Menuju konten utama

Sejarah Hari Guru Nasional & Perjuangan Ki Hajar Dewantara

Hari Guru Nasional tak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan Ki Hajar Dewantara.

Sejarah Hari Guru Nasional & Perjuangan Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Hari Guru Nasional yang diperingati setiap tanggal 25 November tentunya tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam dunia pendidikan. Gelar Bapak Pendidikan Nasional disematkan kepada pendiri Taman Siswa ini. Ki Hajar Dewantara juga merupakan Menteri Pendidikan RI yang pertama.

Ki Hajar Dewantara bernama asli Raden Mas Suwardi Suryaningrat (ejaan lama: Soewardi Soerjaningrat). Ia lahir pada 2 Mei 1889 dari lingkungan keluarga Kadipaten Pakulaman di Yogyakarta yang merupakan salah satu kerajaan pecahan Dinasti Mataram selain Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran.

Semasa muda, Suwardi dikenal sebagai aktivis sekaligus jurnalis pergerakan nasional pemberani. Ia sempat bergabung dengan Boedi Oetomo (BO) di Batavia (Jakarta) pada 20 Mei 1908, kemudian keluar dan mendirikan Indische Partij (IP) bersama Cipto Mangunkusumo serta Ernest Douwes Dekker atau Tiga Serangkai pada 25 Desember 1912.

Dikutip dari buku Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern (1986) karya Abdurrachman Surjomihardjo, Tiga Serangkai diasingkan ke Belanda sejak 1913 karena tulisan Suwardi yang dianggap menghina pemerintah.

Di Belanda, ia bergabung dengan Indische Vereeniging (IV), organisasi pelajar Indonesia di Belanda, serta terus menulis di media massa. Ia juga mendirikan kantor berita dengan nama Indonesische Persbureau di Den Haag. Inilah untuk pertamakalinya, kata ”Indonesia” dipakai di kancah internasional.

Suwardi dipulangkan ke tanah air pada 6 September 1919. “Kini, saya telah memperoleh kembali kebebasan saya tanpa suatu janji atau pernyataan apapun juga dari saya. Ini berarti kemenangan bagi saya,” tulis Suwardi mengenai kepulangannya.

Perjuangan Ki Hajar Dewantara

Di tanah air, Suwardi masih berurusan dengan aparat kolonial karena aktivitas dan tulisan-tulisannya yang berani. Beberapa kali pula ia harus mendekam di penjara lantaran sepak-terjangnya itu.

Lantaran berbagai hal tersebut, Suwardi merasa kurang tepat untuk terus berkecimpung di ranah politik. Ia merasa tidak bisa menahan emosi, sering lepas kendali, dan apa yang dilakukannya tentu saja bakal berdampak kepada istri dan anak-anaknya.

Maka, atas saran istrinya, Sutartinah, dan setelah melalui pertimbangan matang, Suwardi memutuskan akan berjuang dengan jalan lain, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa lewat pendidikan.

Di Yogyakarta, pada 3 Juli 1922, Suwardi mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau Perguruan Taman Siswa. Dikutip dari Perjalanan Pendidikan di Tanah Air (2005) karya Najamuddin, cita-cita Taman Siswa adalah untuk membahagiakan bangsa dan manusia serta merupakan panggilan nurani untuk ikut memajukan kehidupan bangsa.

Suwardi menawarkan gagasan untuk pendidikan nasional. Jadilah Taman Siswa sebagai tonggak awal kebangkitan masyarakat terpelajar bumiputera yang mempelopori kebangkitan rakyat melawan kolonialisme.

Lantas, kapan Suwardi Suryaningrat mengubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara?

Bambang Sokawati Dewantara dalam Ki Hajar Dewantara Ayahku (1989) mengungkapkan, pengubahan nama tersebut terjadi pada 3 Februari 1928. Istri Suwardi, Sutartinah, juga mengikuti jejak suaminya dengan memakai nama Nyi Hajar Dewantara.

Kendati beralih haluan dari politik radikal ke ranah pengajaran, bukan berarti Ki Hajar Dewantara jadi lembek. Taman Siswa yang didirikannya adalah lembaga pendidikan independen, menolak mentah-mentah subsidi dari pemerintah kolonial.

Ki Hajar Dewantara menentang setiap kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dianggapnya merugikan pendidikan untuk rakyat. Ketika pemerintah kolonial mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1932, misalnya, Ki Hajar Dewantara tetap menggerakkan Taman Siswa.

Ordonansi Sekolah Liar mengatur bahwa setiap lembaga pendidikan harus mendapatkan izin dari pemerintah kolonial. Jika tidak, maka pemerintah berhak membubarkan sekolah atau lembaga pendidikan itu.

Namun, Taman Siswa jalan terus bahkan justru berkembang pesat. Frances Gouda dalam Dutch Cultures Overseas: Colonial Practice in the Netherlands Indies 1900-1942 (2006) mencatat, satu dekade setelah penerapan peraturan tersebut, Taman Siswa sudah mendirikan 166 sekolah yang memiliki sekitar 11.000 murid.

Bapak Pendidikan Nasional

Konsep pendidikan yang dirumuskan Ki Hajar Dewantara dan dipraktikkan melalui Taman Siswa diarahkan pada tujuan nasionalisme, semangat perjuangan, dan kerakyatan menghadapi kolonialisme.

Cita-cita kemerdekaan dijelaskan untuk manusia merdeka lahir batinnya, hidup selamat dan bahagia, serta membangun masyarakat tertib dan damai. Itulah dasar pikiran pendidikan nasional yang diciptakan oleh Ki Hajar Dewantara yang diaplikasikan dengan mendirikan Taman Siswa.

Setelah Indonesia merdeka, berkat segenap sumbangsihnya bagi kepentingan pendidikan nasional, maka oleh Sukarno selaku Presiden RI pertama, Ki Hajar Dewantara ditunjuk untuk menjabat sebagai Menteri Pengajaran sejak 2 September 1945.

Ki Hajar Dewantara meninggal dunia di Yogyakarta pada 2 April 1959 dalam usia 70 tahun. Atas jasa-jasanya, pemerintah RI menetapkannya sebagai pahlawan nasional serta menyematkan gelar Bapak Pendidikan Nasional. Hari kelahiran Ki Hajar Dewantara pun diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Sejarah Hari Guru Nasional

Sejarah Hari Guru Nasional berkaitan erat dengan peristiwa lahirnya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada 25 November 1945.

Dikutip dari laman resmi PGRI, guru-guru pribumi pada 1912 telah memiliki organisasi perjuangan yang bernama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB). Seluruh elemen pengajar masuk dalam organisasi ini, mulai dari para guru bantu, guru desa, kepala sekolah, dan pemilik sekolah.

Akan tetapi, berkembangnya organisasi PGHB memicu kemunculan organisasi-organisasi baru, macam Persatuan Guru Bantu (PGB), Perserikatan Guru Desa (PGD), Persatuan Guru Ambachtschool (PGAS), Perserikatan Normaalschool (PNS), Hogere Kweekschool Bond (HKSB).

Terdapat pula organisasi guru yang bercorak keagamaan, kebangsaan, atau lainnya, macam Christelijke Onderwijs Vereneging (COV), Katolieke Onderwijsbond (KOB), Vereneging Van Muloleerkrachten (VVM), dan Nederlands Indische Onderwijs Genootchap (NIOG), yang beranggotakan semua guru tanpa membedakan golongan.

Tahun 1932, dikutip dari buku Sejarah Singkat Persatuan Guru Republik Indonesia (2020), sebanyak 32 Organisasi guru yang berbeda latar belakangnya memutuskan untuk bersatu dan mengubah nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI).

Belanda terkejut menanggapi hal tersebut karena kata “Indonesia” dalam organisasi melambangkan semangat kebangsaan. Bahkan, pada zaman Jepang, organisasi PGI tidak dapat melakukan aktivitasnya karena dilarang.

Pada 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka. Setelah itu, tanggal 23-25 November diadakan Kongres Guru Indonesia di Surakarta. Hari terakhir kongres tercetuslah kelahiran PGRI. Hingga saat ini, tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional setiap tahunnya.

Baca juga artikel terkait HARI GURU NASIONAL atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Addi M Idhom
Penyelaras: Ibnu Azis