Menuju konten utama

Perang Dagang Memanas, BI Tahan Suku Bunga Acuan di Level 6%

Perry mengatakan, Bank Indonesia akan terus mencermati kondisi pasar keuangan global.

Perang Dagang Memanas, BI Tahan Suku Bunga Acuan di Level 6%
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan keterangan pers tentang hasil Rapat Dewan Gubernur BI bulan April 2019 di kantor pusat BI, Jakarta, Kamis (25/4/2019). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/ama.

tirto.id - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 15-16 Mei 2019 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di level 6,0 persen. Suku bunga Deposit Facility dan Lending Facility juga ditahan masing-masing sebesar 5,25 persen dan 6,75 Persen.

Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan, keputusan itu sejalan dengan upaya menjaga stabilitas eksternal perekonomian Indonesia di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang meningkat.

"Bank Indonesia akan terus mencermati kondisi pasar keuangan global dan stabilitas eksternal perekonomian Indonesia dalam mempertimbangkan terbukanya ruang bagi kebijakan moneter yang akomodatif sejalan dengan rendahnya inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri," ujar Perry dalam konferensi pers di Kompleks BI, Kamis (16/5/209).

Terkait kondisi eksternal, papar Perry, pemulihan ekonomi global masih lebih rendah dari prakiraan. Di sisi lain, ketidakpastian pasar keuangan yang kembali meningkat karena eskalasi perang dagang AS dan Cina. Hal itu kembali memicu peralihan modal dari negara berkembang ke negara maju, meskipun respons kebijakan moneter global mulai melonggar.

"Kedua perkembangan ekonomi global yang kurang menguntungkan tersebut memberikan tantangan dalam upaya menjaga stabilitas eksternal baik untuk mendorong ekspor maupun menarik modal asing," imbuh Perry.

Pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan menurun dipicu stimulus fiskal yang terbatas, pendapatan dan keyakinan pelaku ekonomi yang belum kuat, serta permasalahan struktur pasar tenaga kerja yang terus mengemuka.

Perbaikan ekonomi Eropa diperkirakan lebih lambat akibat melemahnya ekspor, belum selesainya permasalahan di sektor keuangan, serta berlanjutnya tantangan struktural berupa aging population.

Ekonomi Cina juga diperkirakan belum kuat, meskipun telah ditempuh stimulus fiskal melalui pemotongan pajak dan pembangunan infrastruktur. Pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat berpengaruh kepada volume perdagangan dan harga komoditas global yang menurun, kecuali harga minyak yang naik pada periode terakhir dipengaruhi faktor geopolitik.

Sementara dari sisi domestik, Bank sentral akan terus memastikan ketersediaan likuiditas di perbankan serta melanjutkan kebijakan makroprudensial yang akomodatif, antara lain dengan mempertahankan rasio Countercyclical Capital Buffer (CCB) sebesar 0 persen; rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 4 persen dengan fleksibilitas repo sebesar 4 persen; dan kisaran Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) sebesar 84-94 persen.

"Kebijakan sistem pembayaran dan pendalaman pasar keuangan juga terus diperkuat guna mendukung pertumbuhan ekonomi. Koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait terus dipererat untuk mempertahankan stabilitas ekonomi, mendorong permintaan domestik, serta meningkatkan ekspor, pariwisata, dan aliran masuk modal asing," imbuh Perry.

Baca juga artikel terkait PERANG DAGANG AS-CINA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Alexander Haryanto