tirto.id - KTT Antar-Korea yang terselenggara pada Jumat (27/4) akhir April lalu memunculkan sejumlah momentum bersejarah. Kim Jong-un jadi pemimpin Korea Utara pertama yang berkunjung ke Korea Selatan sejak kedua negara berseteru pada 1950-an. Puncaknya, kedua negara menyepakati Deklarasi Panmunjom yang banyak membahas masalah perdamaian dan keinginan mengakhiri status perang.
Namun, ada yang absen dari pertemuan kedua penguasa Semenanjung Korea, yaitu perkara pelanggaran HAM di Korea Utara. Sebelumnya, Human Rights Watch (HRW) ditambah 39 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) gabungan dari berbagai negara pada 10 April 2018 sudah mewanti-wanti kepada Moon Jae-in, Presiden Korea Selatan untuk mendesak Kim agar melaksanakan rekomendasi HAM dari PBB.
Setidaknya ada tiga poin tuntutan yang dilayangkan HRW bersama gabungan LSM dunia itu. Pertama, terlibat dalam isu-isu hak asasi manusia antar-Korea, termasuk dialog hak asasi manusia dan pertukaran informasi. Kedua, dorong pertemuan reuni reguler untuk keluarga yang terpisah. Ketiga, meningkatkan kontak antarwarga kedua Korea.
Dari ketiga desakan itu, hanya reuni keluarga saja yang disinggung dalam Deklarasi Panmunjom. Reuni keluarga korban Perang Korea rencananya bakal dihelat pada 15 Agustus mendatang.
Dalam waktu dekat, Kim dan Donald Trump dijadwalkan akan bertemu. Para aktivis HAM dan pembelot Korea Utara pesimistis Trump akan membahas pelanggaran HAM di hadapan Kim. Padahal Trump termasuk yang getol mengkritik Korea Utara dengan alasan pelanggaran HAM. Dilansir dari Reuters, keinginan Trump agar Korea Utara meninggalkan senjata nuklir bisa jadi penghambat agenda pengusutan dan penyelesaian pelanggaran HAM Korea Utara terancam menguap untuk kesekian kalinya.
“Presiden Trump harus mengangkat masalah hak asasi manusia di hadapan Kim Jong Un, tapi saya akan sangat terkejut jika dia benar melakukannya,” kata Phil Robertson, Wakil Direktur Human Rights Watch cabang Asia.
Banyak mantan pejabat dan diplomat Paman Sam turut mengkritik reputasi Trump yang hanya memprotes pelanggaran HAM yang terjadi di negeri-negeri seteru AS, misalnya Kuba, Venezuela, dan Korea Utara. Dengan landasan seperti itu, maka tuntutan desakan terkait masalah pelanggaran HAM tidak akan konsisten.
Di tengah desakan dan kecaman selama ini, Korea Utara bukannya tinggal diam. Pemerintahan Pyongyang pernah menuding balik AS dengan tuduhan pelanggaran HAM. Mereka merilis laporan berjudul “Buku Putih tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia di AS pada 2017” di Januari 2018 lalu.
Isi laporan itu merinci sejumlah pokok, misalnya bahwa anggota kabinet Trump adalah para miliarder dan konglomerat, penindasan terhadap pers, ketegangan rasial sejak Trump menjabat, kutipan statistik pengangguran dan jumlah tunawisma, hingga fakta bahwa mayoritas kelas pekerja AS kehilangan hak dasar untuk bertahan hidup, dilansir dari The Washington Post.
Pelanggaran yang Terjadi
Terlepas dari isu pelanggaran HAM yang masih akan jadi mainan dan memunculkan ketidakpastian, catatan Human Rights Watch memang menunjukkan sederet pelanggaran HAM di Korea Utara.
Sejak Perang Korea berkobar pada 1950 diperkirakan satu juta orang Korea telah dipisahkan atau dipaksa meninggalkan dari sanak keluarga mereka dalam arus pengungsian besar-besaran. Penghilangan paksa, penculikan atau upaya-upaya melarikan diri dari Korea Utara jadi fenomena sehari-hari yang mengiringi konflik di Semenanjung Korea itu.
Berdasarkan penyelidikan Komisi PBB pada 2014, pelanggaran di Korea Utara termasuk meliputi pembunuhan, perbudakan, penyiksaan, pemenjaraan, pemerkosaan, aborsi paksa dan kekerasan seksual lainnya.
Laporan Amnesty International teranyar periode 2017-2018 menyebut, pelanggaran HAM yang sistematis, meluas dan berat terus berlanjut. Sekitar 120.000 warga Korut meringkuk di penjara politik. Mereka dihukum kerja paksa, disiksa dan mengalami perlakuan sewenang-wenang lainnya.
Banyak dari mereka yang tinggal di kamp-kamp ditahan secara sewenang-wenang karena dianggap mengancam negara atau untuk kesalahan yang tak masuk akal.
Beberapa kasus penahanan di antaranya seperti yang dialami Otto Warmbier, pemuda berkewarganegaraan AS. Ia dipenjara pada 2016 karena mencuri poster propaganda. Wambier akhirnya meninggal enam hari setelah dipulangkan ke AS dalam keadaan koma. Pihak berwenang Korea Utara gagal menjelaskan penyebab memburuknya kondisi kesehatan Wambier selama penahanan.
Lim Hyeon-soo, seorang pendeta berkewarganegaraan Kanada dijatuhi hukuman tanam paksa seumur hidup pada 2015 lalu. Setelah lebih dari dua tahun ditahan, ia akhirnya dibebaskan karena alasan kemanusiaan. Selama ditahan, ia tak mendapat perawatan medis yang memadai.
Sepanjang 2017-2018, ada 1.127 warga Korea Utara yang memilih minggat dan membelot ke Korea Selatan. Angka tersebut diklaim Amnesty International sebagai yang terendah sejak 2002 silam. Ketatnya keamanan di perbatasan Cina-Korea Utara disinyalir jadi penyebab turunnya angka pembelot.
Sejak paruh kedua 2015, Korea Utara membangun kabel tegangan tinggi di sekitar Sungai Tumen yang tak lain adalah garis perbatasan antara Korea Utara dan Cina.
Data dari Kementerian Unifikasi di Korea Selatan yang dikutip dari The Korea Herald menyebut, hingga akhir Desember 2017, jumlah pembelot Korea Utara di Korea Selatan sudah mencapai 31.339 orang. Jumlahnya mencapai 30.000 orang pada November 2016 lalu.
Para pembelot bukan cuma berasal dari warga sipil dan para aktivis yang kontra dengan rezim Kim, tetapi juga kalangan tentara yang berjaga di garis perbatasan. Pada November 2017 lalu, Hankyoreh melaporkan seorang prajurit Korea Selatan berpangkat rendah berhasil menerabas masuk Korea Selatan.
Rekan militernya memberondong tembakan sebanyak 40 kali dan sempat memukuli lima kali. Namun, akhirnya ia lolos dengan keadaan luka-luka. Dalam tiga tahun terakhir, inilah pembelotan keempat yang dilakukan oleh tentara Korea Utara di garis perbatasan zona Demiliterisasi.
Dalam "Human Rights in North Korea: Addressing the Challenges" (2014, PDF) yang dimuat oleh International Journal of Korean Unification Studies, Roberta Cohen menyebutkan bahwa Korea Utara seringkali tidak mengizinkan pemantau dan pelapor HAM masuk ke wilayah mereka. Korea Utara juga tidak memberikan informasi yang memadai kepada badan PBB sebagai bentuk kepatuhan atas perjanjian HAM internasional yang telah disepakati.
Reaksi Korea Selatan
Bagi Korea Selatan, pelanggaran HAM di Korea Utara menjadi perhatian besar, terutama di bawah pimpinan Presiden Lee Myungbak dan Park Geun-hye. Dalam catatan Asia-Pacific Human Rights Information Center, pemerintah Korea Selatan mendukung kerja penyelidikan HAM PBB dan mengangkat isu HAM Korea Utara di banyak pertemuan internasional. Korea Selatan juga membentuk Yayasan Hak Asasi Manusia Korea Utara.
Kepemimpinan Moon Jae-in hari ini masih cenderung mempertahankan lembaga-lembaga HAM untuk Korea Utara warisan pemerintahan lama. Namun, pemerintahan baru mengubah orientasi kebijakannya dengan lebih terlibat dalam hal bantuan kemanusiaan dan bantuan pembangunan yang diharapkan mendorong perbaikan situasi HAM di Korea Utara.
Program Moon yang mendorong diadakannya reuni keluarga-keluarga yang selama ini tercerai-berai karena konflik dianggap sebagai langkah progresif. Ini juga yang tertuang dalam kesepakatan Deklarasi Panmunjom.
Lebih dari sepekan sejak KTT Antar-Korea yang menyepakati banyak perkara perdamaian, sejumlah aktivis pembelot dari Korea Utara masih menggelorakan pesan-pesan propaganda anti-rezim Kim.
Dilansir dari The Asahi Shimbun, pejabat Kementerian Unifikasi di Seoul, Korea Selatan akhirnya mengimbau seorang aktivis bernama Lee Min-bok untuk sementara menghentikan kampanyenya. Ia memang sudah 15 tahun belakangan aktif berkampanye membawa pesan kritis terhadap pemerintahan Korea Utara, termasuk perkara pelanggaran HAM.
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf