tirto.id - Status sepak bola sebagai olahraga terpopuler di dunia menjadikannya incaran siapa saja yang berkepentingan. Ia kerap dijadikan kendaraan politik atau sarana menyampaikan aspirasi—bahkan untuk soal yang sekali tak ada kaitannya dengan olahraga.
Piala Dunia FIFA menjadi panggung terbesarnya. Belumlah lama dari peristiwa invasi lapangan oleh Pussy Riot di tengah final Piala Dunia 2018 lalu. Masih jelas pula dalam ingatan tatkala timnas Jerman melakukan aksi tutup mulut atau para pemain Iran tak menyanyikan lagu kebangsaaan di Qatar bulan lalu.
Lebih dari itu, sepak bola juga menjadi pelantang bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan. Kelompok etnis minoritas, orang-orang tanpa negara, republik dengan pengakuan terbatas, dan bangsa de facto menggelar kompetisi sepak bola demi menegaskan eksistensinya. Bagi kelompok-kelompok yang ditolak komunitas internasional dan dikucilkan FIFA itu, sekadar bermain dengan seragam saja sudah menjadi aksi politik penting.
Untuk memayungi suara entitas politik macam itulah Confederation of Independent Football Associations (CONIFA) hadir. Organisasi nonprofit yang didirikan pada 2013 itu menolak status quo melalui sepak bola.
Dalam situs resminya, CONIFA mengklaim mewakili lebih dari 700 juta penduduk dunia. Sebanyak 54 entitas anggotanya datang dari enam benua. Di sela-sela turnamen, CONIFA kerap menampilkan berita terbaru dari tim anggotanya—yang terbaru adalah pertandingan amal antara Papua Barat kontra TikTok United FC.
Bila FIFA kerap melancarkan kampanye kemanusiaan yang kerap dianggap terlalu performatif, para anggota CONIFA mengusung kampanye paling mendasar, soal hak hidup dan diakui, juga hak bermain bola.
CONIFA memiliki anggota yang beragam, mulai dari
timnas seperti Rohingya (yang beranggotakan para pelarian etnis muslim dari Rakhine State, Myanmar), Abkhazia dan Artsakh (Nagorno-Karabakh) di Kaukasia Selatan yang kurang mendapat pengakuan, suku-suku Romani (atau kerap disebut Gipsi) yang tersebar di belasan negara Eropa, hingga “negara historis” seperti Yorkshire dari Britania.CONIFA memang menampung berbagai entitas terlepas dari apa pun motifnya, entah politis atau murni olahraga. Namun, mereka punya satu kesamaan sebagai kelompok terpinggirkan.
Jika mesti dijabarkan agendanya, ada misi kampanye kemerdekaan dari mereka yang kenyang akan persekusi. Ada timnas Romani dan Sápmi yang punya misi menyatukan etnis minoritas yang terpencar. Ada pula tim seperti Yorkshire yang bertanding demi mengukuhkan identitas historis dan kulturalnya.
Agenda lain lagi datang dari Tuvalu. Negara-pulau kecil di Pasifik Selatan itu bergabung demi mendapat pengakuan dari FIFA. Lain itu, timnas Tuvalu juga membawa misi mengabarkan isu genting terkait negerinya: kerentanan tenggelam akibat krisis iklim.
Piala Dunia Arus Pinggir
Para pemain Matabeleland (bagian dari Zimbabwe) mengelilingi lapangan Queen Elizabeth II di London layaknya kontingen Olimpiade di upacara pembukaan seraya berdansa. Sementara itu, orang-orang Tibet (kawasan otonomi di China) membawa penyanyi dan beragam alat musik lokal. Demikian juga orang-orang Kárpátalja (minoritas Hungaria di yang tinggal di Ukraina Barat).
Lagu nasional dinyanyikan, bendera-bendera yang bisa menuai masalah jika dikibarkan di tempat lain dibentangkan.
Pada 2018 lalu, Barawa (diaspora Somalia di Britania Raya) berlaku sebagai tuan rumah CONIFA World Football Cup ke-3. Rumah judi dengan gimik nyeleneh asal Irlandia, Paddy Power, menjadi sponsornya. Ribuan penonton menyesaki tepi lapangan-lapangan kecil yang menjadi venue—tak ubahnya keramaian di pertandingan amatir atau laga sepak bola nonliga di Inggris.
Laga-laga di Piala Dunia CONIFA sebenarnya biasa-biasa saja. Tak ada penampilan garis pertahanan tinggi ala Arab Saudi asuhan Hervé Renard yang mampu mengejutkan Messi cs. Pula tak seseru laga Korea kontra Ghana atau Kamerun versus Serbia di Qatar baru-baru ini.
Dalam laga Padania (tim dari Italia Utara) kontra Tuvalu, kartu hijau dikeluarkan untuk pertama kalinya. Peraturan baru seperti itu tentu saja tak dimiliki FIFA. Lazimnya, wasit mengeluarkan kartu merah untuk mengusir pemain. Di Piala Dunia CONIFA, pemain yang dikartu hijau bisa digantikan oleh pemain lain dan tak mendapat suspensi untuk pertandingan berikutnya.
Sesekali, gol cantik tercipta. Pemain pro seperti Marius Stankevičius (eks Sampdoria dan Lazio) turut tampil membela tim seperti Padania. Dalam pertandingan final yang dipimpin wasit profesional Mark Clattenburg, Kárpátalja berhasil mengalahkan tim unggulan Northern Cyprus via adu penalti.
Skor-skor telak juga kerap muncul, menunjukkan kesenjangan kekuatan antartim. Terang saja, sebagian besar tim diperkuat pemain-pemain amatir juga para eksil yang baru berlatih bersama beberapa hari jelang turnamen. Tuvalu bahkan tak punya lapangan bola sehingga timnasnya biasa berlatih di satu-satunya landasan udara di negaranya.
Meski terlihat sepele bagi penonton awam, laga-laga Piala Dunia CONIFA punya arti penting bagi para pemain yang turun dan penonton sebangsanya. Tak kalah menghebohkan ketimbang Piala Dunia FIFA. Flare yang mereka nyalakan sama tebalnya dengan yang biasa dinyalakan ultras klub-klub raksasa.
Berlawanan dengan Piala Dunia FIFA, Piala Dunia CONIFA dijalankan dengan asas “dari fan untuk fan”.
Hari-hari itu, sepak bola benar-benar “pulang ke rumahnya”. Sepak bola kembali ke akar rumput, kepada mereka yang suku, bangsa, atau “negara”-nya tak diakui atau dikucilkan oleh komunitas internasional.
Al Jazeeramenyebut CONIFA World Football Cup, "Memberikan alternatif yang mendebarkan dan subversif terhadap norma geopolitik.”
Ini mungkin piala dunia non-FIFA terbesar yang eksis sampai hari ini. Turnamen CONIFA itu lebih besar ketimbang FIFI Wild Cup atau segala turnamen non-FIFA lainnya yang pernah ada.
Menurut Ketua Komite Penyelenggara Piala Dunia CONIFA Paul Watson sebagaimana dikutip Al Jazeera, Inilah Piala Dunia di mana para pesertanya tak mesti mati-matian menyesuaikan diri dengan kriteria pengakuan FIFA yang "dirancang secara politis."
“Pandangan fleksibel kami tentang identitas lebih cocok untuk dunia modern daripada yang ada saat ini,” tegas Watson lebih lanjut.
Di panggung CONIFA, mungkin bakal tak ada yang melarang Granit Xhaka dan Xherdan Shaqiri menunjukkan gestur kepak sayap elang Albania tatkala merayakan gol. Frederic Kanoute barangkali tak akan pernah disanksi usai menunjukkan dukungannya kepada Palestina.
Baru Permulaan
Dalam waktu singkat sejak organisasi itu didirikan, CONIFA telah menghadirkan beberapa edisi piala dunianya. Barawa 2018 di London adalah gelaran ketiga. Sebelumnya, Sápmi ditunjuk untuk menjadi tuan rumah CONIFA World Football Cup pada 2014 dan Abkhazia menjadi tuan rumah pada 2016.
Pada 2020, gelaran keempat yang mestinya dihelat di Makedonia Utara batal terlaksana lantaran pandemi COVID-19. Menyusul pembatalan itu, CONIFA bakal menggelar turnamen yang dilaksanakan di setiap regional di beberapa benua.
Dengan kata lain, CONIFA menggelar turnamen semacam Euro atau Cup of Nations versinya sendiri.
Dalam waktu singkat pula, CONIFA Women's World Football Cup digelar untuk pertama kalinya pada Juli 2022 lalu. Tibet ditunjuk sebagai tuan rumah dengan menggelar turnamen di Paonta Sahib, India. Para pesertanya datang dari tiga benua. Selain tuan rumah Tibet, ikut tampil pula timnas perempuan Sápmi yang mewakili orang-orang Sámi dari Nordik dan Rusia, Matabeleland, dan Székely Land (kawasan historis di timur Transylvania).
Untuk sekadar hadir dalam turnamen CONIFA, mereka mesti menghadapi tantangan cukup besar. Pada akhirnya, Matabeleland mengundurkan diri lantaran permasalahan visa. Sementara itu, Székely Land absen untuk alasan yang tak dijelaskan.
Meski hanya menyisakan dua tim, Piala Dunia Perempuan CONIFA edisi pertama tetap digelar. Dua pertandingan Sápmi versus Tibet digelar dalam tiga hari, berujung kemenangan telak untuk Sápmi dengan skor 13-1 dan 9-0.
Pertandingan itu barangkali tak semegah pertandingan Piala Dunia FIFA, tapi itu tetaplah langkah progresif. CONIFA bisa menggelar piala dunia perempuan hanya berselang beberapa edisi saja dari piala dunia untuk laki-laki, sementara si raksasa FIFA butuh waktu enam dekade untuk memulai piala dunia perempuan pertamanya di China pada 1991.
Organisasi payung sepak bola alternatif seperti CONIFA dengan piala dunia alternatifnya masihlah berproses. Peluangnya untuk menyaingi atau setidaknya mendekati skala turnamen FIFA terang tidaklah besar. Namun, berkat inisiasi alternatif seperti CONIFA-lah sepak bola bisabenar-benar egaliter, bagi siapa pun, dari mana saja mereka berasal, tanpa kelewat banyak kriteria.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi