tirto.id - Sabtu 13 Juli lalu mungkin akan dikenang sebagai hari penting bagi proses demokrasi di Indonesia. Hari itu, Joko Widodo dan Prabowo Subianto akhirnya bertemu untuk kali pertama usai gelaran Pilpres 2019 selesai dilaksanakan.
Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan, menjadi saksi pertemuan yang digambarkan penuh keakraban dan kehangatan—seolah kritik, sindiran, dan ejekan yang mewarnai rivalitas mereka dalam beberapa bulan kemarin tidak terlihat jejaknya. Keduanya pun tak ragu saling berpelukan dan melempar pujian.
“Hari ini, sebagaimana saudara-saudara saksikan, saya dan Pak Jokowi bertemu di atas MRT. Ini juga gagasan beliau. Beliau tahu bahwa saya belum pernah naik MRT,” jelas Prabowo. “Jadi, saya terima kasih, Pak. Naik MRT luar biasa. Kita jadi tahu bahwa bangsa Indonesia akhirnya punya kereta yang bisa membantu kepentingan rakyat.”
Sementara Jokowi membalas pernyataan mantan Danjen Kopassus itu dengan nada bercanda. “Alhamdulillah, pada pagi ini kita nyoba MRT. Karena saya tahu Pak Prabowo belum nyoba naik MRT,” kata mantan wali kota Solo ini di hadapan awak media.
Bersalaman dari Malaysia sampai Kenya
Potret keakraban dua politisi yang sempat berseteru nyatanya tak cuma terjadi di Indonesia. Negara tetangga yang serumpun, Malaysia, juga punya pengalaman serupa.
Hingga beberapa tahun lalu di Malaysia, tak ada rivalitas politik yang lebih panas selain perseteruan antara Mahathir Mohammad dan Anwar Ibrahim. Ketegangan keduanya memperlihatkan bahwa di dunia politik tak ada yang abadi: hari ini bisa jadi kawan, besok belum tentu.
Kala Mahathir berkuasa, Anwar sempat jadi salah satu orang kepercayaannya, baik di jajaran pemerintahan maupun internal Partai UMNO (partai terbesar di Malaysia).
Seiring waktu, Mahathir memimpin dengan tangan besi. Hal tersebut membuat Anwar tak kerasan dan sering melayangkan kritik. Terlebih, di tubuh pemerintahan serta partai, kultur nepotisme berkembang secara luas.
Sikap Anwar membuat Mahathir gerah. Tanpa pikir panjang, Mahathir langsung mengeluarkan Anwar dari partai dan jajaran kabinet. Tak cukup sampai situ saja, pada 1998, Anwar dijebloskan ke bui dengan tuduhan yang kental aroma politisnya: korupsi dan sodomi. Hukumannya cukup berat: 15 tahun penjara. Dengan begitu, Mahathir berharap popularitas Anwar di kalangan masyarakat bakal anjlok tajam.
Setahun usai Mahathir lengser, Anwar bebas. Relasi keduanya masih tetap panas. Pada 2009, Malaysia dipimpin anak didik Mahathir yang lain, Najib Razak. Publik sempat mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Harapan itu kandas akibat pemerintahan Najib yang korup lagi manipulatif. Contoh jelasnya: skandal 1MDB yang merugikan keuangan negara.
Najib pun jadi sarung samsak kritik. Masyarakat ramai-ramai meminta Najib mundur dan bertanggungjawab atas perbuatannya. Tak dinyana, dinamika politik itu membuat Anwar dan Mahathir berada dalam satu gerbong yang vokal menentang Najib. Akan tetapi, ketidakberuntungan lagi-lagi menimpa Anwar. Empat tahun lalu, oleh Najib, Anwar kembali dijebloskan ke penjara dengan tuduhan sodomi.
Di sinilah rekonsiliasi antara Mahathir-Anwar terjadi. Pada 2016, mengutip South China Morning Post, Mahathir menghadiri persidangan Anwar sebagai bentuk dukungan. Tangkapan foto memperlihatkan Mahathir berjabat tangan dengan Anwar untuk kali pertama dalam dua dekade.
Rekonsiliasi tak berhenti begitu saja. Mahathir lantas mengajak Anwar, yang memimpin kelompok oposisi, Partai Keadilan Rakyat, membentuk aliansi politik demi mencegah Najib berkuasa. Anwar pun setuju masuk koalisi yang bernama Pakatan Harapan tersebut. Bahkan, Mahathir juga menjanjikan kursi perdana menteri untuk Anwar setelah yang bersangkutan bebas dari penjara.
“[Dulu] saya bertarung melawannya. Sekarang, saya menerima bahwa ia [Anwar] adalah orang terbaik untuk memimpin Malaysia,” ungkap Mahathir seperti dilansir The Guardian.
Kendati karier politiknya sempat dihancurkan Mahathir, Anwar seperti tak kehilangan rasa hormat kepada sang mentor. “Saya mencintainya sebagai seorang ayah dan sebagai seorang pemimpin,” kata Anwar.
Yang terjadi di Kenya setali tiga uang—dengan intensitas yang jauh lebih tinggi dibanding Malaysia. Pada 2017, Kenya mengadakan pemilihan presiden yang melibatkan dua kontestan yaitu Uhuru Kenyatta dan Raila Odinga. Uhuru merupakan putra presiden pertama Kenya, Jomo Kenyatta, sedangkan Raila adalah anak dari wakil Jomo, Jaramogi Odinga.
Sama seperti Jokowi-Prabowo, pilpres 2017 merupakan ajang pertarungan politik yang kedua bagi Uhuru dan Raila. Empat tahun sebelumnya, pemilihan dimenangkan oleh Uhuru. Ajang pemilihan berlangsung dengan begitu panas. Masyarakat Kenya terbelah berdasarkan etnisitas.
Pemilu di Kenya memang punya hubungan erat dengan sentimen kesukuan. Para politisi memanfaatkan isu ini untuk naik ke kursi kekuasaan. Tak jarang, sentimen etnis berakhir dengan jatuhnya banyak korban.
Pemandangan ini, lapor Deutsche Welle, muncul pada 2007 kala lebih dari seribu orang tewas dan ribuan lainnya harus mengungsi akibat suku-suku terbesar di Kenya, dari Kikuyu, Luo, dan Kalenjin, saling baku hantam. Pemicunya ialah dugaan kecurangan dan manipulasi yang dilakukan kedua kontestan, Mwai Kibaki dan Raila.
Di Pilpres 2017, Raila harus menerima kenyataan pahit: kalah dua kali berturut. Alih-alih mengakui kemenangan sang rival, Raila justru menolaknya. Salah satu tindakan yang diambil adalah melantik dirinya sendiri dengan cap “presiden rakyat.” Langkah Raila malah meningkatkan ketegangan di antara dua kubu yang berujung pada ancaman penangkapan, pemenjaraan, hingga deportasi orang-orang kelompok oposisi. Pers dan masyarakat sipil juga kena getahnya.
Tak lama usai dilantik, Uhuru menyerukan rekonsiliasi demi terciptanya pemerintahan yang stabil. Pidato Uhuru kemudian disusul tindakan yang mengagetkan seantero Kenya: berdamai dengan Raila. Pada Maret 2018, keduanya berjabat tangan—mengisyaratkan redanya ketegangan konflik.
Apakah Semua Akan Baik-Baik Saja?
Bersalaman, memeluk erat, hingga jamuan makan siang di Sate Khas Senayan seperti yang dilakukan Jokowi-Prabowo merupakan gestur rekonsiliasi yang lazim dalam dunia politik. Gestur semacam ini hendak memperlihatkan kepada publik bahwa ketegangan sudah berlalu.
Darrel Moellendorf dalam studinya, “Reconciliation as a Political Value” (PDF) yang dimuat di Journal of Social Philosophy (2007), menjelaskan rekonsiliasi juga bisa dibaca sebagai wujud penghormatan dan kesetaraan secara politik hingga penyesalan atas apa yang terjadi di masa lalu.
Kendati bertujuan positif, rekonsiliasi tetap tak lepas dari masalah. Moellendorf mencatat, masalah mendasar rekonsiliasi politik adalah ketidakpercayaan terhadap proses itu sendiri. Masyarakat seringkali menganggapnya simbolis belaka yang tak didukung upaya-upaya lain guna menyelesaikan persoalan yang sebenarnya.
Soal ini bisa dilihat dalam kondisi masyarakat AS pasca-Pilpres 2016 yang dimenangkan Donald Trump. Kendati sudah berakhir, mengutip tulisan Anand Giridharadas berjudul “Is Reconciliation Possible After the Election?” yang terbit di The New Yorker (2016), masyarakat AS masih terbelah ke dalam dua kubu. Republikan dan Demokrat. Mereka yang mendukung gagasan tentang kejayaan Amerika dan mereka yang meminta Amerika mempertahankan semangat multikulturalismenya. Jurang perbedaan itu, catat Anand, akan terus mewarnai kontestasi politik AS hingga beberapa waktu ke depan.
Hal serupa terjadi pula di Kenya. Walaupun kedua pemimpin dari kubu yang berseberangan telah bersepakat untuk menghentikan eskalasi konflik yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah pemilihan, perpecahan etnis masih membekas dalam ingatan kolektif masyarakat. Rekonsiliasi dua kubu tak serta merta menghapus sentimen kebencian yang telah lama dipelihara.
Sarah Maddison, dalam “Transforming Conflict: The Challenge of Political Reconciliation” yang dipublikasikan ABC (2016), berpendapat bahwa rekonsiliasi bisa saja berhasil asalkan dibarengi dengan pemaknaan ulang terhadap konsep rekonsiliasi dan memahaminya sebagai proses transformasi konstitusional, kelembagaan, maupun relasi dua pihak yang kompleks serta multi-level—di mana potensi konflik akan terus hadir.
Rekonsiliasi, tulis Maddison, butuh pendekatan berupa kesabaran, ketekunan, toleransi, dan, yang paling penting, dukungan tak terbatas dari pemerintah. Sebagai suatu proses dan bagian dari demokrasi, rekonsiliasi tak akan selalu berakhir dengan baik. Tapi, setidaknya, rekonsiliasi dapat mengurangi tekanan politik yang muncul dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang.
Pertemuan Jokowi-Prabowo pada akhir pekan kemarin memang selayaknya diapresiasi. Namun, yang harus digarisbawahi adalah pertemuan itu akan berakhir tak lebih dari ajang kongkow-kongkow bersama selama tidak dilengkapi dengan upaya penyelesaian konflik pasca-Pilpres 2019 secara utuh. Bukankah kerusuhan 21-23 Mei masih berkabut sampai hari ini?
Editor: Windu Jusuf