Menuju konten utama

"Perang Tarif Sebenarnya Wajar"

PT Go-Jek Indonesia belum lama ini didemo oleh para drivernya. Penyebabnya, Gojek mengeluarkan aturan baru dengan menurunkan tarif dan menambah sistem penilaian kinerja  para driver. Adakah solusi dari persoalan yang bakal terulang semacam ini?

Azas Tigor Nainggolan [ANTARA FOTO/Yustinus Agyl]

tirto.id - Permasalahan antara manajemen Gojek dengan para pengemudi terjadi karena belum adanya regulasi dari pemerintah yang mengatur soal ojek berbasis aplikasi online. Jika masalah ini tidak bisa diselesaikan dan akan terus terjadi karena tidak adanya aturan yang mengatur soal tarif ojek online.

Berikut petikan wawancara tirto.id dengan pengamat transportasi Azas Tigor Nainggolan melalui sambungan telepon seluler, Rabu (17/8/2016)

Bagaimana Anda melihat fenomena munculnya Gojek dan persaingan usaha Ojek Online saat ini?

Fenomena begitu lahir dari permasalahan angkutan umumnya masih jelek. Nggak akses, nggak nyaman dan aman. Sementara pada saat bersamaan, kebutuhan masyarakat untuk transportasi ini masin besar dan tidak bisa dianggap remeh.

Munculnya, masalah itu, sampai akhirnya ada perang tarif sebenarnya wajar. Pertama karena memang sampai sekarang belum ada regulasi yang mengaturnya. Untuk kendaraan taksi online sudah ada regulasinya, Peraturan Menteri nomor 32 tahun 2016. Bagaimana dengan roda dua? Ini yang jadi masalah.

Apa masalahnya untuk kendaraan roda dua?

Roda dua sampai sekarang belum diatur. Kenapa belum? Rupanya karena Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan itu belum mengakui roda dua segai moda angkutan umum. Itu hambatannya. Karena belum, jadi belum bisa diregulasi. Soal tarif itu tergantung pada operatornya yang membawahi ojek-ojek itu.

Kalau begitu bagaimana persaingan usaha yang membuat driver menanggung akibatnya?

Persaingan itu wajar. Kalau angkutan umum ekonomi ada standarnya untuk tarif. Tapi untuk taksi, mobil sewaan, itu nggak masuk dalam kategori tersebut. Tarif dilepas di pasar. Pemerintah tidak bisa intervensi. Pemerintah hanya masuk ke angkutan ekonomi seperti TransJakarta. Angkutan online, kalau saat rush hour harganya sangat tergantung.

Kalau sibuk banget bisa naik 70 persen. Itu tidak apa-apa. Kalau penggunanya memang lagi butuh mau berapa pun harganya pasti diambil. Misalnya saya lagi mau pulang buru-buru, saya cari Gojek dan Grab, ternyata lebih murah di Gojek, tapi lama dapatnya. Sementara di Grab cepat, tapi lebih mahal. Saya tentu akan pakai Grab saja. Persaingan itu nggak ada masalah.

Lalu bagaimana dengan nasib para pengemudi?

Keberatan para pengemudi itu tergantung bagaimana dibangun kesepakatannya. Antara Gojek dengan pengemudinya. Ini yang penting. Pemerintah tidak bisa masuk ke sana.

Hubungan kerja antara GoJek dan driver itu disebut bermitra, apakah itu bisa seimbang?

Begini, untuk taksi online Grab atau Uber atau Gojek itu adalah operator IT-nya. Berdasarkan berdasarkan Permen nomor 32 tahun 2016, yang harus memiliki izin perusahaan sendiri itu adalah armadanya, yakni izin transportasi.

Nanti si operator IT-nya kerja sama dengan perusahaan armada, bentuknya bisa Koperasi atau PT. Jadi provider IT tidak boleh langsung berkontrak dengan pengemudi. Sementara untuk yang roda dua ini, belum ada regulasinya. Karena itu akan selalu ada masalah. Kalau tidak segera dibentuk regulasinya, masalah lain akan muncul, masalah tarif, izin dan lainnya.

Termasuk masalah pajak juga?

Itu juga. Makanya harus diregulasi dulu. Diatur dong caranya, kalau taksi online sudah bisa. Ojek roda dua ini yang belum.

Apa solusinya?

Idealnya harus merubah Undang-undang nomor 22 tahun 2009. Diamandemen, sehingga roda dua diakui sebagai moda angkutan umum.

Apa bisa roda dua menjadi angkutan umum?

Banyak ahli bilang roda dua ini tidak bisa jadi angkutan umum karena faktor keamanan. Semua kendaraan itu bisa menjadi kecelakaan, mau mobil, pesawat pun bisa kecelakaan. Benar kan? Sekarang tinggal bagaimana soal pengawasannya dilakukan secara baik oleh pemerintah. Saya kira selama roda dua itu mengikuti aturan hukum lalu lintas, tidak akan ada masalah.

Apa saran Anda untuk pemerintah?

Pertama pemerintah harus punya sikap dulu. Mau nggak mengakui roda dua sebagai transportasi umum? Kalau nggak mau, Gojek, Grab dan sejenisnya harus dilarang. Kedua, kalau pemerintah mau mengakui segera diamandemen. Sekarang menggantung, yang rugi masyarakat.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti