tirto.id - Uang kertas seribu rupiah yang menampilkan gambar Tjut Meutia menuai protes. Mengapa Tjut Meutia tidak berkerudung?
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia (BI), Suhaedi, mengaku pemilihan gambar pahlawan di lembaran uang kertas sudah dipertimbangkan dengan matang melalui diskusi dengan berbagai pihak, termasuk pihak keluarga. “Semua foto pahlawan, setelah diskusi panjang dengan berbagai pihak, kita mintakan persetujuan dan masukan dari ahli waris apabila ada yang lebih pas,” ujar Suhaedi kepada detikFinance, Rabu.
Tanggapan pihak BI itu tentu tidak menjawab pertanyaan apakah semasa hidupnya Tjut Meutia memakai kerudung dengan rapi seperti banyak perempuan Aceh hari ini. Sayangnya kita juga tak bisa melompat ke masa lalu dengan mesin waktu untuk mencari jawabannya. Sulit juga berharap keturunan Tjut Meutia --yang masih hidup hingga hari ini-- bisa mengingat secara utuh, juga meyakinkan, rupa nenek mereka yang hidup seabad lalu itu.
Meski teknologi fotografi sudah muncul di Aceh bersamaan dengan kedatangan Belanda pada 1874, tak ada arsip visual yang menunjukkan paras Tjut Meutia. Dalam buku Atjeh yang terbit pada 1938, seorang jurnalis Belanda, H.C. Zentgraaff, mendeskripsikan Tjut Meutia sebagai perempuan cantik yang kerap memakai celana, pakaian tertutup yang dikaitkan perhiasan emas di dada, serta mahkota "ulee cemara" di rambutnya yang hitam pekat.
Deskripsi Zentgraaff bisa memberi sedikit petunjuk, tidak hanya tentang Tjut Meutia, namun juga bagaimana perempuan Aceh berpakaian dan merias dirinya di masa lalu. Perhiasan kepala seperti mahkota "ulee cemara" mengindikasikan bahwa rambut adalah bagian tubuh yang tak luput dari perhiasan. Sementara celana panjang dan baju tertutup menandakan bahwa perempuan Aceh pada masa itu relatif dapat bergerak leluasa, entah untuk menunggangi kuda atau bekerja di sawah dan ladang.
Deskripsi Zentgraaff sebenarnya tidak asing-asing amat. Jika merujuk pakaian tradisional perempuan Aceh yang dikenakan saat upacara pernikahan, gambaran Zentgraaff itu tidak melenceng-melenceng amat. Rambut mempelai perempuan juga masih terlihat alias tidak sepenuhnya tertutup kain.
Penulis bernama lengkap Henri Carel Zentgraaff ini sempat menjadi tentara dan antara 1895-1896 ia terlibat dalam Perang Aceh. Karier jurnalistiknya dimulai pada 1896 dengan menulis laporan tentang Teuku Umar dan beberapa babakan Perang Aceh.
Jika deskripsi penulis prolifik yang meninggal pada 1940 ini dianggap kurang memadai atau dicurigai pekat bias kolonial, sehingga karya-karyanya tentang Aceh dirasa tidak meyakinkan, maka melacak foto-foto perempuan Aceh pada masa tersebut menjadi salah satu opsi yang bisa dijajal.
Setelah kekalahan pada ekspedisi pertama pada 1873, pihak militer Belanda merasa perlu membawa tukang foto ke Aceh saat kembali sekitar enam bulan kemudian. Selain bekerja untuk dinas topografi Belanda, para tukang foto ini juga bekerja merekam proses penaklukan Aceh.
Dalam pengantar untuk pameran foto koleksi KITLV di Banda Aceh pada 2007, sejarawan Jean Gelman Taylor menyebutkan bahwa foto yang diproduksi selama Belanda berada di Aceh itu sebagian besar merekam pertempuran, pembangunan infrastruktur militer, makam raja-raja terdahulu serta para elit kesultanan dan keseharian di perkampungan.
Terlepas dari keinginan Belanda untuk menggambarkan Aceh sebagai wilayah yang penuh kekerasan, Jean Gelman Taylor lebih jauh menjelaskan bahwa foto-foto ini memungkinan kita memahami keadaan orang-orang di Aceh, termasuk perempuan, pada zaman itu.
Dari 1.053 arsip foto dengan kata kunci "Aceh" yang kini tersimpan dalam arsip digital KITLV, cukup banyak foto perempuan Aceh yang diambil dalam rentang 1873-1939. Beberapa foto menunjukkan perempuan dengan kepala tertutup dan penuh perhiasan yang tengah berpose di dalam studio, termasuk PoTjut Awan, ibu Panglima Polem. Kain yang menutupi kepalanya pun tidak seperti jilbab yang kita lihat hari ini: masih ada helai-helai rambut yang terlihat. Dua perempuan yang berdiri di sebelahnya bahkan tidak mengenakan penutup kepala.
Sementara foto yang diambil secara acak di jalanan dan kampung-kampung menunjukkan sebagian besar perempuan berpakaian tanpa kain penutup kepala. Misalnya foto dua perempuan yang menanggung karung di kepalanya, mereka tak berkerudung dan lengannya pun terlihat jelas.
Dari foto-foto ini, kita bisa menarik kesimpulan (sementara): pada masa itu kerudung bukan atribut wajib para perempuan di Aceh.
Menciptakan Imajinasi Kesalehan
Sebelum dan sesudah kedatangan Belanda, Aceh adalah wilayah yang selalu riuh, entah karena aktivitas perdagangan, penyebaran Islam maupun konflik dan peperangan. Manuskrip dan arsip yang berasal dari para pedagang, pendakwah, pelancong, utusan kerajaan, pegawai kolonial dan penduduk lokal memberi pemahaman yang kaya tentang kehidupan di Aceh, setidaknya sejak lima abad lalu.
Alih-alih digunakan untuk memahami masa lalu dengan jernih dan jujur, banyak sumber sejarah digunakan untuk kepentingan politik. Pendiri Gerakan Aceh Merdeka, Hasan Tiro adalah salah satu orang yang berhasil menciptakan narasi nasionalisme Aceh dengan memilah-milah sumber sejarah sesuai agenda politiknya.
Di masa damai seperti sekarang, persisnya setelah Aceh menerapkan Syariat Islam, amat kuat hasrat untuk menyatakan bahwa praktik syariat Islam di Aceh bukan fenomena baru, melainkan berakar panjang dalam sejarah dan tradisi Aceh. Maka muncullah narasi-narasi semacam, "Tjut Njak Dien dan Tjut Meutia sebenarnya memakai jilbab".
Narasi macam itu menunjukkan bagaimana tubuh perempuan senantiasa menjadi situs pertarungan wacana yang sama sekali tak dikendalikan oleh perempuan itu sendiri.
Para anggota Gerwani ditelanjangi untuk mencari tato palu arit menjelang akhir tahun 1965, para perempuan Tionghoa diperkosa ketika kerusuhan menjalar di Jakarta pada Mei 1998, lalu saat ide penerapan syariat Islam bergulir dari Jakarta pada 2001, perempuan-perempuan tanpa kerudung di Pasar Aceh dicukur dan diarak di jalanan.
Protes terhadap rupa Tjut Meutia di cetakan uang kertas seribu rupiah terbaru menunjukkan ada upaya mengendalikan imajinasi mengenai kesalehan masa lampu yang hadir melalui sosok perempuan. Sejarah Aceh yang penuh dengan perang memang memberi ruang bagi perempuan, namun ia tetap berada dalam koridor yang dituntun laki-laki: mengangkat senjata sekaligus menggendong anak, memasak nasi, kadang-kadang harus ikhlas membagi suami dan kini menutupi rambut agar tak tertangkap razia polisi syariah.
Gagasan mengenai perempuan Aceh yang tangguh bisa jadi bermula dari keterbatasan pilihan untuk bertindak dan bersuara atas dirinya sendiri: ia terus menerima berbagai definisi yang didesakkan dari luar dirinya dan melakoni segenap tuntutan atas dirinya. Penerapan syariat Islam di Aceh selama lima belas tahun terakhir bisa saja membuat perempuan Aceh harus menutupi rambut, tapi seharusnya tak membuat kita menutupi pikiran.
Sebelum keriuhan protes beberapa hari ini, Tjut Njak Dhien sudah lebih dulu “dipakaikan jilbab” oleh pengelola Museum Rumah Tjut Njak Dhien. Foto dirinya tanpa kerudung dan terisak yang disimpan Letnan E. Van Vuren dianggap tidak layak -- persisnya tak cocok dengan imajinasi kesalehan yang hendak dipresentasikan melalui Syariat Islam.
Lantas, melalui pencarian arsip visual yang serba mudah, potret perempuan lain yang berkerudung, yang dianggap mirip Tjut Njak Dhien, dipajang hingga kini.
Tentu jangan kaget jika kelak foto-foto lama yang memperlihatkan perempuan Aceh dengan helai-helai rambut yang terbuka akan lenyap dari buku atau narasi resmi sejarah di Aceh.
Juga bukan tidak mungkin kelak suatu hari nanti beredar kabar bahwa para Sultanah Aceh, Tjut Njak Dhien maupun Tjut Meutia sebenarnya tidak pernah ada, atau tidak pernah keluar masuk hutan menunggangi kuda. Agar imajinasi kesalehan tentang perempuan Aceh menjadi solid: sejak dulu perempuan Aceh tidak pernah terlibat politik, sangat jarang keluar rumah karena demikian salehahnya mengabdi sebagai istri dan ibu rumah tangga yang mengurus segala kebutuhan suami dan anak-anak.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.