tirto.id - Pemain drum Superman Is Dead (SID), I Gede Ari Astina alias JRX, kembali ramai jadi perbincangan. Pasalnya, ia beberapa kali mengunggah foto di Instagram soal konspirasi di balik munculnya virus Corona baru SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 dan sejumlah klaim terkait penyakit tersebut.
Salah satu unggahannya di Instagram adalah gambar tangkapan layar dari komentar akun Instagram @gorengcau2 (arsip) pada 28 April. Akun tersebut menyampaikan bahwa ada seorang pasien DBD yang dikira terpapar COVID-19 dan mendapat penanganan yang lambat hingga akhirnya pasien itu meninggal dunia.
Dalam unggahan itu, JRX memberikan komentar: “Yang ngelapor ke saya aja 1-2 orang/hari. Bisa bayangin sehari ada berapa kasus seperti ini di dunia? Jadi siapa yg lebih membunuh? Media mainstream (MSM) penyebar ketakutan hingga yg tak sakit merasa sakit lalu menyesaki RS? Gerakan #dirumahaja? Atau #kemBALInormal #matikanTV?."
Pada 22 April 2020, ia juga pernah mengunggah kalimat: “Hingga detik ini tidak ada satupun kasus kematian HANYA karena COVID ataupun ganja, tapi media/farmasi tiada henti menakuti hingga mitos ini jadi nyata” (arsip). Namun, dalam salah satu unggahannya, JRX tetap menyampaikan pentingnya "jaga jarak, masker, dan cuci tangan” sebagai upaya untuk mengakhiri pandemi ini.
Penelusuran Fakta
Demam Berdarah Dengue atau DBD telah menjadi pandemi. Kasus Dengue banyak ditemukan di daerah pedesaan, daerah miskin kota, dan daerah pinggiran. Dampak demam berdarah meningkat hampir 30 kali lipat dalam 50 tahun terakhir. Sekitar 390 juta orang diperkirakan terkena infeksi dengue di seluruh dunia per tahun.
Sayangnya, gejala DBD dan COVID-19 ternyata cukup serupa dan sulit dibedakan secara klinis. Hasil studi Gabriel Yan et. al. terhadap dua pasien di Singapura menemukan hasil tes false positive untuk DBD dan belakangan keduanya dikonfirmasi terinfeksi SARS-COV-2 penyebab COVID-19.
Salah satu dari dua pasien di Singapura tersebut mengalami demam dan batuk selama tiga hari. Sementara seorang lainnya mengalami demam, nyeri otot, batuk ringan selama 4 hari, dan diare selama 2 hari. Dengan gejala awal yang mirip, seseorang bisa saja didiagnosis terinfeksi DBD, padahal sebenarnya ia terjangkit COVID-19.
Penelitian Gabriel Yan dkk menekankan bahwa kegagalan mengenali COVID-19 karena hasil diagnosis false-positive penyakit DBD dapat memiliki implikasi yang serius tidak hanya terhadap pasien, namun juga masyarakat pada umumnya. Yan juga menyebutkan pentingnya tes diagnosis yang cepat, memiliki sensitivitas tinggi, dan mudah diakses publik.
Saat ini, ada dua cara deteksi COVID-19. Pertama adalah rapid test yang dilakukan menggunakan darah. Kemudian, metode PCR (sering disebut swab test) yang menggunakan sampel cairan dari saluran pernapasan bawah sebagai bahan pemeriksaan. Tes ini dilakukan oleh para petugas kesehatan dengan menyeka bagian belakang tenggorokan.
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS PatKlin), Profesor Dr. dr. Aryati MS SpPK(K), seperti yang ditulis Tempo, mengatakan rapid test SARS-CoV-2 untuk deteksi COVID-19 dengan pengambilan sampel darah seseorang memiliki keterbatasan. Adapun, yang diperiksa dalam tes cepat adalah antibodi.
Dalam pemeriksaan, sebut Aryati, itu bisa muncul false positive dan false negative. Hasil pemeriksaan false positive tidak berarti seseorang benar-benar terinfeksi SARS-CoV-2. Sementara, false negative tidak berarti seseorang tak terinfeksi.
Menurut Aryati, beberapa hal yang dapat menyebabkan false positive adalah kemungkinan cross reactive antibody dengan berbagai virus lain (virus Corona, virus dengue), dan kedua, infeksi lampau dengan virus Corona. Kemudian, berbagai hal yang dapat menyebabkan hasil false negative adalah belum terbentuknya antibodi saat pengambilan sampal (masa inkubasi) dan gangguan antibodi (immunocompromised) pada pasien.
Maka, apabila menemukan hasil tes cepat positif, harus dikonfirmasi dengan tes PCR. Artinya, bila seseorang positif pada pemeriksaan rapid test, maka harus diuji lagi dengan pemeriksaan PCR yang berbasis materi genetika berupa DNA. Apabila ditemukan hasil negatif, maka harus dilakukan pengambilan sampel ulang 7-10 hari kemudian.
Ukuran tingkat kepercayaan (confidence level) untuk deteksi berbagai patogen mulai dari yang tertinggi adalah kultur, molekular (DNA atau RNA), antigen, dan yang terendah antibodi (IgMG/IgG/IgA antipatogen tersebut). Untuk SARS-Cov-2 penyebab COVID-19, confidence level tertinggi saat ini adalah pemeriksaan molekuler, yaitu real-time PCR (RT-PCR).
Dari pemaparan tersebut, diagnosis positif DBD dan COVID-19 dapat tertukar karena keduanya memiliki gejala awal yang mirip serta sulit dibedakan secara klinis.
Selanjutnya adalah klaim terkait belum adanya kematian yang murni karena virus Corona baru SARS-CoV-2. Dalam beberapa pengujian klaim serupa oleh Tirto, memang ditemukan banyak pasien COVID-19 yang meninggal bukan disebabkan hanya oleh penyakit tersebut. Beberapa komplikasi penyakit yang menyertai pasien meninggal akibat COVID-19 itu bisa termasuk penyakit ginjal, diabetes, stroke, hingga jantung yang telah diderita pasien sebelumnya (premorbid dan comorbid).
Namun, terdapat pula pasien yang meninggal murni karena COVID-19 meski persentasenya kecil. Dilaporkan IDN Timesdan Tribun Jatim, Ketua Gugus Tugas Kuratif Satgas Penanganan COVID Jatim dr. Joni Wahyuhadi, misalnya, mengatakan dari 48 pasien yang meninggal dunia di Jawa Timur, hanya dua pasien yang murni meninggal karena infeksi SARS-CoV-2.
Di Italia, per 17 Maret 2020, terdapat 0,8 persen pasien COVID-19 yang meninggal tanpa komplikasi penyakit lain menurut laporan dari lembaga kesehatan nasional Italia, Istituto Superiore di Sanità atau ISS. Hal ini dilaporkan pula oleh Bloomberg dalam salah satu berita mereka.
Klaim hampir serupa pernah dikemukakan oleh Indro Cahyono. Dalam salah satu unggahannya di Facebook, dokter hewan yang juga ahli virus tersebut menyatakan bahwa korban meninggal COVID-19 tidak hanya disebabkan oleh wabah tersebut, melainkan juga komplikasi penyakit yang mereka bawa.
Namun, menurut dokter spesialis paru yang bertugas di RSUP Persahabatan Jakarta Erlina Burhan, pernyataan Indro bahwa korban COVID-19 meninggal hanya dikarenakan penyakit penyerta tidak tepat. Logikanya, lanjut Erlina, orang yang sakit tersebut tidak lantas akan meninggal jika tidak terkena COVID-19.
"Dia (Indro Cahyono) bilang orang meninggal karena stroke, hipertensi, sakit gula, dan lain-lain. Sekarang coba dibalik. Orang yang sakit stroke, jantung, hipertensi kalau enggak ada Corona, enggak mati, kan?" kata Erlina melalui sambungan telepon, Jumat (17/4/2020).
Kesimpulan
DBD dan COVID-19 memiliki gejala awal yang mirip dan dalam sejumlah kasus sulit dibedakan secara klinis. Sementara itu, klaim yang disampaikan JRX soal tidak ada pasien yang murni meninggal karena COVID-19 terbukti salah (false).
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara