Menuju konten utama

Pernikahan Kedua, Libatkan Banyak Rasa

Anak-anak perlu diberi pengertian khusus dan jeda waktu untuk belajar menerima anggota keluarga baru dari pernikahan orang tuanya yang kedua.

Pernikahan Kedua, Libatkan Banyak Rasa
Header Diajeng Pernikahan Kedua. tirto.id/Quita

tirto.id - “[…] pada sebuah waktu, hadir seorang teman. This man who also carries his pain on his own journey. Waktu demi waktu dilalui. Sakit mulai dibagi, dan aku tak merasa sendiri lagi.”

Petikan curahan hati Bunga Citra Lestari (BCL) itu menjadi pemanis dalam unggahan video pernikahannya dengan Tiko Aryawardhana.

Ia menikah untuk kedua kalinya pada 2 Desember 2023, kurang-lebih tiga tahun setelah kepergian almarhum Ashraf Sinclair. Keputusan ini mengundang beragam reaksi dan banyak spekulasi, tapi toh ia bahagia. Tak ada yang salah dari mengupayakan kebahagiaan, bukan?

“Aku mulai bisa merasa, that I deserve love and happiness,” ungkapnya.

Keputusan ini tentu bukan hal mudah. Membayangkannya saja butuh keberanian.

Tak cuma satu, tapi ada banyak rasa yang perlu diperhatikan: anak-anak (bila ada), calon pasangan, orang tua masing-masing, mantan si calon pasangan, orang tua mantan pasangan, sampai saudara dekat maupun jauh.

Pernikahan yang membawa serta anak dari pernikahan sebelumnya memang punya banyak tantangan.

Karenanya, mengutip artikel dari American Psychological Association (APA), ada tiga hal penting yang perlu dipertimbangkan untuk mempermudah komunikasi, terutama membantu anak menyesuaikan diri dengan kenyataan baru. Pengaturan keuangan dan tempat tinggal menjadi isu pertama. Orang dewasa harus sepakat di mana mereka akan tinggal dan bagaimana mereka mengatur keuangan.

Sering kali pasangan yang memulai pernikahan kedua melaporkan bahwa pindah ke rumah baru, bukan ke salah satu tempat tinggal pasangan sebelumnya, lebih menguntungkan karena lingkungan baru menjadi "rumah mereka".

Header Diajeng Pernikahan Kedua

Bunga Citra Lestari (BCL) melangsungkan pernikahan yang kedua dengan Tiko Aryawardhana pada Sabtu, 2 Desember 2023 di Bali. instagram/itsmebcl

Perasaan dan kekhawatiran tentang pernikahan sebelumnya juga mesti diselesaikan dulu. Pernikahan kedua dapat membangkitkan kemarahan dan rasa sakit yang lama dan belum terselesaikan dari pernikahan sebelumnya, baik bagi orang dewasa maupun anak-anak.

Aspek tersulit dari kehidupan blended family atau keluarga campuran adalah soal pengasuhan anak. Itulah mengapa pasangan harus mendiskusikan peran orang tua tiri dalam membesarkan anak-anak “bawaan” dari pernikahan terdahulu.

Perubahan aturan rumah tangga juga mungkin harus dibuat. Ini bisa membantu anak menyesuaikan diri dengan kenyataan baru.

Membentuk keluarga campuran dengan anak kecil mungkin lebih mudah ketimbang keluarga campuran dengan anak remaja karena tahap perkembangan mereka berbeda. Apalagi remaja tengah berada dalam masa lebih senang “memisahkan diri”.

Saat menikah dengan BCL, Tiko sendiri berstatus duda cerai hidup. Ia punya tiga anak perempuan di bawah 10 tahun, sedangkan BCL punya satu anak laki-laki, Noah, yang umurnya 13 tahun.

APA mengungkap, remaja muda (10-14 tahun) yang sedang membentuk identitas mungkin mengalami masa paling sulit untuk menyesuaikan diri dengan keluarga campuran. Remaja lebih tua (15 tahun ke atas) membutuhkan lebih sedikit pengasuhan dan mungkin memiliki lebih sedikit investasi dalam kehidupan keluarga campuran.

Sementara anak-anak yang lebih muda (di bawah 10 tahun) biasanya lebih mudah menerima orang dewasa baru dalam keluarga, terutama jika itu membawa pengaruh positif.

Lalu, bagaimana caranya membuka obrolan dengan anak soal pernikahan orang tuanya? Psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi., berbagi saran.

“Saat memberi tahu kepada anak bahwa ibu atau ayah akan menikah lagi, tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan. Yang membedakan hanya karakter masing-masing anak, bagaimana cara mendekati, dan memberikan penjelasan,” papar Vera.

Idealnya, ada masa pendekatan antara calon pasangan dengan anak-anak sehingga prosesnya bisa semulus mungkin. Anak perlu tahu perubahan apa saja yang akan terjadi. Orang tua juga perlu membuka diri terhadap pertanyaan-pertanyaan dari anak soal ini.

“Pastikan memilih waktu yang tepat ketika anak dapat mendengarkan dengan sabar dan berbagi perasaan mereka secara terbuka. Seperti ketika mereka sudah makan, cukup istirahat, santai, dan dalam suasana hati yang baik,” terang Michael Whitehead, PhD, LMFT, terapis pernikahan dan keluarga di Twin Falls, Idaho.

Header Diajeng Pernikahan Kedua

Header Diajeng Pernikahan Kedua. foto/Istockphoto

Karena ini bukan topik sederhana, kata Dr. Whitehead, pastikan punya waktu cukup untuk berapa lama pun percakapan dibutuhkan agar tidak ada pihak yang merasa terburu-buru atau tertekan untuk memberi respons.

“Bila anak tidak bisa menerima, tentu akan berdampak pada emosi dan perilakunya pada saat ini juga. Misalnya, anak menolak tinggal serumah, lebih memilih tinggal bersama orang tua lain atau di rumah nenek-kakek. Atau, anak jadi pemarah, jaga jarak, dan lain sebagainya. Hal ini bisa berubah tergantung bagaimana pendekatan terus dilakukan dengan penuh kesabaran dan pengertian. Tidak selalu akan terbawa hingga anak dewasa,” tambah Vera.

Di dunia nyata, hubungan berkembang lebih lambat. Anak-anak membutuhkan waktu untuk benar-benar mengenal dan merasa nyaman dengan ibu, ayah, maupun saudara tirinya. Maka tidak realistis bila mengharap mereka bakal menghormati apalagi menyayangi “orang tua” baru mereka secara instan. Orang dewasa aja susah jatuh cinta.

The pain will forever be, but this man, he brings back my smile. He takes me to this place that I never thought I dare to dream about. To go to a place called 'home',” kata BCL.

Semoga setelah belajar dari pengalaman dan berbekal kedewasaan, semua pasangan bisa mencapai harapan-harapan dalam “rumah” barunya yang dibangun dengan berani.

Baca juga artikel terkait LYFE atau tulisan lainnya dari Glenny Levina

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Glenny Levina
Penulis: Glenny Levina
Editor: Yemima Lintang