propaganda oleh kelompok-kelompok reaksioner kuat yang dengan pengaruh mereka dan dengan bantuan ‘pers kuning’ Amerika, telah menciptakan atmosfer tidak sehat di mana mereka yang berpikiran liberal individu dapat dipilih dan dianiaya,” ujar Chaplin seperti dikutip Biography.
Kisah Chaplin hanyalah segelintir dari korban-korban pemerintah AS dalam rangkaian “McCarthyism” dalam episode The Second Red Scare alias gelombang anti-komunis jilid kedua. Rangkaian ini bermula ketika senator Wisconsin dari Partai Republik, Joseph McCarthy, berpidatonya di West Virginia pada 9 Februari 1950, tepat hari 71 tahun lalu. Pidato tersebut berisi pernyataan McCarthy tentang infiltrasi simpatisan komunis di Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Ia mengklaim memiliki daftar 200 nama lebih terkait penyusupan tersebut.
Dalam pidatonya, ia terang-terangan menyebut beberapa nama pegawai yang konon menjadi simpatisan sembari membeberkan bukti-bukti yang hanya diyakini oleh dirinya tanpa kebenaran pasti. Ia misalnya menyebut nama Mary Jane Kenny, seorang pegawai departemen, yang diduga sebagai kurir untuk Partai Komunis.
Sejak pernyataan kontroversialnya, dimulailah aksi investigasi dan saling menuduh komunis tanpa bukti kuat yang dikenal dengan sebutan “McCarthyism”. Istilah ini pertama kali muncul pada Maret 1950 ketika surat kabar Washington Post memublikasikan kartun dari empat tokoh Partai Republik yang diberi label “McChartyism”.
Senarai Korban McChartyisme
Tidak lama setelah McCarthy mengakhiri pidatonya, pernyataannya langsung menjadi sorotan nasional dan menyita perhatian publik. Hal ini tidak lepas dari situasi global yang sedang mengalami Perang Dingin dan meluasnya pengaruh komunisme di Eropa Timur serta Cina. Dalam kondisi seperti itu, omongan McCarthy seakan dapat dibuktikan dengan melihat situasi global sehingga tidak sedikit masyarakat AS yang memercayainya.
Ini berdampak pada meningkatnya kekhawatiran masyarakat bahwa pengaruh komunisme di AS sudah meluas, sampai-sampai dapat menyusup ke dalam lembaga pemerintahan. Apalagi sebelumnya, pada Maret 1947, sudah dilakukan analisis di dalam tubuh pemerintahan AS terkait komunisme.
Saat itu, melalui Presiden Harry S. Truman, pemerintah AS mengeluarkan Truman’s Loyalty Program yang berupaya melihat kesetiaan pegawai pemerintah dan mengharuskannya bersumpah setia kepada pemerintah. Tujuannya untuk melihat dan mengantisipasi infilitrasi simpatisan komunis di dalam tubuh lembaga pemerintahan di AS. Hasilnya hanya sedikit pegawai yang kesetiaannya kepada negara diragukan. Belakangan, program ini menuai tanda tanya ketika muncul klaim McCarthy. Publik bertanya-tanya keefektifan program ini dalam mengantisipasi simpatisan komunis.
Meski demikian, setelah pidatonya upaya penyebaran bahaya laten komunis terus-menerus dilakukan McCarthy hingga membangkitkan ketakutan masyarakat kepada hal-hal berbau komunis. Praktik investigasi dan aksi tuduhan tanpa dasar terus berjalan sehingga nama McCarhty semakin melambung.
Pada awal “McCarthyism” berjalan, praktik ini hanya menyasar pegawai pemerintah. Tetapi kemudian menyasar juga masyarakat di semua lapisan dan profesi, seperti seniman, politikus, diplomat, akademisi, dan lain-lain.
Di industri perfilman ternama, Hollywood, McCarthy menggandeng House Un-American Activities Committee (HUAC) untuk melakukan investigasi mendalam. HUAC adalah komite yang sudah ada jauh sebelum McCarthy muncul, tepatnya sejak 1938 dan bertugas menemukan orang-orang terduga komunis. HUAC sebetulnya sudah melakukan investigasi terhadap Hollywood sejak tahun 1947. Akan tetapi, pada tahun 1951, HUAC bersama McCarthy kembali melakukan penyelidikan di Hollywood untuk mengetahui orang-orang industri film yang terduga komunis atau simpatisannya.
Mereka melakukan investigasi mendalam kepada orang-orang di Hollywood terkait aktivitasnya yang mengarah pada komunisme. Menurut David Schult, guru besar ilmu politik Hamline University, dalam artikelnya tentang HUAC yang terbit tahun 2009, terdapat hampir 300 orang yang terjaring dalam investigasi ini. Nama mereka masuk dalam daftar hitam terduga komunis. Selain itu, film-film yang mengarah pada komunisme atau “kekirian” terpaksa berhenti tayang dan dilarang. Seketika orientasi film Hollywood mulai ada yang mempropagandakan anti-komunis.
Penyelidikan ini semakin meluas pada tahun 1953 ketika McCarthy dan HUAC melakukan dialog di senat. Sejak itu kongres memulai penyelidikan yang menyeluruh terhadap aktivitas politik masyarakat AS di semua lapisan dan profesi. Penyelidikan itu tidak hanya mengarah pada masyarakat yang memiliki aktivitas politik ke arah “kiri”, tetapi juga mengarah pada masyarakat yang tidak memiliki pandangan komunisme.
Selain dilakukan oleh McCarthy dan HUAC, menurut Austin Yost dalam artikel “Seeing Red in Double Vision” (2013), praktik investigasi anti-komunis turut dilakukan oleh FBI melalui Responsibilities Program sekitar tahun 1951-1955. Di bawah pimpinan Edgar Hoover—seorang yang gigih terhadap perjuangan anti-komunis—FBI melakukan aksi mata-mata untuk mengungkap masyarakat terduga komunis dan melakukan pencarian serta penelaahan dokumen yang dapat menjadi bukti adanya aktivitas komunis. Hasilnya banyak orang yang masuk dalam daftar hitam terduga komunis.
Masuknya seseorang ke dalam daftar hitam tersebut berakibat fatal. Apapun profesinya, jika namanya berada dalam daftar hitam, bisa kehilangan pekerjaan dan reputasinya ternoda.
Melawan McCarthyisme
Walaupun dilatari dalih menjaga keamanan nasional, praktik ini melanggar Amandemen pertama dan keempat belas dalam konstitusi AS. Banyak yang menilai praktik ini merupakan sarana untuk memaksa orang agar mengikuti pandangan politik populer anti-komunis, sehingga dianggap sebagai pembatasan hak-hak sipil dan kebebasan masyarakat.
Meskipun pada Januari 1954 terdapat jajak pendapat yang mengungkap bahwa 50 persen publik AS mendukung McCarthy, tetapi gaung perlawanan terhadap McCarthyisme tidak pernah surut. Salah satu yang melakukan perlawanan adalah Egbert Roscoe Murrow, jurnalis yang mendirikan program televisi bertajuk See it Now pada tahun 1951.
Melalui program televisinya, pada tahun 1954 Murrow melakukan kritik terhadap situasi The Second Red Scare dan McCarthy terkait bahaya yang mengancam demokrasi AS. Tayangan ini menarik perhatian masyarakat dan tak sedikit yang mendukung Murrow. Atas kritikan seperti itu, McCarthy tidak tinggal diam dan lagi-lagi melontarkan tuduhan tak berdasar: Murrow sebagai simpatisan komunis. Akan tetapi, publik lebih simpati terhadap Murrow dan mengabaikan tuduhan McCarthy. Dampaknya, popularitas McCarthy di mata publik anjlok.
Tak hanya gaung perlawanan yang membuat popularitas senator itu menurun, meredupnya praktik ini justru disebabkan oleh tindakan dirinya sendiri yang menuduh beberapa anggota militer Angkatan Darat sebagai simpatisan komunis.
Dilansir dari Britannica, pada tahun 1954 dalam sebuah dialog yang disiarkan di televisi, McCarthy menuduh terdapat infiltrasi komunis ke satuan sinyal militer Angkatan Darat AS. Tuduhan tanpa dasar ini tentu saja menuai kecaman dari pihak militer AS yang dikenal dengan loyalitas yang tinggi. Mereka tidak terima atas tuduhan McCarthy, sehingga banyak yang tidak menyukai McCarthy setelah pernyataan tersebut.
Dari sinilah popularitasnya semakin anjlok hingga ia turun dari kursi senat pada tahun yang sama. Sampai akhir hayatnya pada 1957, tuduhan Joseph McCarthy kepada orang yang terduga komunis atau simpatisan komunisme tidak terbukti valid.
==========
Muhammad Fakhriansyah adalah mahasiswa semester akhir di Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta.
Editor: Irfan Teguh Pribadi