Menuju konten utama

Persentase Kemiskinan Maluku-Papua 2017 Masih Terbesar di Indonesia

Terlepas dari pendanaan, persoalan pokok dalam pembangunan pemerataan di Papua dan Maluku ini terkait kualitas sumber daya manusia.

Suasana pesisir pantai dari udara di Kawasan Manokwari, Papua Barat, Senin (15/8). ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya.

tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepanjang 2014-2017 Pulau Maluku dan Papua memiliki persentase penduduk miskin terbesar dibandingkan dengan lima pulau lain di Indonesia, Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, serta Sulawesi.

Data Maret 2014, persentase penduduk miskin di Maluku dan Papua sebesar 23,15 persen dengan persentase penduduk miskin nasional 11,25 persen. Periode yang sama 2015, persentase penduduk miskin di Maluku dan Papua sebesar 22,04 persen, yang mana persentase penduduk miskin nasional 11,22 persen.

Selanjutnya data Maret 2016 menunjukkan, persentase penduduk miskin di wilayah Pulau Maluku dan Papua mengalami kenaikan mencapai 22,09 persen, dengan persentase penduduk miskin nasional mengalami penurunan menjadi sebesar 10,86 persen.

Namun pada September 2017, persentase penduduk miskin di Maluku dan Papua mengalami penurunan menjadi sebesar 21,23 persen, dengan persentase penduduk miskin nasional sebesar 10,12 persen. Kendati begitu, persentase kemiskinan di Pulau Maluku dan Papua masih tetap menjadi yang tertinggi, tanpa ada perbaikan yang signifikan.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Menteri Keuangan Budiarso Teguh Widodo di kantor Kementerian Keuangan pada Selasa (2/1/2018) menyebutkan daerah Papua dan Maluku pada 2017 mendapatkan alokasi anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang besar totalnya mencapai Rp81,7 triliun.

Anggaran tersebut dibagi untuk wilayah Papua dan Papua Barat sebesar Rp59,5 triliun, kemudian untuk Maluku dan Maluku Utara Rp22,2 triliun. Anggaran tersebut lebih besar dari pada pulau terdekatnya, Kalimantan yang sebsar Rp77,7 triliun.

“Kemiskinan di daerah tersebut paling tinggi. Sebetulnya dari segi transfer ke daerah-daerah, terutama itu ke Papua dan Papua Barat, jauh lebih besar ketimbang di Sulawesi maupun Kalimantan. Apalagi dibandingkan dengan NTT dan NTB,” ujar Budiarso.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengatakan pemerataan pembangunan untuk wilayah Indonesia timur disebutnya memiliki special case, karena pendanaan bukan menjadi persoalan utama.

Eko menyebutkan persoalan pokok dalam pembangunan pemerataan di daerah Indonesia Timur, seperti Papua dan Maluku adalah terkait kualitas sumber daya manusia, yang masih memiliki masalah yang berat untuk diatasi segera.

“Persentase penduduk miskin di Maluku dan Papua itu 2 kali lipat dari rata-rata di Indonesia. Indonesia 10,12 persen, wilayah Indonesia Timur sudah 21 persen. Itu kan angkanya berat sekali, walaupun kalau dilihat dari orangnya jumlahnya kecil paling 1,5 juta. Tapi 1,5 juta proporsi terhadap provinsinya gede,” ujar Eko kepada Tirto pada Rabu (3/1/2017).

Menurutnya untuk mempercepat pemerataan pembangunan di Indonesia Timur, sangat perlu meningkatkan kapasitas kemampuan pengelolaan para pemangku kepentingan daerah setempat seperti kepala daerah, kepala desa, kepala suku, atau tokoh-tokoh masyarakat yang lain.

“Tokoh-tokoh masyarakat di daerah itulah yang nantinya bisa menjadi jangkar untuk upaya-upaya perubahan seperti cash transfer [non tunai] semacam itu. Untuk bantuan-bantuan bisa lebih efektif menyasar ke orang-orang yang berhak menerimanya. Karena tidak mungkin hanya mempercepat infrastruktur yang memang tidak gampang, tanpa diimbangi dengan kapasitas SDM,” jelasnya.

Eko menegaskan bahwa besaran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) ke Indonesia Timur tidak akan membuahkan hasil optimal, selama kualitas SDM tidak mengalami perkembangan.

“Dana berapa pun yang digelontorkan ke sana tidak memberi multiplayer effect yang sangat tinggi ketika SDM masih segitu-segitu aja. Sehingga, menurut saya harus ada proses untuk mempercepat itu seiring dana yang semakin banyak mengarah ke sana, harus diikuti dengan mekanisme government yang setara,” terangnya.

Menurutnya, untuk mempercepat pembangunan, maka diperlukan para birokrat yang memiliki integritas dan inovatif untuk memenuhi target proyek pembangunan di sana.

“Seperti birokrat-birokrat yang bagus perlu masuk ke sana untuk bisa bangun di sana. Kalau jaman dulu orang dikirim ke sana karena performance-nya di Jakarta atau Jawa kurang bagus, nah itu perlu dirubah mainset-nya,” ungkapnya.

Asumsinya, pemberian insentif yang cukup besar kepada para birokrat diharapkan mampu menunjukkan kompetensi. Dengan begitu, mereka diberi target yang cukup ketat, agar mekanisme akselerasi pembangunan bisa berjalan secara bagus.

“Rata-rata di kawasan daerah Jawa level kemampuannya lebih bagus. Padahal di Indonesia Timur seperti Papua membutuhkan orang-orang yang selevel yang di Jawa, Sumatera, Bali untuk bisa mengangkat daerah Papua, dan mengelola proyek secara matang seiring pemberian dana,” jelasnya.

Walaupun pembangunan daerah dikatakan Eko ideal berjalan secara bottom-up, tapi gagasan pembangunan dari Pemerintah Daerah perlu pendampingan dan pendampingan yang sangat insentif perlu dilakukan oleh Pemerintah Pusat.

“Kalau enggak gitu susah. Kalau menunggu mereka memenuhi SDM-nya itu proses yang sangat berat,” ucapnya.

Sementara itu, Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Vivi Yulaswati, mengungkapkan bahwa pihaknya saat ini terus mencari trobosan untuk dapat menggalakkan pemerataan pembangunan di Indonesia bagian Timur.

“Intinya pemerintah sudah support, kita cari cara-cara solusi untuk memecahkan masalah bagaimana menyalurkan bantuan untuk daerah-daerah timur, dimulai dengan aturan main yang ada,” ucap Vivi.

Vivi pun menyadari bahwa untuk pembangunan di sana persoalan tingkat pendidikan SDM yang belum memenuhi standar menjadi persoalan yang krusial. Karenanya, sangat diperlukan adanya pendampingan dari tenaga ahli melalui Pemerintah Pusat untuk program-program yang dijalankan.

“Kita mau salurkan bantuan non tunai PKH, tapi listriknya, jaringan internet, teleponnya belum masuk semua. Jadi kita masih ada hal-hal yang dicari jalan keluarnya. Penerima anggaran PKH mereka disuruh sekolah, suruh akses puskesmas, tapi sekolah, gurunya dan puskesmas enggak ada kan repot juga,” ungkapnya.

Baca juga artikel terkait ANGKA KEMISKINAN atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yuliana Ratnasari