tirto.id - Pada mulanya sebuah kisah dari alam mimpi. Senyum mendadak hilang dari wajah Seda. Air muka wanita berusia 80 tahun itu mendadak serius. Seda bercerita soal hubungan mimpi dengan aktivitas menenun kain yang puluhan tahun ia geluti.
Ada kalanya, kata Seda, inspirasi motif kain tenun yang ia buat terinspirasi dari alam mimpi. Atau sebaliknya, Seda bisa jadi mengurungkan niat membuat motif tertentu untuk kain tenunnya akibat muncul peringatan dalam mimpi.
“Pernah buat motif tenun soal buaya, ada pesanan dari kota. Saya jawab bisa selesai 10 hari. Malamnya ada mimpi, tangan saya dimakan, besok bangun batal bikin kain, tidak dilanjut,” ujar Seda saat saya temui di kediamannya, Selasa (27/6/2023).
Ketika ditanya makhluk apa yang memakan tangannya, Seda menjawab singkat. “Manusia,” kata Seda.
Seda adalah anggota masyarakat adat Dayak Iban Menua Sungai Utik. Mereka bertempat di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Seda merupakan seorang penenun kain yang dituakan di Sungai Utik. Bagi perempuan adat Sungai Utik, aktivitas menenun kain adalah suatu kebangaan. Bukan sekadar melestarikan kerajinan kebudayaan adat mereka, menenun juga kental dengan unsur spiritual.
“Motifnya itu enggak boleh sembarangan juga, apalagi kalau misal kita menganyam satu motif lalu mimpi yang tidak baik berarti harus berhenti,” kata Seda.
Bagi Seda, aktivitas menenun berkaitan erat dengan tradisi masyarakat adat Dayak Iban yang bergantung pada kekayaan alam mereka. Utamanya sungai dan hutan. Hutan adat Dayak Iban Menua Sungai Utik, Ketemenggungan Jalai Lintang, sendiri terbentang seluas 9.480 hektare (ha). Hutan adat tersebut juga telah diakui secara resmi oleh pemerintah, melalui SK KLHK Nomor: 3238/2020.
Aktivitas menenun Seda ditopang berkat kekayaan keanekaragaman hayati atau biodiversitas hutan adat Sungai Utik yang melimpah. Ia menuturkan – hampir semua bahan – mulai dari alat menenun, benang, dan bahan pewarna didapatkan dari hutan. Biodiversitas hutan adat Sungai Utik bisa dibilang menjamin keberlangsungan aktivitas menenun Seda selama bertahun-tahun.
“Semua sumber (bahan menenun) ini dari hutan. Yang artinya menjaga-jaga hutan itu jadi (kewajiban) memang harus dijaga,” ungkap Seda.
Meski telah berusia lanjut, aktivitas menenun Seda membuatnya memiliki penghasilan tambahan yang cukup lumayan. Satu hasil kain tenun yang ia buat, dihargai mulai dari Rp3 juta hingga pernah terjual Rp7 juta. Namun ia menegaskan, aktivitas menenun yang ia lakoni bukan berorientasi semata-mata untuk bisnis.
Ia ingin menjaga kelestarian kebudayaan tenun Sungai Utik kepada anak-anak muda. Sekaligus menyampaikan pentingnya menjaga hutan bagi kegiatan masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik.
“Saya juga buat tenun sebagai ungkapan cinta untuk anak-anak dan cucu-cucu agar bisa dipakai atau dihadiahkan,” tutur Seda.
Hal senada juga diungkapkan oleh Helena Maria Cerembang. Perempuan adat Dayak Iban Sungai Utik ini sehari-hari melakoni hidup sebagai seorang petani. Helena menggarap lahan pertanian memanfaatkan lahan di hutan adat. Wanita berusia 47 tahun itu menanam padi dan berbagai jenis sayur-sayuran.
Menjaga keanekaragaman hutan, kata Helena, tetap dilakukan di hutan adat Sungai Utik. Aktivitas pertanian yang ia dan masyarakat adat Dayak Iban lakoni di hutan juga tak pernah dilakukan hingga merusak hutan. Ini menjadi bukti bahwa masyarakat adat memiliki aturan dan cara lokal yang dapat menyelaraskan aktivitas ekonomis dengan pelestarian alam.
“Kita menanam jenis-jenis baru juga untuk memperkaya (biodiversitas). Ada gaharu dan buah-buahan yang tidak banyak dilihat di kota,” kata Helena.
Menjaga keanekaragaman atau biodiversitas hutan, kata Helena, juga memberi kesempatan bagi anak-cucu mengetahui dan merasakan manisnya kekayaan hutan adat yang terjaga. Helena bercerita, dari hasil bertani padi saja ia bisa mencukupi kebutuhan beras hingga satu tahun. Sayur-mayur dan buah-buahan yang melimpah di hutan bisa mencukupi kebutuhan harian keluarganya. Hasil bertani juga sebagian ia jual dan berperan besar memutar roda pemasukan keluarga Helena.
“Saat pandemi saja kemarin, tidak ada itu kita kekurangan. Makan enggak susah, masih bisa untuk makan (dari hutan),” ujar Helena.
Seda, Helena, juga perempuan adat Dayak Iban Sungai Utik lainnya, menajamkan eksistensi sosial mereka berkat aktivitas harian yang kebutuhannya berasal dari hutan adat. Ketika saya mengunjungi Sungai Utik akhir Juni lalu, para perempuan adat Dayak Iban terlihat banyak melakukan aktivitas-aktivitas seperti menganyam tikar, menenun kain, bertani, membuat kerajinan tradisional, hingga memproduksi obat-obatan tradisional yang seluruh bahannya bisa di dapat di hutan adat. Peran mereka dalam kehidupan masyarakat adat berkaitan erat dengan hutan adat yang selama ini dijaga keanekaragaman hayatinya.
Menjamin Pemberdayaan
Ketua Serakop Iban Perbatasan, Herkulanus Sutomo Mana mengaminkan bahwa peranan perempuan adat Dayak Iban Sungai Utik berkelindan dengan aktivitas mereka yang bergantung pada hutan.
Peranan perempuan adat menjadi krusial di tengah masyarakat adat sebagai pengelola hasil kekayaan hutan. Perempuan adat dapat mencukupi kebutuhan keluarga baik secara ekonomis maupun kebutuhan pokok karena memanfaatkan hasil hutan.
Menurut Sutomo, keterlibatan peranan perempuan adat di Sungai Utik tak muncul secara instan. Hal ini dirasakan berkat pelatihan dan pendampingan dari berbagai organisasi pendamping masyarakat adat yang berjalan bertahun-tahun. Dulu, kata Sutomo, perempuan adat Dayak Iban Sungai Utik kerap tak terlibat dalam pengambilan keputusan.
“Tapi sekarang transformasinya terasa. Dulu ibu-ibu itu jarang mau ikut rapat. Sekarang justru mereka yang paling banyak keluar. Artinya mereka berarti tidak mau ketinggalan informasi,” ujar Tomo.
Pria yang tumbuh besar di Sungai Utik ini juga menambahkan, perempuan di masyarakat adat memiliki peranan penting dalam pengelolaan hutan. Mulai dari peranan domestik hingga pemanfaatan obat-obat tradisional. Aspek kelestarian budaya adat juga dapat dijaga selaras dengan terjaganya biodiversitas hutan.
“Itu yang kita jaga (biodiversitas hutan), supaya apa, mereka (perempuan adat) juga bisa menjadi terus produktif,” sambung Tomo.
Menjaga keanekaragaman hayati atau biodiversitas hutan memang berpengaruh besar dalam menjaga pemberdayaan perempuan dalam masyarakat adat.
Belum lagi ancaman hilangnya tingkat keanekaragaman hayati atau biodiversitas semakin nyata saat ini. International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List mencatat, tumbuhan yang terancam punah di dunia telah mencapai 24.914 spesies pada 2022 atau meningkat 6,77% dibandingkan tahun sebelumnya.
Sedangkan spesies hewan yang terancam punah pada 2022 sebanyak 16.900 spesies. Indonesia sendiri berada di urutan kedua dunia sebagai negara dengan megabiodiversitas, namun tercatat terbanyak keempat memiliki spesies yang terancam punah.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga menyatakan, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir kecenderungan jumlah jenis tumbuhan Indonesia yang terancam kepunahan semakin meningkat.
Adapun menurut laporan UNESCO, penyebab utama hilangnya biodiversitas adalah perubahan iklim, spesies invasif, eksploitasi berlebihan sumber daya alam, polusi dan urbanisasi. Aktivitas manusia bertanggung jawab sebesar 75 persen sebagai faktor penyebab hilangnya keanekaragaman hayati.
Komitmen Menjaga Biodiversitas
Ketua Umum Perempuan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Devi Anggraini menegaskan, menjaga keanekaragaman hayati hutan memiliki peranan penting dalam menjamin keterlibatan perempuan adat dalam komunitasnya.
Ruang-ruang sosial di wilayah adat yang berhubungan dengan sumber kehidupan mereka, peranannya banyak dipegang oleh perempuan. Menurut Devi, hutan sebagai sumber kehidupan masyarakat adat membuat perempuan adat terlibat langsung dalam memastikan ketahanan pangan.
“Itu memang harus melibatkan peran perempuan dalam keputusannya melindungi (keanekaragaman hayati hutan) itu. Jadi dalam proses itulah penting kita memastikan agar ruang-ruang ini masih tetap tersedia,” kata Devi di Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Hilangnya biodiversitas hutan berpotensi mengikis peran keterlibatan perempuan dalam ruang-ruang sosial masyarakat adat. Devi menyatakan, hal ini dapat memicu kekerasan berlapis bagi perempuan adat. Pertama, mereka akan tersingkirkan dari pembicaraan mengenai pengambilan keputusan dan pengelolaan wilayah adat sendiri. Kedua, juga memicu kekerasan domestik dalam lingkup keluarga dan individu.
“Jadi jika pemenuhan tak tersedia, kecenderungannya perempuan tidak bisa mengatakan ini hutan dan sungainya yang rusak, yang ada malah terjadi pemukulan, kekerasan pada perempuan. Karena (laki-laki) merasa itu adalah tanggung jawabmu dan itu harus kamu lakukan,” jelas Devi.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif ELPAGAR Kalimantan Barat Fubertus Ipur menyampaikan bahwa peranan perempuan adat di Sungai Utik bukan hanya terpenuhi dalam lingkup domestik, namun juga sudah mulai merambah dalam peranan strategis. Ipur yang telah lama mendampingi masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik ini menyampaikan bahwa kini, perempuan adat di sana mulai dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan rapat adat.
“Kalau dulu perempuan adat terpuruk di sektor domestik saja, saya melihat sendiri dan terlibat membangun diskusi kritis di sini, sehingga ibu-ibu dan teman-teman perempuan saat ini bisa diterima terlibat dalam memutuskan hal penting. Ini yang bernilai mahal di Sungai Utik,” ujar Ipur.
Kendati demikian, Ipur menegaskan hilangnya keanekaragaman hayati berarti hilangnya sendi kehidupan masyarakat adat, terutama kaum perempuan. Menurutnya, ancaman dari korporasi swasta yang mendorong kegiatan perkebunan industri tanaman monokultur masih menghantui biodiversitas hutan di Kalimantan.
“Sungai Utik beruntung ancaman ini tidak terjadi kepada mereka. Tapi kalau kita bicara hutan Kalimantan saja, ini masih terjadi. Lima puluh persen perkampungan masyarakat adat di Kalbar hancur karena dijadikan perkebunan monokultur dan hutan tanaman Industri (HTI),” jelas Ipur.
Kalau sudah begitu, kearifan lokal dan adat istiadat dapat terkikis. Masyarakat adat yang mayoritas merupakan petani subsisten akan kehilangan tanah dan malah jadi buruh perkebunan atau buruh tani korporasi.
“Ini akhirnya adat-adat istiadat dan relasi mereka terhadap alam hanya seremonial saja, karena alamnya sendiri sudah dirusak,” ungkap Ipur.
Memastikan terjaganya biodiversitas hutan adat membutuhkan intervensi kebijakan dari pemerintah. Ipur menyayangkan, pemerintah jarang melibatkan masyarakat adat dalam menentukan kebijakan yang berdampak langsung pada kehidupan mereka. Alih-alih memberi kesempatan masyarakat adat untuk mengelola hutan mereka secara mandiri, pemerintah cenderung membuat kebijakan yang mereduksi peran masyarakat adat.
Sejumlah penelitian bahkan menyatakan, pengetahuan adat dan lokal sangat penting untuk mempelajari beberapa praktik terbaik untuk penggunaan alam secara berkelanjutan. Masyarakat adat telah lama menerapkan pemanfaatan alam berkelanjutan seraya menjaga biodiversitas menurut praktik budaya mereka. Menjaga biodiversitas hutan memberikan kesempatan besar terhadap keterlibatan peran perempuan adat dalam sendi kehidupan komunitas mereka. Seperti di Sungai Utik, keduanya berjalan berjalan serasi dan beriringan.
“Ini membuktikan perempuan adat mau berkembang dengan kapasitas mereka. Dan mereka sendiri yang menentukan,” tutup Ipur.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri