Menuju konten utama
28 Juni 1944

Peristiwa Mandor Berdarah di Kalbar Pada Masa Pendudukan Jepang

Rahasia organisasi yang bocor membawa petaka bagi anggota Nissinkai. Jepang membantai anggota dan para simpatisannya tanpa ampun di Mandor, Borneo Barat.

Peristiwa Mandor Berdarah di Kalbar Pada Masa Pendudukan Jepang
Header Mozaik Peristiwa Mandor Berdarah. tirto.id/Tino

tirto.id - Saiyan Tiong terkejut bukan kepalang atas permintaan tentara Australia yang mendatanginya, beberapa bulan setelah Republik Indonesia resmi berdiri. Tentara Australia itu meminta Saiyan menunjukkan lokasi Jepang menggelar pembantaian massal di daerah Mandor yang pernah dia pimpin. Pada pengujung 1942, Pemerintah Pendudukan Jepang mengangkat Saiyan menjadi Fuku Guntyojabatan setingkat camat—Mandor, Borneo Barat (kini Kalimantan Barat). Jadi, tak heran jika tentara Australia itu mendatangi Saiyan.

Saiyan ingat otoritas Jepang pernah mengabarkan akan membuat lapangan di Mandor. Tempat itu kemudian diberi pagar berkawat duri. Saiyan juga disuruh memperingatkan warganya agar jangan coba-coba mendekati lokasi itu. Jika bandel, timah panas yang akan bicara.

Semula Saiyan sempat ragu. Tapi, setelah tentara Australia itu menyebut beberapa petunjuk, Saiyan insaf memang lapangan berpagar kawat berduri itulah yang dimaksud. Meski demikian, Saiyan tidak serta-merta percaya di situ telah terjadi pembantaian.

Selama menjabat fuku guntyo, Saiyan yang tinggal 300 meter dari lapangan itu sering melihat banyak truk dengan bak belakangnya ditutup kanvas ulang-alik membawa sesuatu ke sana. Di atas bak itu, dia melihat kaki-kaki manusia berjuntai dari balik kanvas. Saiyan tak acuh saat itu karena dia pikir tentulah itu kaki-kaki tentara Jepang.

Bersama sejumlah tentara Australia yang hari itu mendatanginya, Saiyan bergegas menuju lapangan berpagar kawat duri dekat rumahnya. Betapa kagetnya Saiyan saat mencium bau mayat yang amis getir menusuk hidung. Ketika pagar dibuka, serakan tulang-belulang manusia membuktikan kesahihan ucapan tentara Australia.

Tulang-belulang itu tidak lagi utuh. Sebagian ada yang masih ditempeli daging, ada yang keropos, ada pula yang sudah dimakan babi. Dugaan tentara Australia, itulah tulang-belulang yang tidak terkuburkan ketika Jepang angkat kaki dari Borneo usai kalah dalam Perang Dunia II.

Dari Tuduhan Komplotan

Penemuan Saiyan Tiong mengungkap nista terbesar Jepang selama menduduki Borneo Barat. Dari keadaan tulang-belulang yang berbeda-beda, satu hal bisa disimpulkan: pembantaian dilakukan setindak demi setindak.

Dan demikianlah, sejak awal Oktober 1943 hingga Juni 1944, Mandor menjadi saksi bisu bagaimana tabiat Jepang memutus nyawa orang-orang yang tak pernah terbukti salahnya di kursi pengadilan.

Menurut Syafaruddin Usman MHD dan Isnawita Din dalam Peristiwa Mandor Berdarah (2009, hlm. 74), genosida yang dilancarkan Jepang bukanlah peristiwa insidental. Ia adalah ekses dari kecurigaan Jepang terhadap suatu kelompok yang diklaim hendak melawan otoritasnya di Banjarmasin pada 1943. Jepang juga menuduh mantan Gubernur Borneo B.J. Haga—ketika itu diinternir sebagai tahanan politik—sebagai otaknya.

Tuduhan Jepang terhadap Haga itu bermula dari satu praduga. Disebutkan Haga yang ditahan itu sering dikunjungi oleh seorang temannya yang peranakan India. Jepang mencurigai teman Haga itu membawa informasi-informasi dari radio gelap yang terlarang. Masa itu, Jepang hanya membolehkan warga mendengar siaran resmi pemerintah Jepang.

Maka mendengarkan radio gelap sudah lebih dari cukup dijadikan bukti untuk mendakwa seseorang sebagai pengkhianat.

Komplotan anti-Jepang pada akhirnya memang mengobarkan pemberontakan rakyat pada permulaan April 1943. Administratur KaigunAngkatan Laut Kekaisaran Jepang—Iwao Sasuga mengambil kebijakan tanpa ampun untuk mencegah pemberontakan itu meluas ke luar Banjarmasin. Haga dan 800 orang lain yang dituduh ikut berkomplot langsung dihabisi begitu tertangkap.

Jati Diri Nissinkai

Berita pemberontakan rakyat di Banjarmasin membuat seluruh Kalimantan terkejut. Bahkan, berita itu bergaung pula di Borneo Barat. Menurut Tsuneo Iseki dalam Pembantaian Penduduk Borneo Barat: Pembuktian Peristiwa Pontianak (1987), keadaan Pontianak sebenarnya relatif kondusif sejak masa awal pendudukan Jepang. Pemimpin-pemimpin rakyat cukup kooperatif dan patuh kepada perintah penguasa militer Jepang. Anasir gerakan anti-Jepang juga tidak terlihat.

Akan tetapi, Minseibukepala pemerintahan sipilBorneo Barat tetap menyusun tindakan preventif. Otoritas Jepang di Pontianak, misalnya, membubarkan sejumlah organisasi yang dinilai anti-Jepang, seperti Soerja Wirawan, Pemoeda Moehammadijah, serta Persatoean Anak Borneo.

Kendati organisasinya dibubarkan, para pemuka pergerakan tak pernah hilang akal. Dipelopori Raden Pandji Noto Soedjono dan dr. Roebini, puluhan eksponen gerakan yang dibubarkan itu kemudian membentuk wadah baru bernama Nissinkai. Meski namanya berbau Jepang, organisasi ini sejatinya adalah mantel bagi kepentingan pergerakan anti-Jepang.

Karena kamuflase yang baik, Nissinkai mendapat persetujuan dari Syuutizityo MinseibuIzumi serta mendapat sambutan dari Komandan Teritorial Kaigun Letnan Kolonel Yamakawa. Eksistensi Nissinkai bahkan juga direstui oleh para perwira tinggi Tokkeitai—polisi rahasia Kaigun. Otoritas Jepang sendiri memandang Nissinkai sebagai alat yang dapat dimanfaatkan sewaktu-waktu untuk kepentingan sipil maupun militer.

Namun, Nissinkaijustru bertindak sebaliknya. Secara diam-diam, mereka memengaruhi opini para penguasa feodal, pengusaha, serta tokoh masyarakat Dayak untuk ikut melawan Jepang. Dana organisasinya pun berasal dari donasi pengusaha-pengusaha Tionghoa yang anti-Jepang. Anggota Nissinkai kerap mengadakan pertemuan di Gedung Medan Sepakat Pontianak.

Ketika Nissinkaiterbentuk, MinseibuBanjarmasin mengutus Makaliwey dan dr. Soesilo untuk memperingatkan agar pimpinan Nissinkai turut menjaga situasi Pontianak tetap kondusif. Peringatan itu mudah saja ditebak berkaitan dengan meletusnya pemberontakan Haga di Banjarmasin.

Tapi, Makaliwey dan dr. Soesilo malah menjelaskan detail terjadinya pemberontakan dan penumpasannya yang brutal, termasuk soal Haga yang dipenggal setelah tewas digantung. Cerita itu lekas menyulut semangat Nissinkai untuk meluaskan pengaruhnya. Pemuda-pemuda dari Seinendan, Heiho, dan Keibodan—yang dilatih Jepang membantu barisannya—pun berbalik arah dan mulai melawan.

Mereka Mulai Disungkup

Kesetiaan memang tidak bisa dibeli. Meski menutup rapat jati dirinya dan bahkan saling berkomunikasi dengan sandi, Nissinkai tetap kecolongan pada akhirnya. Penguasa militer Jepang rupanya telah menyusupkan informan ke tubuh Nissinkai dan membongkar kedoknya.

Otoritas Jepang kemudian mengambil tindakan drastis dengan menangkap siapa pun yang terkait dengan Nissinkai. Penangkapan itu dilakukan secara masif dan bertahap. Pada 23 Oktober 1943, penangkapan gelombang pertama dimulai dari kalangan bangsawan, yakni para panembahan, pangeran, serta sultan yang bersimpati pada Nissinkai. Mereka yang tertangkap dikumpulkan di Pontianak dan kemudian diangkut dengan perahu ke Mandor untuk dieksekusi.

Dalam perjalanan [ketika] ada yang sakit, mereka langsung dilempar ke Sungai Kapuas atau Sungai Landak. Sungai menjadi kuburan termurah dan efisien bagi para tahanan karena tidak mungkin Jepang menguburkan satu per satu tahanan,” catat Usman dan Din dalam bukunya (hlm. 141).

Selain dengan perahu, tentara Jepang juga mengangkut para pesakitan dengan truk yang dijuluki oto sungkup oleh penduduk setempat. Karenanya, penangkapan dan eksekusi sonder pengadilan itu lazim disebut pula “penyungkupan”.

Penangkapan gelombang kedua dimulai pada 24 Januari 1944. Korbannya kali ini adalah keluarga Istana Kadriyah. Sultan Syarif Mohammad Alkadri—ayah Sultan Hamid II yang dikenal sebagai perancang lambang negara Garuda Pancasila—ikut pula diciduk. Tak hanya itu, Jepang juga merampas barang-barang berharga milik kesultanan, termasuk dua mahkota yang terbuat dari emas tulen.

Puncak penangkapan terjadi di tengah Konferensi Nissinkaidi Pontianak pada 24 Mei 1944. Seluruh peserta konferensi ditangkap dan divonis mati lewat sebuah pengadilan kilat. Selain para pelopor Nissinkai, Jepang juga turut menangkap Sultan Sambas, sejumlah panembahan dan kaum ningrat. Sebulan kemudian, giliran Sultan Mempawah Mohammad Taoefik Aqamaddin yang disungkup Jepang.

Infografik Mozaik Peristiwa Mandor Berdarah

Infografik Mozaik Peristiwa Mandor Berdarah. tirto.id/Tino

Misteri Jumlah Korban

Gelombang penyungkupan dan eksekusi terhadap Nissinkai dan para simpatiasannya baru berakhir pada 28 Juni 1944. Masyarakat Borneo Barat lalu digemparkan oleh berita bertajuk “Komplotan Besar Jang Mendoerhaka Oentoek Melawan Dai Nippon Soedah Dibongkar Sampai Ke Akar-akarnja” yang dimuat Borneo Sinbun edisi Sabtu, 1 Juli 1944.

Tidak ada yang mengetahui bagaimana para korban dieksekusi. Pun Borneo Sinbun sebagai koran propaganda tidak merinci bagaimana eksekusi terjadi. Masyarakat hanya tahu, pada hari itu, riwayat Nissinkai tumpas.

Kengerian dan masifnya pembantaian yang terjadi di Mandor itu tergambar dari waktu yang dibutuhkan Saiyan Tiong dan sejumlah tentara Australia untuk menggali semua tulang: tiga bulan!

Meski begitu, tidak ada catatan pasti mengenai jumlah korban yang dieksekusi Jepang di Mandor selama periode penyungkupan. Seorang sersan Tokkeitai menyebut angka 50.000 orang, sementara sumber lain menyebut 1.300 orang.

Pemerintah Kalimantan Barat secara resmi mencatat 21.037 orang jadi korban dalam Peristiwa Mandor Berdarah. Angka itu didapat dari catatan Laksamana Muda Kaigun Kiyotada Takahashi yang pernah bertugas di Pontianak.

Saya ingat dan punya catatan jumlah korban yang tertangkap ataupun terbunuh secara massal pada bulan Juni 1944, yaitu 21.037 orang. Akan tetapi tentang jumlah korban tersebut pernah tercatat dalam sebuah dokumen perang yang tersimpan di museum di Jepang,” ujar Takahashi kepada wartawan harian Akcaya Mawardi Rivai.

Siapa yang bertanggung jawab atas pembantaian ini? Dia adalah Laksamana Tadashige Daigo yang mewakili Markas Besar Kaigundi Surabaya. Dia sendiri telah dihadapkan ke Mahkamah Militer Sekutu yang digelar pada Oktober-November 1947 di Pontianak.

Meski begitu, Daigo sejatinya tak bersangkut-paut secara langsung dengan pembantaian itu. Di hadapan Mahkamah Militer Sekutu, dia tidak membela diri dan berani menanggung perbuatan sembrono anak-anak buahnya di Mandor. Daigo kemudian dieksekusi mati di muka Penjara Pontianak pada 6 Desember 1947.

==========

Artikel ini terbit pertama kali pada 1 Juli 2021. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait MOZAIK TIRTO atau tulisan lainnya dari Chris Wibisana

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi & Irfan Teguh Pribadi