tirto.id - "Biasanya tradisi Hari Guru dipenuhi oleh kata-kata inspiratif dan retorik. Mohon maaf, tetapi hari ini pidato saya akan sedikit berbeda. Saya ingin bicara apa adanya dengan hati yang tulus, kepada semua guru di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke..."
Demikian penggalan pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang akan disampaikan dalam peringatan Hari Guru Senin, 25 November 2019.
Di kalangan para guru, pidato singkat itu jadi perbincangan hangat dan mendapat apresiasi sekaligus kritik.
Ia diapresiasi karena kesadarannya soal beban guru atas tugas-tugas administratif, kewajiban mengejar angka-angka penilaian yang tak sepenuhnya bisa mengukur potensi siswa, serta kurikulum yang terlalu padat hingga guru sulit berinovasi dalam proses mengajar.
Tapi di sisi lain, pidato tersebut dianggap sekadar retorika kosong jika tak dilanjutkan dengan aksi nyata. Apalagi, imbauan Nadiem bukan lah hal baru. Hal serupa juga disampaikan Presiden Joko Widodo pada puncak Perayaan Hari Guru 2 Desember 2017 lalu.
Setidaknya hal itu lah yang disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi saat dihubungi pada Minggu (24/11/2019).
"Jadi mau ngomong apapun, pak presiden saja sudah ngomong berkali-kali. Yang kita tunggu setelah berbicara ini Pak Nadiem turun membedah, baru itu punya makna. Selama itu tidak turun membedah, itu tidak akan ada maknanya," kata Unifah.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim menuturkan, beban guru dalam urusan adminsitratif masih terlihat dari kewajiban untuk menyusun Rencana Pelaksanaan Pelajaran (RPP).
Guru, kata Satriwan, harus merinci bagan pembelajaran tatap muka untuk mengarahkan kegiatan pembelajaran peserta didik dalam upaya mencapai Kompetensi Dasar seperti diamantkan Peraturan Mendikbud nomor 65 tahun 2013.
Dalam Bab 3 Lampiran beleid tersebut, ada 13 komponen yang harus dimuat dalam RPP, mulai dari identitas sekolah, kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi, materi pembelajaran dan metode pembelajaran hingga langkah-langkah pembelajaran.
"Kan sudah diakui oleh Kemdikbud dan mereka sendiri yang membuat aturan membelenggu itu. Mestinya jangan beretorika tapi wujud langsung regulasi karena Anda yang punya power," kata Satriwan saat dihubungi pada Minggu (24/11/2019).
Selain urusan regulasi yang tak kalah penting ialah menginternalisasi visi menteri sampai ke bawahan-bawahannya. Mulai dari tingkat eselon, kepala dinas, sampai ke tingkat kepala sekolah di daerah.
Tahun 2015, misalnya, Mendikbud Anies Baswedan tidak lagi menjadikan nilai ujian nasional sebagai syarat kelulusan. Nyatanya, guru-guru dan kepala dinas di daerah masih sibuk mendorong siswa mendapatkan nilai tinggi di Ujian Nasional.
Hal tersebut, kata Satriawan, semata karena urusan gengsi. "Gengsinya siapa? Gengsinya sekolah, gengsinya pengawas, gengsinya walikota dan bupati, gengsinya gubernur. Kalau ada di daerah itu yang sekolahnya nilai UN nya rendah ya mereka malu," tuturnya.
Lantaran itu lah, bagi FSGI, pidato Mendikbud justru kontradiktif dengan kenyataan di lapangan serta ambigu.
Pertama Nadiem seolah mengakui "dosa-dosa" pemerintah kepada guru, tapi di sisi lain ia justru meminta guru yang mulai melakukan perubahan dan mengesankan sikap lepas tangan pemerintah: "perubahan tidak dapat dimulai dari atas".
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Hendra Friana