tirto.id - Sudah beberapa bulan ini status-status akun Facebook Pahinggar Indrawan dipenuhi pesan-pesan galau:
"Cinta itu bukan dengan mulut...kasih itu bukan dengan disentuh...sayang itu bukan dengan diberi..cinta kasih sayang itu akan kau dapat saat dimana orang yang mencintai mengasih menyayangimu sampai akhir hayatnya hanya untukmu" (2 Desember 2016). "Disini lonely..diseberang happy2" (5 Desember 2016). "Mikirin yang dirumah... Yang dirumah mikirin ga ya.." (22 Februari 2017).
"Gue cinta mati sama dia, ya nggak tau kenapa emang pun jodohnya juga kali sekarang. Jadi sekarang dia pergi nggak tau ke mana ninggalin gue sama anak-anak. Susah juga sih jelasinnya gue. Gue sekarang pun nggak tau mau apa, gue juga bimbang," ujarnya.
Jumat 17 Maret 2017, Pahinggar ditemukan tewas bunuh diri di sebuah rumah di daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan. Sebelum ditemukan seorang warga, bapak lima anak berusia 35 tahun itu menyiarkan detik-detik kematiannya di Facebook secara langsung. Setelah menyatakan pesan terakhir yang ditujukan kepada istrinya, ia melingkari leher dengan seutas tali biru. Ia membutuhkan waktu beberapa menit untuk menutup proses kematiannya.
Sekitar 11 jam kemudian, Facebook menghapus video Pahinggar. Dikutip dari Tribunnews, pesan Pahinggar ke istrinya berbunyi: “Gue cinta mati sama dia, ya nggak tau kenapa emang pun jodohnya juga kali sekarang. Jadi sekarang dia pergi nggak tau ke mana ninggalin gue sama anak-anak. Susah juga sih jelasinnya gue. Gue sekarang pun nggak tau mau apa, gue juga bimbang … Sebenernya gue gak berani. Kita lihat aja. Mungkin gue akan siarin langsung. Kalau gak ya hanya video kenang-kenangan untuk istri gue aja.”
Mayoritas Laki-Laki
Belum ada data yang komprehensif tentang angka bunuh diri di Indonesia. Secara global, laporan World Health Organization (WHO) pada 2012 memperkirakan ada 800 ribu kasus bunuh diri di, dengan 86% terjadi pada kelompok usia di bawah 70 tahun dan 8,5% dari angka tersebut adalah orang-orang berusia 15-29. Pada kelompok usia terakhir ini, bunuh diri menjadi penyebab kedua tertinggi kematian setelah kecelakaan lalu lintas.
Di ASEAN, Myanmar menempati urutan pertama dalam rasio bunuh diri per 100 ribu penduduk, disusul oleh Thailand. Indonesia bertengger di peringkat delapan. Namun data dari WHO, yang utamanya dibangun di atas asumsi bahwa tingkat depresi berbanding lurus dengan bunuh diri, tidak menyebut situasi-situasi khusus seperti resesi ekonomi, krisis politik, perang, konflik bersenjata, dst. Upaya-upaya mengatasi krisis ekonomi Yunani yang telah berlangsung sejak 2008, misalnya, melibatkan kebijakan pemangkasan anggaran kesehatan publik secara masif, termasuk kesehatan publik. Sebagian besar yang bunuh diri adalah laki-laki berusia 50 tahun ke atas. Adapun studi yang dilakukan pada 2014 oleh United Nations Population Fund (UNFPA) melaporkan bahwa empat puluh satu persen para pengungsi Suriah di Lebanon, mayoritas remaja dan usia dua puluhan awal, mempertimbangkan bunuh diri.
Laporan WHO yang sama juga membagi pelaku bunuh diri berdasarkan jenis kelamin. Secara global, mayoritas pelaku adalah laki-laki. Pembagian peran sosial berdasarkan gender kemudian penting untuk dilihat.
Alice G. Walton, dalam sebuah artikel di majalah Forbes berjudul “The Gender Inequality Of Suicide: Why Are Men At Such High Risk?” (2012) menyatakan, dalam konteks rumah tangga heteroseksual, dorongan untuk memenuhi peran-peran maskulin tradisional sebagaimana yang diharapkan secara sosial adalah salah satu faktor pendorong depresi bagi laki-laki. Laki-laki memang mendapatkan keuntungan secara mental dan fisik dalam kehidupan rumah tangga. Namun karena hal itu juga, krisis rumah tangga, dipicu oleh soal-soal ekonomi atau hal lainnya, bisa berdampak lebih parah pada laki-laki ketimbang perempuan. Sebagai contoh, kehilangan pekerjaan akan membuat laki-laki menganggap dirinya pecundang “karena tidak bisa memenuhi dua tuntutan peranan utama maskulin: dipekerjakan dan 'menafkahi' keluarga,” tulis Walton.
Indonesia: Perempuan Lebih Rentan Bunuh Diri
Kendati ilustrasi di atas kelihatannya cocok mengilustrasikan bunuh diri Pahinggar, namun tren bunuh diri nasional berkebalikan jika dihitung berdasarkan jenis kelamin. Laporan WHO menyuguhkan angka 3,7 untuk laki-laki dan 4,9 untuk perempuan, per 100 ribu penduduk. Lagi-lagi, sifat akumulatif dari data tersebut menutupi hal-hal yang lebih spesifik seperti latar belakang sosio-ekonomi.
Jika depresi pada laki-laki terkait erat dengan ketidakmampuan memenuhi peran-peran sosial yang secara tradisional dibebankan pada laki-laki, studi Chris Girard “Age, Gender, and Suicide: A Cross-National Analysis” (1993) memaparkan bahwa sitgma yang melekat pada ketidaksuburan dan kepemilikan anak di luar pernikahan menjadi penyebab utama bunuh diri pada perempuan. Hal ini terjadi pada masyarakat di mana posisi sosial perempuan dibangun dan diukur dari status pernikahan.
Liputan-liputan di media tentang bunuh diri perempuan umumnya memuat profil ibu rumah tangga dengan isu yang beragam, mulai dari kekerasan dalam rumahtangga, hingga kesulitan ekonomi. Jika profil ini terbukti mewakili sebagian besar pelaku bunuh diri di Indonesia, beban kerja ganda (domestik dan luar rumah), ditambah lagi penempatan posisi perempuan sebagai manajer keuangan keluarga, barangkali perlu dipertimbangkan sebagai faktor pendorong.
========================
Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdikusi dengan pihak terkait, seperti psikolog atau psikiater maupun klinik kesehatan jiwa. Salah satu yang bisa dihubungi adalah Into the Light yang dapat memberikan rujukan ke profesional terdekat (bukan psikoterapi/ layanan psikofarmaka) di intothelight.email@gmail.com.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti