tirto.id - Di tengah larangan bepergian akibat pandemi Covid-19, menjelajahi Bumi melalui aplikasi Google Earth adalah kegemaran baru saya. Bermodalkan koneksi internet, saya bisa ke Pulau Kerguelen, Pulau Comoros, serta Pulau Falkland sambil rebahan. Dalam hitungan detik, setelah bosan menjelajahi pulau-pulau yang berada di kawasan Antartika, Pantai Timur Afrika, serta Atlantik Utara itu, saya berpindah ke Sub-Sahara Afrika hingga Jazirah Arab.
Via Google Earth (juga Google Maps dan Google StreetView)--aplikasi yang diciptakan John Hanke hanya untuk ditinggalkannya demi mengembangkan Pokemon Go--secara sederhana Bumi dapat dijelajahi dengan mudah dan cepat, sangat jauh dari angka 80 hari seperti yang diperlukan Jules Verne.
Berdasarkan penjelajahan lewat Google Earth itu, menurut saya Pulau Papua (Papua dan Papua Nugini) adalah tempat yang paling menarik. Kenapa? Bukan karena saya sempat menginjakkan kaki di Papua (bagian Indonesia), tetapi dengan berpatokan pada keyakinan matematika bahwa yang indah adalah yang simetris. Papua indah karena pulau ini terlihat cukup simestris--dengan modifikasi.
Di bagian timur (wilayah Papua Nugini atau New Guinea), terdapat semacam moncong yang mengarah ke tenggara, sebaliknya di bagian barat (wilayah Indonesia) moncong itu menghadap ke barat laut. Dan yang paling memesona, hampir berada tepat di tengah-tengah Papua (garis meridian/bujur timur ke-141), terdapat garis lurus politis yang membedakan mana wilayah Indonesia dan mana wilayah Papua Nugini. Bagai cermin yang menengahi kesimetrisan Papua.
Namun jika dilihat lebih saksama, garis yang memisahkan Indonesia dan Papua Nugini terdapat cela yang merusak kesimetrisan Papua. Sekitar 50 kilometer dari Distrik Asike (Indonesia) atau berada di wilayah Bovakaka (Papua Nugini), terdapat semacam "bekas gigitan" yang merangsek ke wilayah Indonesia, yang merusak garis lurus batas negara.
Pada masa wilayah barat Papua dikuasai Belanda dan wilayah timur dikuasai Inggris (serta Australia), para pemburu kepala yang gemar memakan daging manusia mewabah di sepanjang pantai Arafura wilayah Papua Nugini. Para pemburu kepala ini salah satunya memanfaatkan Sungai Fly untuk kabur, pulang ke pelbagai tempat yang mereka diami.
Inggris jengkel dengan masalah ini. Namun, meski Sungai Fly memiliki hulu dan hilir di wilayah Papua yang dikuasainya, sebagian aliran sungai yang membentuk "bekas gigitan" itu, masuk ke wilayah Papua milik Belanda. Hal ini membuat para petugas keamanan Inggris sukar mengejar para headhunter. Untuk menyelesaikan masalah ini, Inggris akhirnya bernegosiasi dengan Belanda meminta seluruh jalur Sungai Fly masuk ke wilayahnya. Maka "bekas gigitan" pun tercipta.
Selain memisahkan batas antara Indonesia dengan Papua Nugini, garis yang berada di bujur timur ke-141 ini menjadi batas akhir, batas awal, serta penengah dari regional politis bernama Indo Pasifik (perluasan dari Asia pasifik). Regional khayal yang diyakini Amerika Serikat hingga negara-negara Eropa sebagai "pusat dunia". Wilayah yang rawan bergejolak.
Benarkah demikian? Buruknya situasi politik antara Prancis dengan AS dan Australia saat ini adalah petunjuknya.
Kekuatan Indo Pasifik
"Tatkala Scott Morrison menjadi Perdana Menteri Australia tiga tahun lalu, ia percaya bahwa Australia dapat menjaga hubungan baik dengan Cina, mitra dagang utamanya, sekaligus menjalin kerjasama erat dengan Amerika Serikat, sekutu utamanya soal keamanan," tulis Damien Cave dalam laporannya untuk The New York Times.
"Tidak perlu. Australia tidak perlu memilih antara Cina atau AS," kata Morrison.
Namun, di tengah pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir, tepat pada pertengahan September 2021 ini, Morrison berubah pikiran. Ia memilih Paman Sam alih-alih Beijing dengan membentuk kerjasama AUKUS (Australia, Inggris, AS), yang diterjemahkan melalui kesepakatan pembelian kapal selam bertenaga nuklir buatan AS. Kesepakatan yang mengesampingkan Cina itu membuat Prancis murka.
Kemarahan Prancis terhadap Australia (juga AS) terjadi karena kesepakatan membeli kapal selam nuklir buatan AS, membuat Australia membatalkan kontrak pembelian kapal selam bertenaga diesel dari Prancis. Sebuah kontrak yang diklaim Prancis sebagai, "yang terbesar di abad ini", yang akan membantu Prancis melejitkan ekonominya. Maka, dengan pembatalan kontrak tersebut, Prancis kehilangan sumber pemasukan yang sangat besar. Mereka akhirnya memutuskan menarik Duta Besar-nya dari Australia serta AS, Philippe Etinne dan Jean-Pierre Thebault.
"[Pembatalan kontrak ini adalah] perilaku yang tidak dapat diterima antara sekutu dan mitra," tegas Prancis.
Pembatalan kontrak pembelian kapal selam bertenaga diesel buatan Prancis oleh Australia memang mengherankan, apalagi Prancis-Australia merupakan sekutu, sahabat dekat, yang memiliki ideologi serupa. Namun, melihat jika dilihat lebih dalam, Australia sebetulnya tak punya pilihan selain membeli kapal selam nuklir alih-alih diesel.
Musababnya, usai Morrison menyebut bahwa virus Corona sebagai "virus Cina", hubungan Australia-Cina memburuk, bahkan Beijing tak ragu menjatuhkan tarif impor tinggi yang membuat produk-produk Australia kurang kompetitif serta memersekusi warga negara Australia di Cina. Memburuknya hubungan Australia-Cina diperparah dengan kenyataan bahwa Australia merupakan salah satu negara yang berada di dalam naungan Indo Pasifik, "pusat dunia" yang situasinya rawan memanas.
Sebagaimana terangkum dalam laporan berjudul "Towards a New UK Strategy in the Indo-Pacific Region" (2020) yang digagas Policy Exchange--lembaga think tank (wadah pemikir) asal Inggris--Indo Pasifik merupakan regional politik, sosial, juga ekonomi yang merangkum seluruh wilayah dari Asia Timur, Selatan, Tenggara. Kawasan ini dibatasi oleh garis khayal yang terletak di bujur timur ke-141 di tengah-tengah Papua, merentang hingga negara-negara Pasifik (Oceania).
Indo Pasifik sebetulnya serupa dengan konsep regional bernama Asia Pasifik, tetapi selain "wilayah dalam/inner" tersebut, Indo Pasifik juga mengikutsertakan wilayah-wilayah "littoral" yang langsung berbatasan dengan Kanada, Chili, dan AS. Menyatukan Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik. Regional ini menampung lebih dari 50 persen populasi dunia. Menjadi lokasi tempat negara paling padat di dunia (Cina) berada, negara demokrasi terbesar (India), serta negara mayoritas Muslim terbesar (Indonesia). Selain itu, terdapat juga raksasa teknologi seperti Jepang dan Korea Selatan.
Indo Pasifik juga menampung empat dari sembilan negara yang memiliki senjata nuklir, yakni Cina, India, Pakistan, dan Korea Utara.
Paling penting, Indo Pasifik merupakan regional tempat mayoritas pabrik-pabrik berada, pusat ekonomi dunia. Dan, melalui empat wilayah perairannya, yaitu Samudra Hindia, Samudra Pasifik, Laut Cina Selatan, serta Selat Malaka, barang-barang yang dibuat di seantero Indo Pasifik diekspor ke seluruh dunia. Hal ini membuat sebagian negara yang terdapat di dalam regional ini, khususnya Cina dan India, bertransformasi menjadi negara-negara dengan ekonomi paling cemerlang.
Ambisi Cina
Menurut Oded Shenkar dalam studinya berjudul "China's Economic Rise and the New Geopolitics" (International Journal 2006), setelah ekonomi Cina melejit hanya dalam tempo seperempat abad, Cina memulai upaya menguasai Indo Pasifik. Dalam tataran singkat, upaya ini diterjemahkan dengan mencabut independensi Hong Kong, wilayah sah miliknya yang sempat dikuasai Inggris. Cina juga berusaha merebut Taiwan, negara independen yang diklaim sebagai wilayahnya, dengan menghalang-halangi pelbagai negara berhubungan resmi dengan Taiwan.
Dalam tataran lebih luas, Cina berupaya menguasai Laut Cina Selatan. Kawasan laut terbuka ini bersinggungan antara Cina, Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Cina memproklamasikan nine-dash line (sembilan garis putus-putus) dengan merujuk pada mitos-mitosnya sendiri.
Merujuk studi yang dilakukan Center for Strategic and International Studies, kehendak Cina menguasai kawasan ini tercipta karena Laut Cina Selatan membawa sekitar sepertiga dari pelayaran global. Wilayah ini sangat penting bagi Cina, Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan, yang semuanya bergantung pada Selat Malaka--yang menghubungkan Laut Cina Selatan dengan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.
Bukan hanya negara-negara yang langsung berhadapan dengan Laut Cina Selatan yang menilai kawasan ini penting. AS, misalnya, mengapalkan barang perdagangannya senilai $208 miliar via Laut Cina Selatan. Lalu Jerman ($215 miliar), Inggris ($124 miliar), Prancis ($83,5 miliar), hingga Brazil ($77,3 miliar) yang sangat terikat dengan Laut Cina Selatan.
Menjauh dari kawasan di sekitar teritorialnya, Cina berupaya menguasai Indo Pasifik dengan menjalin berbagai kerjasama ekonomi. Melalui tata rencana utama berjudul "Chinese Dream" (lalu ditingkatkan menjadi "Asia Pasific Dream"), uang senilai $50 miliar dan tambahan dana senilai $40 juta dalam kerangka "Silk Road Fund" serta janji-janji hubungan dagang bernilai $1 triliun, digelontorkan Cina ke pelbagai negara di Indo Pasifik, termasuk mengalir ke Indonesia. Sebuah taktik yang dilakukan demi membuat Cina dipandang seperti AS tatkala memperkenalkan Marshall Plan pada tahun 1945.
Di sisi lain, merujuk studi berjudul "Towards Contested 'Spheres of Influence' in the Western Pacifics: Rising China, Classical Geopolitics, and Asia-Pasific Stability" (Geopolitic Journal 2017) yang ditulis benjamin Schreer, Cina juga berupaya meraih pengaruh dengan memperkuat militer, meningkatkan kapasitas serta mempercanggih persenjataan. Upaya ini dilakukan agar negara-negara Indo Pasifik percaya pada Cina untuk mengamankan wilayah ini, menjauh dari AS yang selama ini dikenal sebagai polisi dunia.
Tentu tak hanya Cina yang berupaya menguasai Indo Pasifik. Sebagai negara dengan ekonomi terkuat ketiga di dunia, India pun melakukannya. Sebagaimana dituturkan Darshana M. Baruah dalam India in the Indo-Pacific: New Delhi’s Theater of Opportunity (2020), cara India memperoleh pengaruh kuat di Indo Pasifik terutama dilakukan melalui unjuk militer. Selain meningkatkan jumlah persenjataan--impor senjata dari 7 persen menjadi 14 persen sejak 2010--India juga membangun pangkalan militer di Pulau Agalega, Mauritius, ujung barat regional Indo Pasifik. Mereka juga menjalin kerjasama ekonomi-militer dengan Maladewa, Mauritius, Seychelles, dan Sri Lanka, membentuk Indian Ocean Region Division (IOR).
Masifnya upaya Cina dan India untuk menguasai Indo Pasifik, didukung dengan keberagaman yang amat besar di regional ini, Australia sangat mungkin terpantik permusuhan karena ego sektoral. Maka itu, Australia memerlukan senjata yang kuat, bertenaga nuklir alih-alih diesel. Terlebih, sebagai anak didik Paman Sam, jika situasi Indo Pasifik memanas dan sebagai besar negara-negara di regional ini memihak Cina, Australia semacam memiliki kewajiban memenangkan pertempuran. Mengapa? Ingat, ujung timur regional ini langsung bersinggungan dengan teritorial AS.
Editor: Irfan Teguh Pribadi