tirto.id - Belum lama ini, jari tengah seorang siswa SMP di Malang, Jawa Timur, terpaksa harus diamputasi. Sebelumnya, anak seorang presenter terkenal diejek—bukan hanya secara langsung, melainkan juga lewat media sosial—sampai si anak merasa minder, takut ke sekolah, dan takut membuka media sosial. Mereka merupakan korban perundungan (bullying) oleh sesama siswa.
Merujuk Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud) Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, bullying merupakah salah satu tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan berupa mengganggu, mengusik terus menerus, atau menyusahkan. Perundungan tidak hanya berdampak kepada korban, tetapi juga pelaku, guru, dan orang tua.
Mengutip buklet Stop Perundungan (2018) yang diterbitkan Kemendikbud, perundungan merupakan perilaku tak menyenangkan dari seseorang atau kelompok, baik secara verbal, fisik, maupun sosial yang membuat seseorang tak nyaman hingga merasa tertekan. Perundungan secara verbal, misalnya, membentak, memaki, bergosip, dan mempermalukan. Sedangkan menampar, mendorong, menjambak, menendang, meninju termasuk dalam perundungan fisik. Mengucilkan, mendiamkan, atau membeda-bedakan adalah bentuk perundungan sosial.
Tren perundungan di dunia pendidikan memang tengah meningkat dan terus menjadi perhatian banyak pihak. Sepanjang Januari sampai April 2019, kasus pelanggaran hak anak di bidang pendidikan didominasi oleh perundungan dan kekerasan fisik.
Berdasarkan risetProgramme for International Students Assessment (PISA) tahun 2018, kasus perundungan di Indonesia menempati posisi kelima tertinggi dari 78 negara anggota Organisation of Economic Co-operation and Development (OECD). Sebanyak 41,1% siswa mengaku pernah menjadi korban. Dalam kurun waktu 9 tahun—dari 2011 sampai 2019—KPAI mencatat 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak.
Membentuk Pertemanan Positif
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengelompokkan perundungan dalam 6 kategori, yakni: kontak fisik langsung seperti memukul; kontak verbal langsung seperti mengintimidasi; perilaku non-verbal langsung seperti memandang sinis; perilaku non-verbal tidak langsung seperti mengucilkan; cyber bullying; dan pelecehan seksual.
Masing-masing tindakan tak hanya mengancam kesehatan fisik dan mental korban, tetapi juga pihak-pihak yang terlibat: pelaku, saksi, orang tua, sampai pihak sekolah.
Dampak perundungan bagi si korban, antara lain: depresi, kepercayaan diri hilang, cenderung menarik diri, tingkat kehadiran di sekolah rendah, dan turunnya prestasi akademik karena sulit berkonsentrasi atau hilangnya minat belajar.
“Di banyak negara, bullying menjadi alasan siswa untuk bolos sekolah. Sedangkan siswa yang menghargai sekolah dan menerima dukungan yang besar dari orang tua lebih kecil kemungkinan untuk bolos sekolah,” bunyi keterangan resmi OECD.
Karena itu korban perundungan disarankan untuk meminta bantuan dari orang tua, teman, ataupun psikolog agar tak menimbulkan trauma berkepanjangan. Pada kasus serius, perundungan bahkan memicu tindakan fatal bagi korban, seperti bunuh diri. Perundungan yang dialami korban pun bisa membuatnya berbalik menjadi agresif dan ingin membalas sakit hati dengan melakukan hal serupa. Pendek kata, korban berpotensi besar menjadi pelaku juga.
Sementara itu, pelaku perundungan yang memiliki rasa percaya diri tinggi cenderung kian agresif dan impulsif. Persepsi bahwa perundungan bisa membuat seseorang atau kelompok lebih keren membuat kasus makin kerap terjadi, padahal citra baik bisa dibangun dari kegiatan lebih positif. Ia atau mereka memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi orang lain, terutama yang dipandang lebih lemah, atau beranggapan memiliki kuasa terhadap keadaan.
“Bila usia pelaku kategori remaja, maka perundungan rentan terhadap timbulnya masalah psikologi jangka panjang dan akan terbawa hingga dewasa jika tidak ditangani dengan tepat. Efeknya bisa memberikan ketidakbahagiaan. Selain itu, pelaku bullying rentan mengalami masalah-masalah psikologis seperti pengendalian emosi, sehingga pelaku mengalami kesulitan membangun relasi baik antar individu maupun hubungan sosial,” kata Purwadi Sutanto, Direktur Pembinaan SMA, Ditjen Dikdasmen, Kemendikbud, kepada Tirto.
Jika dibiarkan, perilaku tersebut bisa memicu perilaku kekerasan atau kriminal lainnya. Perundungan ibarat benih dari banyak kekerasan lain, seperti tawuran, intimidasi, pengeroyokan, dan pembunuhan. Karenanya, bila perundungan bisa ditekan, maka kekerasan yang lebih parah pun akan bisa dicegah.
Belum lagi, mereka yang menyaksikan tindakan perundungan dibiarkan tanpa tindak lanjut, akan berasumsi bahwa perilaku tersebut bisa diterima secara sosial. Bukan tak mungkin para saksi pun akan bergabung dengan penindas agar tak menjadi sasaran berikutnya, atau lebih memilih diam karena merasa tak perlu menghentikannya.
Bukan hanya korban dan pelaku, perundungan juga bisa berdampak pada guru dan orang tua. “Guru dapat merasakan kekecewaan dan kesedihan ketika anak didiknya ada yang menjadi korban maupun pelaku. Guru juga dapat dianggap sebagai pihak yang disalahkan dan bertanggung jawab terhadap kejadian tersebut. Perasaan yang sama juga terjadi pada orang tua/wali murid,” lanjut Purwadi.
Dampak perundungan juga bisa sangat berat, bukan hanya fisik, melainkan juga psikis dan emosional. “Perundungan bisa memberikan beberapa dampak negatif. Pertama, dampak pada kesehatan fisik dan psikologi. Kedua, dampak performa di akademik. Dan ketiga, dampak pada perilaku negatif,” kata Hendarman, Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbud kepada Tirto.
Sesungguhnya, pengakuan dan perlindungan terhadap hak anak telah dijamin oleh UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 28D ayat (2). Kita juga memiliki Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 82 Tahun 2015 soal pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Namun, penyelesaian kasus perundungan ini tak cukup hanya lewat regulasi, alias dibutuhkan pula peran dari tiap individu.
Ingat, diam bukanlah penyelesaian. #KitaSemuaSahabat, kesadaran tiap individu untuk melawan perundungan diperlukan sebelum kekerasan dalam pertemanan menjadi budaya yang mengancam masa depan. Beranikan diri bertindak saat menjadi korban, dan jika melihat perilaku perundungan di depan mata, jangan hanya menjadi penonton atau bystanders.
Cara terbaik yang bisa dilakukan oleh orang-orang di lingkungan terdekat korban perundungan (orang tua, keluarga, maupun teman) adalah mendengarkan dan memberikan dukungan. Bahkan, korban dan saksi pun dapat bekerja sama untuk membentuk kekuatan lebih besar sehingga perundungan bisa dihentikan.
“Mencegah perundungan bisa dilakukan dengan proaktif mendekati anak, rajin mendengarkan mereka, bersifat positif, jangan menyalahkan anak atau membenarkan perilaku bullying. Dengan proaktif mendekati anak, biasanya dampak bullying bisa terdeteksi lebih dini. Ingat apabila membutuhkan jasa profesional, jangan segan mengunjungi psikolog. Jasa psikolog itu bukan untuk mengobati saja, tapi juga bisa mencegah, mendeteksi, dan memitigasi,” lanjut Hendarman.
Saatnya menjadi upstanders dengan melakukan tindakan berempati untuk mengurangi derita korban. Caranya, ceritakan hal itu ke orang tua, guru, orang lain yang dipercaya, atau ke Layanan Informasi dan Pengaduan Kemendikbud.
Editor: Advertorial