tirto.id - Pada 9 Desember 1987, tepat hari ini 34 tahun lalu, tentara Israel melancarkan serangan brutal terhadap orang-orang Palestina. Sehari sebelumnya, warga Palestina di Jalur Gaza melakukan pemakaman jenazah Taleb Abu Zaid dan tiga rekannya--korban truk pengangkut tank Israel. Mereka kemudian melakukan demonstrasi sembari melempari pos jaga Israel dengan batu.
Aksi yang bermula dari sini lazim disebut sebagai intifadah I sebagaimana ditulis Edward Said dalam Intifada and Independence (1989). Pada hari pertama intifadah, Israel menghalaunya yang mengakibatkan 16 orang luka-luka dan 1 orang meninggal dunia.
Istilah intifada dapat dimaknai sebagai "guncangan". Mengutip Dinamika Timur Tengah karya Asep Setiawan (2018), intifada menjadi gerakan khas di daerah pendudukan Tepi Barat dan Jalur Gaza. Hanya orang Palestina yang tinggal di sana yang betul-betul memahaminya. Shofwan Al-Banna dalam Palestine: Emang Gue Pikirin? (2006) menyebutkan adanya dua fase dalam intifada.
Pertama, awal intifada yang merupakan pembalasan dengan batu. Fase ini terinspirasi dari kisah perjuangan seorang anak kecil bernama Daud Alaihissalam yang berhasil menaklukkan Raja Jalut dengan batu. Dari sinilah tersohor istilah “anak-anak batu” atau Atfal al-Hajarah yang dipopulerkan oleh Nizar Qabbani, penyair asal Suriah.
Fase berikutnya adalah pembalasan dengan batu yang berkembang menjadi pembalasan dengan pisau, bom, dan senjata-senjata lainnya. Fase ini diiringi dengan tindakan perampasan senjata dan perakitan aneka jenis bom, seperti bom mobil, bom molotov, hingga bom bunuh diri (istisyhad).
Sementara dalam Palestina: Solidaritas Islam dan Tata Politik Dunia Baru (1992) yang ditulis Ikhrimah Shabri disebutkan, intifadah mempunyai beberapa karakteristik yang salah satunya adalah terjadi secara serentak di seluruh Palestina.
Anak-Anak Batu
Sebagai respons atas dimulainya Intifadah I, pada 16 Desember 1987 para pedagang Palestina di Yerusalem menutup tokonya. Beberapa hari kemudian, gerakan intifadah sudah menjalar ke Tepi Barat. Hingga pada 23 Desember 1987 Israel memberlakukan kebijakan penangkapan kepada para demonstran Palestina. Kebijakan reaksioner ini diikuti dengan kebijakan lainnya yakni memberlakukan jam malam terhitung sejak 12 Januari 1988.
Selanjutnya, pada Maret 1988 tentara Israel melakukan penyisiran di Tepi Barat dan Jalur Gaza untuk mencokok para aktivis Palestina penggerak intifada. Namun, usaha mereka sia-sia. Selama seminggu mereka hanya membuang-buang waktu dengan menempatkan 350 orang di bawah pengawasan tanpa berhasil menemukan sang penggerak intifadah.
April 1988 tentara Israel kehabisan kesabaran. Mereka membunuh Abu Jihad (Khalil al-Wazir) yang merupakan wakil komandan militer Palestine Liberation Organization (PLO). Orang ini dituding sebagai otak di balik intifadah.
Kendati sudah diberlakukan jam malam dan dilakukan pembunuhan atas Abu Jihad, tetapi para demonstran Palestina tidak gentar dan tetap melancarkan gerakan. Tim dokter dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Mei 1988 memperoleh angka 1.200 orang terluka karena serangan gas air mata Israel, 11 orang meninggal dunia, dan lusinan orang menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
Angka lain terdapat dalam tulisan Intifada Deaths (1990) karangan Ronald S. Stockton yang menerangkan bahwa rata-rata kematian per bulan sepanjang 1 November 1988 hingga 31 Desember 1989 dalam intifada adalah 12 hingga 48 orang.
Di balik angka-angka itu terselip kisah-kisah dari anak-anak batu. Sebagaimana dikutip dari Ikhrimah Shabri, Imam Masjid Aqsha, dituliskan bahwa pada suatu malam ada lima orang bersaudara yang ditangkap oleh tentara Israel di rumah mereka. Kelima bersaudara itu terlibat dalam intifadah. Saat ibunya mengetahui penangkapan tersebut, ia tidak bersedih melainkan justru mengatakan bahwa dirinya masih memiliki satu anak lagi, anak yang ke-6. Tentara Israel pun bertanya keberadaan anak itu, si ibu menjawab bahwa anak ke-6 itu berada di rahimnya yang akan dilahirkannya dua bulan lagi.
Kisah lain datang dari seorang anak kecil Palestina yang berusia 7 tahun. Ia ditanya oleh tentara Israel, “siapa yang mengajarimu melempari kami dengan batu?” Si anak kecil menjawab bahwa dia dajari oleh saudaranya yang bernama Muhammad. Lalu, datanglah tentara Israel ke rumahnya untuk mencari Muhammad. Ternyata, anak kecil itu hanya memiliki satu saudara yang masih berusia 5 tahun. Kedua kisah ini mencerminkan bahwa intifadah telah merasuk ke dalam jiwa setiap orang di Palestina dan anak-anak batu menjadi bagian yang tak terelakkan.
Dua Perundingan
Intifadah I berakhir setelah Palestina dan Israel menggelar perundingan. Perundingan pertama yang bersifat rahasia berlangsung di Oslo pada 20-22 Januari 1993 yang kemudian dilanjutkan pada 4 Maret 1993. Setelah itu, perundingan berlanjut dalam rangkaian Konferensi Madrid yang mencapai putaran ke-10 di Washington pada 15 Juni sampai 1 Juli 1993.
Dalam perundingan tersebut, utusan AS Dennis Ross bertanya kepada utusan Palestina, Hanan Ashrawi, mengenai kebenaran desas-desus perundingan rahasia. Tetapi Hanan Ashrawi menjawab ia tidak mengetahui apapun. Jawaban tersebut memanglah benar. Musthafa Abd. Rahman dalam Jejak-jejak Juang Palestina (2002) menyampaikan bahwa yang melakukan perundingan rahasia ialah Yasser Arafat, Ahmed Qurei, dan Hassan Ashfour.
Seusai Konferensi Madrid, Hanan Ashrawi langsung menemui Yasser Arafat di Tunis untuk menyampaikan hasil perundingan yaitu proyek penarikan tentara Israel dari Jalur Gaza. Yasser Arafat meminta agar tidak hanya ditarik dari Jalur Gaza, melainkan juga dari Kota Jericho di Tepi Barat.
Pada waktu yang hampir bersamaan, sebenarnya perundingan rahasia di Oslo semakin mencapai kemajuan dan hampir final. Perundingan inilah yang membawa “kejutan” bagi Hanan Ashrawi yang tidak mengetahuinya. Seminggu menjelang dimulainya Konferensi Madrid putaran ke-11, Hanan Ashrawi mendapatkan telepon dari pejabat Palestina di Tunis yang menyampaikan bahwa terjadi perkembangan luar biasa, sehingga putaran ke-11 tidak perlu dilakukan.
Hanan Ashrawi segera berangkat ke Tunis, dan pada kesempatan inilah untuk pertama kalinya ia mengetahui soal perundingan rahasia di Oslo. Ahmed Qurei selaku ketua parlemen Palestina dan Hassan Ashfour selaku menteri negara Palestina, pada 20 Agustus 1993 rupanya telah berhasil mencapai kesepakatan di Oslo tentang Gaza-Jericho dan beberapa poin lainnya.
Kendati sudah memberi tahu kebenarannya, Yasser Arafat tetap meminta Hanan Ashrawi untuk menghadiri putaran ke-11 Konferensi Madrid untuk menandatangani Kesepakatan Oslo pada 13 September 1993 yang dianggap sebagai akhir dari Intifadah I.
Penulis: Pratika Rizki Dewi
Editor: Irfan Teguh Pribadi