Menuju konten utama

Perjuangan Berat Electronic City di Pasar Indonesia

Meningkatnya perekonomian dan bertambahnya kelas menengah di Indonesia adalah berkah untuk para peritel. Namun, tidak semua peritel sukses mengambil kue dari pasar yang besar ini. Salah satunya Electronic City, yang justru mengalami penurunan pendapatan.

Perjuangan Berat Electronic City di Pasar Indonesia
Pusat perbelanjaan barang elektronik di Electronic City kawasan SCBD, Jakarta. [Tirto/Andrey Gromico]

tirto.id - Kuartal pertama 2016, Electronic City (EC) memutuskan untuk menutup empat gerainya. Penjualan yang tidak mencapai target memaksa perusahaan untuk melakukan efisiensi. Electronic City juga sedang dihadapkan dengan terus turunnya angka penjualan. Padahal, pertumbuhan penjualan elektronik di Indonesia sedang meningkat pesat.

Gerai yang mewah, dagangan yang tertata rapi, salesman yang ramah, ternyata tak menjamin kesuksesan penjualan. Lebih dari itu, butuh sebuah strategi untuk bisa bertahan menghadapi perubahan perilaku konsumen di masa kini. Apa yang terjadi pada Electronic City adalah sebuah pelajaran.

Indonesia sedang diberkahi peningkatan kelas menengah. Sejalan dengan itu, pertumbuhan penjualan barang elektronik mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Menurut data dari Economist Intelligence Unit, pertumbuhan produk elektronik dan rumah tangga Indonesia mengalami pertumbuhan 9,8 persen pada 2015. Angka itu meningkat dari 9,7 persen (2014), dan 9,3 persen (2013). Pertumbuhan diperkirakan menembus 10,2 persen pada 2018. Secara total, untuk industri elektronik saja, pangsa pasar Indonesia mencapai Rp43 triliun pada 2015.

Secara global, pertumbuhan penjualan barang elektronik di dunia pada 2013 hanya sebesar 3 persen. Angka pertumbuhannya meningkat lagi menjadi 5 persen pada 2014, dan 6 persen pada 2015. Secara total, menurut Transparency Market Research, pasar consumer electronic dunia mencapai 1,074 triliun dolar. Angkanya diprediksi mencapai 1,550 triliun dolar, dengan CAGR 4 persen.

Anjloknya Laba Electronic City

Penjualan elektronik baik Indonesia maupun dunia mengalami pertumbuhan yang terus positif. Namun, hal itu ternyata tidak mampu mendongkrak kinerja Electronic City. Pada kuartal I – 2016, kinerjanya merosot tajam. Perusahaan ritel elektronik ini hanya mampu membukukan pendapatan sebesar Rp403 miliar. Angka tersebut turun Rp83 miliar jika dibandingkan dengan periode serupa di tahun 2015 yang mencapai Rp486 miliar.

Penurunan kinerja Electronic City ini sudah berlangsung sejak 2015. Pada tahun tersebut, pendapatan perusahaan tercatat sebesar Rp1,78 triliun, turun tajam dibandingkan pendapatan tahun sebelumnya sebesar Rp 2,226 triliun. Konsekuensinya, laba perusahaan anjlok hingga 71,3 persen dari Rp 129,45 miliar menjadi Rp33,04 miliar.

Komisaris Independen Electronic City Fery Wiraatmadja menjelaskan, penurunan ini disebabkan oleh pencapaian penjualan untuk gerai yang dibuka pada 2013, 2014, dan 2015 tidak mencapai target yang sudah ditetapkan. "Sedangkan perseroan harus menanggung biaya operasi yang berkaitan dengan gerai-gerai yang dibuka," ujar Fery, dikutip dari Tempo.

Sebelumnya pada awal 2015, Electronic City melakukan ekspansi dengan membuka empat gerai baru untuk meraih tambahan pendapatan serta merenovasi tujuh gerai. Selain itu menambah tiga nilai tambah premium service baru, seperti express delivery dalam enam jam, kontrak servis, dan respon perbaikan dalam 24 jam.

Namun, efek dari anjloknya laba perusahaan memaksa Electronic City harus menutup 4 gerai pada kuartal pertama 2016. Yaitu, gerai yang terdapat di Mall Grage Cirebon, Mall Taman Raja Lombok, Mall Ponorogo, dan Mall Bekasi Junction. Sehingga, total gerai yang dimiliki ECII saat ini yakni 65 gerai dengan luas 65.031 meter persegi (m2). Jumlah lahan dan gerai ini menurun dari sebelumnya 68.005 m2 dan 69 gerai.

Sementara itu, meskipun terdapat penurunan pendapatan pada beberapa toko, ritel elektronik ini terus berupaya untuk bangkit. Salah satu dengan membuka gerai-gerai baru yang memiliki potensi penjualan baik. Electronic City pun sudah memperhitungkan bahwa untuk membuka sebuah gerai baru di mal butuh sekitar Rp. 4-5 juta per m2. Sedangkan untuk membuka toko baru (stand outlet) butuh dana sekitar Rp 8-9 juta per m2.

"Stand outlet memang lebih mahal, karena kami jadi kena biaya konstruksi. Kalau di mall kan enggak," ujar Fery Wiraatmadja, dikutip dari Kontan.

Electronic City juga akan menutup satu gerai lagi pada semester II ini, yakni di Mall Sunset, Bali. Keputusan itu dilakukan karena lokasi penjualan yang tidak maksimal dan kurang representatif.

Branding Electronic City

Electronic City menerapkan dual-branding strategy melalui dua konsep toko Electronic City Store (EC Store) dan Electronic City Outlet (EC Outlet) sebagai metode pemasaran untuk target segmen konsumen yang berbeda.

EC Stores memiliki target utama pada konsumen kelas menengah ke atas. Sedangkan EC Outlet memiliki target utama konsumen tingkat pemula dan kelas menengah. Namun, untuk menggenjot pendapatan, pada tahun 2012, Electronic City meluncurkan platform e-commerce melalui situs resmi Perseroan.

Tujuan utama dari e-commerce adalah untuk memperkuat brand ritel elektronik dan menjaring konsumen yang lebih memilih untuk membeli produk secara online. Pilihan produk untuk toko online difokuskan pada produk-produk yang mudah terjual dan dikirim seperti ponsel dan kamera.

Dengan konsep dual-branding, seharusnya Electronic City dapat menjangkau semua semua kalangan konsumen elektronik. Ditambah lagi dengan adanya e-commerce, harusnya dapat menggenjot dari segi pemasaran karena tidak dibatasi oleh jarak dan juga waktu. Namun, strategi ini ternyata masih belum cukup mumpuni untuk meningkatkan pendapatan perseroan.

Konsumsi Elektronik di Indonesia

Millward Brown AdReaction pernah melansir hasil survei yang menyebut bahwa Indonesia menduduki posisi pertama dalam konsumsi produk elektronik, jika dibanding dengan negara lain. Survei yang dikutip oleh laporan Internet Trends 2014 itu mengungkapkan, penduduk Indonesia menghabiskan sekitar 9 jam bersama perangkat elektroniknya. Ini berarti, konsumsi produk elektronik di kehidupan masyarakat Indonesia sudah sangat melekat.

Perubahan dalam gaya hidup mendorong permintaan terhadap elektronik. Misalnya, penggunaan media sosial dan instant messaging tentunya mendorong permintaan terhadap ponsel pintar. Selain itu, meningkatnya pelayanan dan jaringan TV bersaluran HD juga mendorong permintaan untuk TV digital dengan kualitas HD.

Lihat saja hasil riset Cint Insight Exchange tahun 2016 dengan menggunakan 49.738 responden, menunjukkan barang elektronik yang dimiliki masyarakat Indonesia yakni ponsel berada di posisi teratas yakni 12,71 persen. Posisi kedua ditempati oleh flat screen tv sebanyak 9,56 persen.

Penjualan elektronik meningkat, perilaku konsumen beralih. Masyarakat kini semakin gemar berbelanja produk elektronik secara online karena kemudahan dan banyaknya diskon yang ditawarkan. Konsumen juga bisa dengan mudah membandingkan harga dari satu toko ke toko lainnya dengan berbelanja secara online.

Oleh sebab itu, pemasar yang bergerak di bidang ritel kemudian perlahan-lahan juga bergerak ke arah digital dengan menyediakan pasar online atau market place. Google melakukan penelitian tentang perilaku konsumen para pengguna ponsel pintar terhadap aktivitas belanja online. Riset yang bertajuk Consumer Barometer 2015 itu mencatat sekitar 43 persen dari total populasi Indonesia menggunakan ponsel pintar, sekitar 67 persen penggunanya melakukan belanja produk dari ponsel pintar mereka.

Riset tersebut juga mencatat bahwa dalam kategori I-want-to-buy-moment, sebanyak 50 persen dari konsumen online di Indonesia membandingkan produk-produk yang akan dibeli dari ponsel pintarnya sebelum melakukan pembelian.

Kemudahan membeli secara online secara perlahan mengurangi jumlah belanja di toko-toko fisik. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Cushman and Wakefield, aktifitas pasar ritel di Jakarta terpantau tidak terlalu aktif selama kuartal pertama tahun 2016. Transaksi ruang ritel eksisting di Jakarta didominasi penyewa makanan dan minuman. Saat ini, ada pergeseran tujuan saat orang pergi ke mal, yang dulunya untuk berbelanja, kini ke mal lebih ke gaya hidup.

Di ranah online, Electronic City harus bersaing dengan toko-toko online lain yang juga memberikan penawaran yang tak kalah menggiurkan kepada konsumen. Di ranah offline, Electronic City harus bersaing dengan toko-toko yang lebih efisien, sehingga bisa menjual produk lebih murah.

Jalan Electronic City untuk bersaing di pasar Indonesia yang besar sepertinya masih cukup rumit.

Baca juga artikel terkait BISNIS atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Bisnis
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti