tirto.id - "Terkadang kupikir FIFA lupa bahwa ia bukan pemilik sepak bola. Piala Dunia seharusnya sungguh-sungguh untuk dunia, tapi FIFA tidak membaginya dengan dunia," ujar Jens Tang Olesen, pelatih asal Denmark yang menukangi timnas Greenland periode 2004-2010.
Sepekan saja sebelum Piala Dunia 2006 digelar di Jerman, sebuah turnamen sepak bola dunia alternatif digelar di Hamburg. Timnas Greenland yang tak tergabung dalam FIFA adalah salah satu tim pertama yang mengiyakan ajakan tampil turnamen bernama FIFI Wild Cup itu.
Tak jarang, ide cemerlang datang dari sesi minum-minum. Dalam salah satu sesi itu, manajemen klub St. Pauli mencetuskan untuk mendirikan organisasi FIFA gadungan. Ia lantas dinamai Federation of Independent Football Nations. Alih-alih disingkat FIFN, para penggagas organisasi justru menyingkatnya FIFI—mungkin demi totalitas sebagai FIFA gadungan.
FIFIlalu merancang piala dunia versi mereka sendiri, itulah FIFI Wild Cup.
Seperti tertuang dalam buku Outcasts! karya Steve Menary, St. Pauli dengan sponsor agensi judi My Bet berhasil mendatangkan lima timnas non-FIFA (Greenland, Zanzibar, Tibet, Northern Cyprus, dan Gibraltar) sekaligus menyajikan pelayanan kelas satu untuk para tamu yang mungkin selamanya tak akan pernah berlaga di turnamen profesional.
Meski berangkat dari keisengan, FIFI Wild Cup sukses direalisasikan. Itu sebetulnya sama sekali tak mengejutkan, mengingat ide itu datang dari St. Pauli, "klub nomor dua" di Kota Hamburg dengan barisan fan sayap kirinya yang lekat dengan kesan dan gestur antikemapanan.
FIFI Wild Cup pada akhirnya dimenangi Northern Cyprus, sebuah tim dari negara de facto yang kedaulatannya hanya diakui Turki semata.
Terangnya ada tensi geopolitik antara Turki dan Siprus di balik keberadaan timnas itu. Dan tentunya, ada kebijakan yang sangat politis dari FIFA yang membuat tim seperti Northern Cyprus luntang-lantung dari satu turnamen non-FIFA ke turnamen lainnya.
FIFA, organisasi sepak bola terbesar itu, menaungi sebanyak 209 anggota. Di antaranya, terdapat 23 anggota yang bukanlah negara merdeka, melainkan subnasional, teritori dependen, atau negara-negara dengan pengakuan terbatas.
Maka Menary, di esainya yang lain, mempertanyakan hal tersebut, "Kriteria FIFA yang paling penting adalah bahwa anggota baru harus diakui oleh komunitas internasional, tapi apa sebenarnya itu? Komunitas politik internasional? Komunitas olahraga internasional? Masyarakat ekonomi internasional?”
FIFA juga inkonsisten. Kendati sama-sama memiliki otonomi, lantas mengapa FIFA menolak Zanzibar (yang menjadi bagian dari Tanzania), tapi menerima New Caledonia (bagian dari Prancis)?
Menilik hal itu, Menary menarik konklusi bahwa FIFA bisa saja mengutak-atik peraturannya sendiri agar entitas politik tertentu bisa diakui. Organisasi itu akan terus bergantung pada situasi politik internasional. Sesungguhnya, ia bergantung pada opini lima negara anggota UN Security Council yang kini menentukan siapa saja yang berhak tampil di pegelaran sepak bola internasional.
Namun,soal ini bisa dibahas lain kali. Yang terang, pasti ada jalan lain untuk memainkan sepak bola ketika FIFA mengisolasimu atau tatkala keabsahan identitasmu dinafikan “komunitas internasional”.
Piala Dunia Alternatif
Selain FIFI Wild Cup pada 2006, masih ada sederet "piala dunia" lain yang pernah digelar di beberapa negara. Pada tahun yang sama, ELF Cup (Equality, Liberty, Fraternity) digelar untuk para anggota N-F Board, organisasi yang membawahi tim-tim nasional yang tak tergabung di FIFA.
Beberapa anggota FIFA turut diundang untuk menghadiri turnamen yang dihelat di North Cyprus itu. Tuan rumah berhasil menjadi juara usai menundukkan Crimean Tatars dengan skor 3-1 di laga final.
N-F Board juga melangsungkan lima edisi Viva World Cup dari 2006 hingga 2012. Turnamen-turnamen tingkat global itu diselenggarakan di kawasan-kawasan seperti Occitania hingga Kurdistan. Bersama Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO), N-F Board juga menggelar dua edisi UNPO Cup yang dimainkan di The Hague, Belanda. West Papua turut berpartisipasi dalam turnamen pertamanya pada 2005, sementara South Moluccas (Maluku Selatan) berhasil merebut gelar juara.
Dari segi teknis, kualitas tim-tim peserta dalam turnamen-turnamenitu tentu tak seberapa jika dibandingkan bahkan dengan laga-laga terburuk FIFA World Cup. Kelewat jauh pula bila membandingkan persiapan dan fasilitas latihan mereka dengan tim-tim nasional resmi di bawah naungan FIFA.
Namun di sanalah, para pemain berkesempatan mengenakan jersei tim nasional mereka yang tak diakui dan para suporternya mengibarkan bendera serta menyanyikan lagu-lagu nasional terlarang.
Dari segi jumlah anggotanya, FIFA memang tampak lebih luwes ketimbang PBB. Kendati demikian, ia tetap tak seluwes CONIFA (Confederation of Independent Football Associations) yang merangkul timnas dari komunitas marjinal.
Sebutlah misalnya timnas dari kawasan konflik seperti Rohingya dan Abkhazia, kesebelasan berbasis etnis pengembara seperti Romani dan Sápmi, skuad yang menghendaki unifikasi seperti United Koreans in Japan (diperkuat pemain-pemain Korea Selatan, Korea Utara, dan Jepang), hingga mereka yang datang hanya demi olahraga seperti Yorkshire dari Britania.
Piala dunia di bawah naungan organisasi nonprofit ini, CONIFA World Football Cup, berlaku sebagai suksesor Viva World Cup. Ia pelanjut estafet turnamen sepak bola untuk etnis minoritas, orang-orang tanpa negara, dan bangsa-bangsa tak merdeka.
CONIFA World Football Cup yang dimulai sebagai turnamen penggoyangstatus quo FIFA kini telah menjelma menjadi lebih banyak turnamen berbasis region dan bahkan piala dunia Perempuan.
Panggung Kecil yang Tak Mudah Digapai
Sepak bola tetap menemukan jalannya ke pulau-pulau terjauh di tengah samudera, juga ke daratan yang dirobek ketamakan akan lahan dan kekuasaan. Mungkin demi mimpi menjadi Messi baru, menjelma Maldini dan Buffon berikutnya, mungkin karena ia akhirnya bisa dimainkan.
“Legenda sepak bola Pele berasal dari kota kecil di Brazil. Mungkin tak ada yang tahu tentangnya jika dia tidak diberi kesempatan untuk memainkan permainan ini,” ujar Slava Gabrielyan, pelatih tim nasional Artsakh.
Di Artsakh—kawasan yang berada di selatan pegunungan Kaukasia dan dikenal juga dengan sebutan Nagoro-Karabakh—di mana konflik seperti tak berkesudahan, sepak bola adalah salah satu olahraga paling dicintai. Bagi Gabrielyan, bergabungnya Artsakh dengan CONIFA ialah jalan untuk memastikan para pemainnya mendapatkan latihan kompetitif yang teratur.
“Kami berharap suatu hari nanti kami akan menyaksikan bintang sepak bola internasional yang sedang naik daun yang mungkin berasal dari Artsakh,” harapnya.
Bergeser lebih jauh ke Timur—tepatnya kawasan yang dijuluki "atap dunia", ada kisah tak jauh berbeda. Tibet, kawasan itu, telah dianeksasi China sejak 1950.
"Di Tibet, kami hampir tidak bisa mempelajari bahasa, sejarah, dan realitas dunia kami," ujar Jamyang Chotso.
Chotso merupakan salah satu dari banyak pengungsi Tibet yang melarikan diri dari tanah mereka.
"Kami tidak pernah tahu apa yang akan dilakukan pemerintah China terhadap kami," lanjut perempuan itu, merefleksikan fakta bahwa dia tidak akan pernah bertemu orang tuanya lagi.
Chotso tak begitu paham apa yang dulu terjadi. Yang pasti, orang tuanya mengirimnya ke India sedari usia 8 tahun. Olahraga lalu menjadi pelariannya. Namun, tak ada turnamen sepak bola untuk unjuk kebolehan dan sepak bola sendiri bukanlah bagian dari kultur komunitasnya.
Hingga akhirnya CONIFA Women's World Football Cup dihelat dan Chotso mengapteni timnya yang beranggotakan para diaspora Tibet.
Perjalanan Chotso dan timnya tidaklah mentereng. Timnas Tibet diempaskan timnas Sápmi (orang-orang suku Sápmi yang tersebar di Rusia dan Negeri-negeri Nordik) dua kali dengan skor telak di turnamen itu. Namun pada tahap ini, menang atau kalah di lapangan bukan soal yang terpenting. Bisa bermain mewakili bangsanya saja sudah perkara luar biasa.
Selain tim diaspora Tibet dan Sápmi, CONIFA Women's World Football Cup juga diikuti oleh timnas Matabeleland dan Székely Land. Sayangnya, tim dari barat Zimbabwe itu mengundurkan diri lantaran permasalahan visa, sementara Székely Land harus absen karena alasan yang tak dijelaskan.
Tantangan untuk ikut dalam turnamen-turnamen alternatif sungguhlah berat. Tim laki-laki Matabeleland, misalnya, kepayahan mengumpulkan bujet $25,000 demi menerbangkan mereka ke London untuk ikut CONIFA World Football Cup edisi ketiga pada 2018. Tim nasional Romani bahkan harus mengundurkan diri karena alasan serupa.
Tim nasional Kabylia (mewakili orang-orang Berber dari Afrika Utara) datang dengan skuad tak utuh karena visa enam pemain mereka ditolak masuk Britania. Manajer mereka, Aksel Bellabbaci, mengaku beberapa kali ditangkap oleh kepolisian Aljazair saat menyelesaikan persiapan timnya untuk turnamen tersebut. Para pemain bahkan diperingatkan oleh pihak berwenang bahwa hidup mereka akan dipersulit saat kembali ke rumah.
Ada orang-orang yang memperjuangkan filosofi sepak bola bisa dimainkan siapa saja, dari identitas apa pun, tanpa terkungkung aturan-aturan bias FIFA. Namun, negara-negara “induk” dari komunitas-komunitas tak diakui itu juga tak tinggal diam.
Saat FIFI Wild Cup hendak digelar, Kedutaan Besar China menelepon manajemen St. Pauli dan meminta mereka untuk membatalkan undangan bagi Tibet. Jauh-jauh hari sebelumnya, ketika Tibet hendak bertanding melawan Greenland di Denmark, China juga disebut mengancam industri ekspor udang Greenland. FIFA juga disebut mencoba menghentikan pertandingan tersebut.
Itu baru sebagian gambaran sulitnya memainkan sepak bola seraya mengusung identitas bangsa yang tak diakui “komunitas internasional”.
Senantiasa Politis
"Kami tidak peduli dengan politik," kata Wakil Presiden Federasi Sepak Bola Northern Cyprus Orcun Kamali. “Kami ingin bermain sepak bola. Itu sebabnya kami ada di sini [Piala Dunia CONIFA].”
CONIFA juga selaras dengan Kamali, mempertahankan gagasan bahwa mereka "netral secara politik". Per-Anders Blind, salah satu pendiri dan presiden CONIFA, mengatakan bahwa pihaknya justru berupaya mempromosikan inklusivitas.
“Ini sangat alami bagi kami,” katanya. “Kami tidak pernah membicarakan politik sama sekali dan tidak peduli tentang itu. Sungguh. Politisi hari ini hanya mencoba membangun perbatasan dan memisahkan orang satu sama lain. Saya melihat CONIFA sebagai gerakan balasan.”
Namun, “netral secara politik” adalah juga pandangan politik, sebagaimana “tak peduli politik” juga merupakan langkah politis. Pendirian macam itu jelas memancing resistensi dari para “pengatur batas-batas negara”.
Ketika norma geopolitik dilibatkan, sekadar memainkan sepak bola bisa tiba-tiba membutuhkan nyali yang tak kecil. Apa yang dilakukan CONIFA dan “negara-negara” anggotanya tentu saja bisa berbahaya. Apa pun motif yang mendasari CONIFA, memberi panggung untuk mereka yang dilabeli “separatis” pastinya bisa dikategorikan langkah nekat pula berbahaya.
Karenanya, mencetak banyak gol, membikin rekor, atau memenangkan piala bukanlah pencapaian utama bagi tim-tim yang ikut dalam turnamen alternatif. Kebebasan untuk mengusung identitas dan tentunya memainkan si kulit bundar itulah yang lebih utama.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi