tirto.id - Nama-nama calon Komisioner OJK periode 2017-2022 telah sampai ke Presiden Joko Widodo. Ia sudah memilih dan menetapkan 14 nama dari 21 nama calon yang diterimanya.
Pada 22 Maret 2017 lalu, 14 nama tersebut diumumkan melalui Surat Presiden No. R-18/Pres/03/2017. Berbeda dari pengumuman di tahap-tahap sebelumnya, di tahap ini, presiden telah membagi 14 nama tersebut sesuai jabatan yang dibutuhkan. Jadi, masing-masing posisi diisi dua nama.
Selanjutnya, Dewan Perwakilan Rakyat bertugas melakukan fit and proper test dan menentukan tujuh nama yang menjadi Dewan Komisioner OJK periode berikutnya.
Di posisi Ketua Komisioner yang kelak menggantikan Muliaman D Hadad, ada dua nama bankir yang terpampang, Wimboh Santoso dan Sigit Pramono. Maka, antara dua orang ini lah yang kelak akan menjabat posisi tertinggi di OJK.
Baik Wimboh maupun Sigit, keduanya adalah nama baru di OJK. Mereka bukan petahana dan tak pernah pula berkarier di OJK. Namun, dua nama ini cukup diperhitungkan di kalangan para bankir.
Wimboh Santoso menjabat sebagai Komisaris Utama PT Bank Mandiri sejak 2015 sampai saat ini. Sebelumnya, ia tercatat sebagai Executive Director International Monetary Fund (IMF). Posisi yang sama pernah dijabat Sri Mulyani, Menteri Keuangan saat ini.
Wimboh lahir di Boyolali pada 15 Maret 1957 dan menghabiskan masa muda di Soloraya. Ia lulus dan mendapat gelar sarjana dari Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta pada 1983.
Wimboh meniti karier sebagai staf audit di Bank Indonesia. Tahun 1991, ia melanjutkan pendidikan, mengambil program Master of Science in Business Administration di University of Illinois, Amerika. Tahun 1995, Wimboh menempuh pendidikan Doktor di Loughborough University, Inggris, dengan mengambil konsentrasi Financial Economics.
Karier Wimboh di Bank Indonesia terbilang cukup panjang. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Biro Riset Internal, Ketua Program Transformasi Perbankan sejak 2001 sampai 2003, Kepala Biro Sistem Stabilitas Keuangan pada 2006, dan Direktur Riset dan Pengembangan Perbankan pada 2010. Tahun 2012, ia menjadi perwakilan Bank Indonesia di New York, Amerika Serikat.
Pesaing Wimboh untuk mendapatkan jabatan tertinggi di OJK adalah Sigit Pramono. Berbeda dengan Wimboh yang banyak berkarier di tataran kebijakan dan otoritas pengawas perbankan, Sigit menjalani karier di dalam industri perbankan itu sendiri. Ia memiliki spesialisasi khusus, membenahi bank-bank sakit.
Ketika krisis keuangan terjadi pada tahun 1997, Sigit mendapat tugas menangani sindikasi dan divisi penyelamatan kredit Bank Exim—bank tempat ia mengawali kariernya. Tugas Sigit semakin berat sebab bank itu terpaksa melakukan merger bersama empat bank pemerintah lainnya, yaitu Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Bank-bank ini bergabung, membentuk entitas basru bernama Bank Mandiri.
Saat itu, Sigit harus menangani 70 hingga 80 persen portofolio kredit yang perlu direstrukturisasi. Total kredit bermasalah itu merupakan gabungan kredit dari empat bank yang merger. Ada sekitar 615 debitur korporasi besar yang harus direstrukturisasi kreditnya. Belum lagi puluhan ribu kredit menengah dan kecil yang juga bermasalah.
Kesuksesan Sigit membenahi Bank Mandiri menjadi nilai plus bagi reputasinya. Ia kemudian dipercaya menangani bank bermasalah lainnya. Di antaranya, Bank Internasional Indonesia (BII) pada 2002. Ia juga harus membenahi Bank Negara Indonesia (BNI) pada 2003.
Ketika diangkat menjadi Direktur Utama BNI, bank itu sedang menjadi sorotan publik akibat kasus pembobolan BNI melalui letter of credit (LC) senilai Rp. 1,7 Triliun di BNI cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Usia Sigit dan Wimboh hanya terpaut satu tahun, Sigit lebih muda. Sigit adalah lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang. Ia lalu memperoleh gelar Master of Business Administration dari Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya Mulya pada tahun 1995. Pendidikan lainnya yang pernah diikuti Sigit adalah Syndicated Loan di Singapura tahun 1997, Leasing di Leasing School in Salt Lake City, Utah, Amerika Serikat pada 1990 dan International Treasury Management Program di Singapura tahun 1985.
Tersisa Satu Petahana
Dari daftar 14 nama yang diserahkan Jokowi ke DPR, tersisa satu nama petahana, yakni Nurhaida. Ia dicalonkan dengan posisi yang sama dengan saat ini, anggota komisioner sekaligus kepala eksekutif pengawas pasar modal OJK.
Petahana lainnya, Rahmat Waluyanto yang sempat lolos dalam seleksi tahap II, tak berhasil masuk dalam daftar nama yang dipilih Jokowi. Saat ini Rahmat menjabat sebagai wakil ketua dewan komisioner OJK, sebagai ketua komite etik.
Pesaing Nurhaida adalah Arif Baharudin—Sekretaris Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan. Arif Baharudin memulai kariernya sebagai seorang akuntan di Kantor Akuntan Publik. Ia lalu menjabat sebagai komite audit di PT Pupuk Kaltim Tbk.
Sebelum berkarier di Kementerian Keuangan, Arif juga pernah menjabat sebagai komisaris di PT Kaltim Industrial Estate Bontang-Kaltim dan PT Indonesia Infrastructure Fund Jakarta.
Jika Nurhaida gagal melewati fit and proper test dari DPR, maka dipastikan tak ada satupun petahana dalam daftar Komisioner OJK periode selanjutnya.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti