tirto.id - Pernyataan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen Wuryanto soal senjata Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) yang akan dipakai oleh Brimob dinilai tidak pada tempatnya. Ini hanya akan menambah kisruh laten antara TNI dan Polisi.
"Komentar Mayjen Wuryanto tidak bijak. Tidak pada tempatnya TNI mengatakan demikian," kata Pengamat polisi, pertahanan dan keamanan Universitas Padjajaran, Muradi, kepada Tirto, Selasa (10/10/2017).
Selasa pagi (10/10), Kapuspen menggelar konferensi pers di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, soal pembelian sejumlah senjata oleh Polri. Dalam acara tersebut, Wuryanto menjelaskan soal amunisi 40x46mm round RLV-HEFJ untuk peluncur granat SAGL yang dinilai sudah memenuhi spesifikasi militer, dan dengan begitu tidak tepat kalau dipakai Brimob.
Amunisi yang didatangkan dari Belgia ini, katanya, istimewa. Amunisi ini bisa meledak dua kali, dengan menimbulkan pecahan yang bisa menghasilkan lubang pada objek yang dikenai. Granatnya bahkan bisa meledak sendiri tanpa terbentur oleh objek apapun setelah 14-19 detik lepas dari laras. Sederhananya, ini adalah senjata mematikan.
"TNI sendiri sampai saat ini tidak mempunyai senjata sejenis itu, mempunyai kemampuan seperti itu," kata Wuryanto kepada sejumlah wartawan.
Menurut Muradi, TNI tidak punya pelontar granat dan amunisi seperti yang dimiliki Brimob adalah hal wajar. Sebab sampai saat ini, persenjataan yang dimiliki mereka memang terbilang masih rendah. Dan TNI, katanya, tidak punya wewenang untuk memprotes itu.
"Ibaratnya saya punya mobil keluaran lama. Lalu ada orang lain beli mobil yang modelnya sama tapi keluaran paling baru. Lalu apa saya bisa melarang atau menyalahkan orang itu karena beli mobil yang lebih canggih dari saya? Ya tidak," kata Muradi.
Baca juga:
- Senjata SAGL yang Didatangkan Polri Tak Bisa Hancurkan Tank
- Senjata SAGL Tergolong Standar Militer & Belum Dipunyai TNI
- Pengamat: Tidak Ada Gengsi Institusi Dalam Pengadaan Senjata
Dengan melihat peruntukan SAGL yang sebelumnya akan dipakai oleh Brimob di wilayah "panas" seperti Papua, maka senjata ini memang dinilai paling cocok. "Kecuali kalau memang nanti misalnya itu dipakai untuk mengamankan warga sipil di wilayah PTPN, baru tidak boleh. Kalau untuk wilayah seperti Poso dan Papua saya pikir wajar," ujar Muradi.
TNI tidak seharusnya berkomentar sesuatu yang bisa ditafsirkan sebagai pelarangan kepada Brimob untuk punya senjata canggih. Di satu sisi, pemerintah juga harus menyediakan alokasi anggaran yang cukup agar tentara makin profesional.
"Tentara bisa profesional ketika anggarannya cukup. Ketika mereka profesional maka potensi konflik seperti ini bisa diminimalisir," kata Muradi.
Sebanyak 5.932 butir amunisi SAGL beserta senjata-senjata lain yang sempat tertahan di Bandara Soekarno Hatta akhirnya dikeluarkan. Khusus untuk amunisi 40x46mm round RLV-HEFJ yang dianggap berbahaya ini disimpan di gudang senjata Markas Besar TNI, kemarin (9/10) malam.
Ini adalah hasil kesepakatan yang diambil dalam rapat di Kemenko Polhukam pada Jumat (6/10) pekan lalu, yang dipimpin langsung oleh Wiranto. Hadir dalam pertemuan tersebut Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, dan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu.
Wuryanto tidak tahu pasti berapa lama amunisi ini disimpan di markas mereka. Sementara SAGL-nya sudah di tangan polisi. "Polri masih bisa menggunakan senjata SAGL, yang munisinya diganti granat asap yang sesuai standar nonmiliter," kata Wuryanto.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti