Menuju konten utama
23 Desember 2001

Perayaan HumanLight untuk Merangkul Keberagaman ala Amerika

Perayaan HumanLight digelar pertama kali pada 23 Desember 2001. Dilatari pesan-pesan humanisme dan keberagaman.

Perayaan HumanLight untuk Merangkul Keberagaman ala Amerika
Ilustrasi Mozaik HumanLight. tirto.id/Tino

tirto.id - Tak ada yang tahu pasti kapan Yesus Kristus lahir. Beberapa ahli dan akademisi muncul dengan temuan kemungkinan besar Yesus lahir di awal musim semi. Lagi pula, umat Kristen masa awal tidak merayakan Natal dan tidak menganggap kelahiran Yesus sebagai suatu perayaan agama.

Tapi, perayaan hari kelahiran Kristus sang Juru Selamat yang jatuh setiap tanggal 25 Desember dalam kalender Gregorian sudah jadi kelaziman bagi orang di zaman modern ini. Perayaan Natal yang kini kita kenal merupakan wujud perkembangan rangkaian seremoni religi dan tradisi masyarakat Eropa selama berabad-abad.

Akar dari perayaan Natal itu bermula dari era Romawi, tepatnya setelah Kaisar Constantine memutuskan untuk menjadikan Kristen sebagai agama resmi kekaisarannya pada abad ke-4 Masehi. Dia bahkan dikenal sebagai kaisar yang giat mempromosikan agama Kristen. Tak jarang, promosi agama Kristen ini mewujud dalam tindak pemaksaan dan bahkan penyiksaan terhadap mereka yang menolak. Imbasnya, para penganut kepercayaan lain harus menyingkir dari Romawi.

Pada 336 Masehi, Kaisar Constantine memerintahkan agar Natal dirayakan secara formal untuk pertama kalinya. Dia mengadopsi bentuk perayaan dari tradisi Paganisme dan mengemasnya dalam wujud baru. Selain itu, dia juga menetapkan tanggal 25 Desember sebagai hari Natal secara resmi.

Penetapan tanggal itu rupanya tak langsung bisa diterima oleh para pejabat tinggi kekaisaran, terutama mereka yang berasal dari Rowawi Timur. Karena satu dan lain hal, orang-orang Romawi Timur lebih memilih 6 Januari sebagai tanggal resmi Natal. Akibatnya, penetapan tanggal Natal itu jadi perselisihan hingga puluhan tahun kemudian.

Meski telah ditetapkan secara formal, nyatanya Natal tidak lantas menjadi perayaan utama agama Kristen hingga abad ke-9. Baru pada masa itulah berbagai ritual yang diadaptasi satu persatu mulai mewujud dalam formasi yang unik dan khas. Belakangan, selain pesta religi dan sekuler, ritus Natal juga sekaligus menjadi fenomena budaya dan komersial di hampir seluruh dunia.

Asal-usul Penentuan Tanggal 25 Desember

Referensi perayaan Natal di era Kaisar Constantine sangat banyak terpengaruh oleh budaya Paganisme.

Paganisme identik dengan simbol-simbol untuk merepresentasikan dewa-dewa. Dalam pandangan Kristen, juga agama-agama samawi lainnya, kaum Pagan dikenal sebagai penyembah berhala. Mereka meyakini ada banyak Tuhan di alam semesta. Keyakinan ini bertolak belakang dengan Yudaisme yang merupakan salah satu agama terbesar di Kekaisaran Romawi.

Di abad ke-3 Masehi, kaum Pagan punya tradisi perayaan kelahiran kembali matahari (Sol Invictus) yang jatuh setiap tanggal 25 Desember. Akhir Desember menandai berakhirnya musim dingin yang gelap dan kembalinya kehangatan musim semi. Ritual itu pun dilanjutkan dengan festival Saturnalia atau hari raya matahari. Dalam festival Saturnalia inilah orang-orang berpesta dan saling bertukar kado.

Perayaan dan Sol Invictus dan Saturnalia itulah yang kemudian disebut turut mempengaruhi ritual perayaan Natal versi agama Katolik Romawi. Paus Julius I lalu menetapkan tanggal 25 Desember sebagai tanggal resmi perayaan kelahiran Yesus.

“Tak seorang pun mengetahui dengan pasti kapan Yesus lahir. Perayaan Natal sendiri berasal dari perayaan yang dilakukan oleh penganut Paganisme,” kata Herbert W. Armstrong dalam bukunya The Plain Truth About Christmas (1986, hlm. 7).

Selain itu, tanggal 25 Desember juga diyakini oleh kalangan militer Romawi sebagai hari lahir Mithra, dewa cahaya dan loyalitas yang sangat populer. Di tahun-tahun awal penerimaan Romawi atas Kristen, sekte Mithra ini muncul sebagai alternatif dan menjadi rival utama orang-orang Kristen.

Selain berbagai adaptasi dari konsep lama, penetapan 25 Desember juga mendapatkan pengesahan dari Sextus Julius Africanus, sejarawan Romawi yang juga penganut Kristen. Menurutnya, Yesus mulai dikandung pada 25 Maret, sesuai dengan hari ketika bumi diciptakan. Oleh karena itu, setelah 9 bulan, Yesus lahir 25 Desember.

Selain itu, perayaan Natal juga disebut mengambil referensi dari festival Hanukkah yang dirayakan orang Yahudi. Hanukkah dirayakan pada bulan Kislev atau sekitar Desember dalam kalender Gregorian. Hanukkah dirayakan sebagai ungkapan syukur orang Yahudi atas berakhirnya masa-masa represi dan pelarangan praktik agamanya. Pemilihan Desember sebagai bulan perayaan Natal diduga juga terkait dengan alasan ini.

Di awal zaman modern, Natal semakin populer dan dirayakan besar-besaran dengan berbagai gimik dan pernak-pernik yang berbeda. Meski begitu, pada abad ke-17 perayaan Natal pernah dilarang di Inggris.

Ceritanya, pada 1645, Oliver Cromwell mengambil alih Inggris Raya bersama pasukan Puritannya. Mereka mengambil sumpah akan membawa kerajaan meninggalkan berbagai tradisi kuno untuk menghadapi dunia modern yang sejahtera. Salah satu langkah Cromwell adalah dengan menghapus perayaan Natal yang dianggap berasal dari tradisi kuno.

Rakyat Inggris baru merayakan Natal lagi ketika Raja Charles II naik takhta pada 1661.

Kelompok Pilgrims, golongan separatis Inggris Raya yang datang ke Amerika pada 1620, bahkan mendobrak tradisi dan lebih “ganas” ketimbang Cromwell. Di sana, mereka melarang perayaan Natal. Di Boston, perayaan Natal bahkan dianggap melanggar hukum dan mereka yang ketahuan merayakannya harus membayar denda. Berbagai aturan soal perayaan Natal kemudian berkembang di wilayah-wilayah lainnya di Amerika.

Infografik Mozaik HumanLight

Infografik Mozaik HumanLight. tirto.id/Tino

Perayaan Kemanusiaan

Di akhir dekade 1990-an, New Jersey Humanist Network berdiskusi perihal bagaimana orang-orang non-Kristen bisa ikut merasakan semaraknya Desember yang identik dengan Natal. Diskusi itu muncul karena perayaan-perayaan yang berlangsung pada Desember secara tak langsung telah dimonopoli oleh pesta keagamaan.

Kelompok itu kemudian berhasil menggalang dukungan dan berkampanye pada 23 Desember 2001—tepat hari ini 20 tahun silam—di Verona Park Boathouse di New Jersey. Kampanye yang kala itu dihadiri sekira 100 orang itu sekaligus jadi awal dari HumanLight Celebration. Perayaan itu kemudian disebut-sebut sebagai perayaannya warga sekuler dan non-Kristen Amerika.

Sejak itu, perayaan HumanLight rutin digelar setiap tahun dan semakin populer. Hingga 2010, setidaknya ada 30 perayaan lain yang serupa digelar oleh berbagai organisasi sekuler seperti American Humanist Association. Ide dari perayaan-perayaan itu sama: merayakan humanisme dan penghormatan terhadap keragaman kepercayaan di Amerika.

Perayaan HumanLight pertama sengaja digelar pada tanggal 23 Desember agar tidak mengganggu perayaan keagamaan lain—dalam konteks ini Natal. Para penggagasnya tidak ingin mengulang apa yang dilakukan oleh Kaisar Constantine yang menekan penganut kepercayaan lain atau Oliver Cromwell yang menghalangi Natal.

“Kami hanya ingin ada perayaan tanpa embel-embel agama. Kami sadar dan tidak ingin menggelar perayaan ini untuk melarang orang-orang merayakan Natal,” kata Patrick Colucci, anggota Komite HumanLight seperti dikutip oleh Joe Sterling di laman CNN.

Karena itu pula, tanggal perayaan HumanLight dibuat fleksibel. Meski perayaan HumanLight pertama dihelat pada 23 Desember, perayaan selanjutnya bisa digelar di tanggal berapa pun pada Desember. Lalu, untuk menjaga agar perayaan ini tetap positif, para penggagasnya merekomendasikan 3 nilai yang harus dipegang teguh dalam perayaan HumanLight, yaitu mensyukuri kemanusiaan, menghindari pesan negatif terhadap agama apa pun, dan menjaga perayaan ini layak diikuti oleh keluarga dan anak-anak.

Pada 2021 ini, perayaan HumanLight memasuki tahun yang ke-20. Berbagai organisasi telah menyatakan keikutsertaan pada acara yang digelar pada 18 Desember lalu. Beberapa di antaranya adalah American Ethical Union, Baltimore Coalition of Reason, Black Nonbelievers, Foundation Beyond Belief, Freedom from Religion Foundation, dan Secular Coalition for America.

Baca juga artikel terkait KEMANUSIAAN atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Tyson Tirta
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Fadrik Aziz Firdausi