Menuju konten utama

Petugas Berguguran, Sistem Pemilu Serentak Perlu Dievaluasi Lagi

Pengamat menilai KPU perlu mempertimbangkan sistem pemilu serentak mengingat metode ini kembali memakan korban seperti kasus Pemilu 2019.

Petugas Berguguran, Sistem Pemilu Serentak Perlu Dievaluasi Lagi
Sejumlah aktivis KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) menggelar Aksi Solidaritas untuk para petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang meninggal dunia, di Alun-alun Serang, Banten, Selasa (21/5/2019). ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/nz.

tirto.id - Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 terus memakan korban. Informasi terkahir dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan setidaknya per 17 Februari tercatat 57 orang petugas pemilu meninggal dunia dan lebih dari 8.000 orang dirawat.

Padahal sebelum pelaksanaan, pemerintah telah melakukan skrining kesehatan dan memastikan petugas yang terpilih dalam kondisi prima. Namun, kenyataan berkata lain.

Insiden meninggalnya petugas pemilu sebelumnya juga terjadi pada Pemilu 2019, saat sistem pemilu serentak pertama kali digunakan. Fenomena ini membuat beberapa pihak mempertanyakan sistem pemilu serentak. Apakah tidak sebaiknya dipisah seperti sebelum tahun 2019?

Pandangan ini salah satunya disampaikan oleh Anggota Komite I DPD RI, Abdul Kholik, yang mengharapkan pelaksanaan pemilu serentak dievaluasi dengan memisahkan kembali antara pemilu legislatif dan pemilu presiden-wakil presiden.

Menurut dia, para petugas kpps maupun satuan perlindungan masyarakat (Satlinmas) yang telah bekerja maraton saat pemungutan suara, seharusnya bisa mengambil waktu istirahat yang cukup supaya kelelahannya tidak bertambah, sehingga dapat mengantisipasi risiko yang terjadi.

Abdul mengatakan kondisi kelelahan khususnya yang dialami petugas kpps karena proses administrasi di tps sangat menyita waktu. Bahkan, seorang ketua kpps konon bisa membubuhkan tanda tangan lebih dari 1.000 kali karena selain menandatangani berbagai formulir, setiap surat suara juga harus ditandatangani.

Padahal, di setiap tps ada lima jenis surat suara dan masing-masing berjumlah sesuai dengan jumlah pemilih berdasarkan daftar pemilih tetap (dpt) serta daftar pemilih tambahan (DPTb) ditambah cadangan.

"Ke depan harus kembali melihat kerangka hukum berupa Undang-Undang Pemilu untuk mencegah terjadinya ini," katanya.

Ia mengaku menjadi salah satu pihak yang berpandangan agar dalam pemilu ke depan antara pileg dan pilpres dipisahkan kembali. Dalam hal ini, pemilu yang diserentakkan hanyalah pileg, sedangkan pilpres dilaksanakan terpisah.

Selain untuk meminimalisir insiden, pemisahan pilpres dengan pileg nantinya membuat masyarakat mampu memilih dengan lebih bijak. Pasalnya, ketika serentak maka fokusnya pada pilpres.

Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto, juga memberi pandangan serupa. Dirinya menilai harus ada evaluasi sistem pemungutan suara pada pemilu sehingga prosesnya tidak melelahkan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang berujung pada kematian.

Dari penuturan petugas KPPS yang dijenguknya, para petugas ini sebagian besar bergadang sejak sepekan sebelum hari pemungutan suara pada 14 Februari 2024. Bahkan, kata Bima Arya, para petugas KPPS hanya tidur satu hingga dua jam setiap malam.

“Kemudian ketika pencoblosan, menghitung sampai pagi dan kadang-kadang lupa makan. Makanya serangan jantung, stroke, hipertensi, anemia, dan lain-lain,” ucapnya.

Baca juga artikel terkait FLASH NEWS

tirto.id - Flash news
Sumber: Antara
Editor: Dwi Ayuningtyas