tirto.id - Seorang pejabat senior keamanan mengatakan, sedikitnya 12 warga sipil telah meninggal dunia akibat ledakan pada hari Sabtu, 30 Oktober 2021, di dekat bandara Aden, ibu kota sementara pemerintah Yaman.
Seperti dikutip The Guardian, selain korban meninggal, ada juga yang mengalami luka serius. Sampai saat ini, penyebab ledakan itu belum diketahui. Namun sebelumnya, kurang lebih tiga minggu lalu, juga terjadi serangan bom mobil yang menargetkan gubernur Aden. Ia selamat tetapi enam orang lainnya tewas dalam insiden itu.
Berdasarkan rekaman AFP pada Sabtu lalu, orang-orang mengeluarkan mayat dari kendaraan yang telah hancur total, pemadam kebakaran pun terlihat memadamkan api.
Sampai saat ini, belum ada yang mengaku bertanggung jawab atas ledakan pada hari Sabtu itu,padahal ini adalah ledakan mematikan sejak Desember tahun lalu, ketika terjadi serangan yang menargetkan anggota kabinet.
Kala itu, sedikitnya 26 orang tewas, termasuk tiga anggota Komite Internasional Palang Merah. Puluhan lainnya juga dilaporkan mengalami luka-luka dan ledakan itu mengguncang bandara tak lama setelah pada menteri turun dari pesawat.
Semua anggota kabinet dilaporkan tidak terluka, tapi muncul dugaan kalau ledakan itu adalah serangan dari kelompok Houthi. Sedangkan dalam ledakan pada Sabtu lalu, tiga anak dilaporkan tewas, sedangkan tiga lainnya di lingungan kota ketiga Yaman, Taiz terluka parah.
“Milisi Houthi yang didukung Iran menargetkan lingkungan al-Kamp dengan […] peluru, yang menyebabkan kematian tiga anak,” kata kantor berita Saba.
Pada pertengahan Oktober lalu, tercatat lebih dari 130 pemberontak Yaman meninggal dalam serangan di selatan Marib, sebuah koalisi yang dipimpin Saudi. Berdasarkan sumber-sumber militer, pemberontak merebut sebuah distrik 25 kilometer selatan kota strategis.
The Defense Post melaporkan, ratusan pemberontak Houthi yang didukung Iran dan loyalis pemerintah itu tewas sejak pertempuran di Marib. Sebagaimana diketahui, Kota Marib adalah benteng terakhir pemerintah yang diakui secara internasional di Yaman sekaligus merupakan tempat kaya minyak.
Banyak serangan yang terjadi di distrik Provinsi Marib, setelah paling tidak koalisi menyatakan, serangan udara yang terjadi sehari sebelumnya telah membunuh lebih dari 150 orang pemberontak.
“Kami menargetkan sembilan kendaraan militer milisi Houthi di Abdiya, dan kerugian mereka melebihi 134 anggota,” kata pernyataan koalisi yang disiarkan oleh media resmi Saudi.
Perang Yaman dan Konflik Berkepanjangan
Taiz adalah kota dengan jumlah penduduk 600 ribu orang di bawah kendali pemerintah di barat daya Yaman, sebuah negara yang sudah berperang selama tujuh tahun terakhir.
Dalam beberapa pekan terakhir, pertempuran itu kembali meningkat di Kota Marib, provinsi yang kaya minyak. Kota itu adalah satu-satunya benteng utara pemerintah yang tersisa.
Di sisi lain, Yaman adalah rumah bagi al-Qaida di semenanjung Arab, yang meluncurkan serangan berkala terhadap pejuang yang bersekutu dengan otoritas negara dan pemberontak.
Dalam sejarah konflik di Yaman, setidaknya puluhan orang, sebagian besar warga sipil, telah meinggal dan jutaan orang mengungsi. PBB bahkan menyebutnya sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
BBC melaporkan, konflik itu berakar dari kegagalan transisi politik atas pemberontakan Musim Semi Arab yang memaksa otoriter lama, Ali Abdullah Saleh, untuk menyerahkan kekuasaan pada wakilnya, Abdrabbuh Mansour Hadi pada tahun 2011.
Saat menjadi presiden, Hadi berjuang menangani berbagai masalah, seperti serangan oleh para jihadis, gerakan separatis di selatan, serta korupsi, pengangguran dan kerawanan pangan.
Kendati demikian, Gerakan Houthi yang memperjuangkan minoritas Muslim Syiah Zaidi Yaman dan memerangi serangkaian pemberontakan melawan Saleh selama dekade sebelumnya, melihat keuntungan dari kelemahan presiden baru dengan mengambil kendali dari jantung utara provinsi Saada dan daerah tetangganya.
Kecewa dengan masa transisi itu, banyak warga Yaman biasa, termasuk Sunni, ikut mendukung Houthi, dan pada akhir 2014 dan awal 2015 melakukan pemberontakan secara bertahap mengambil alih ibu kota Sanaa.
Editor: Iswara N Raditya