Menuju konten utama

Perang AI Perusahaan IT: Ketika 'Bapak' Deepfakes Pindah ke Apple

Perusahaan-perusahaan teknologi dunia bersaing mengembangkan kecerdasan buatan. Salah satunya lewat akuisisi.

Perang AI Perusahaan IT: Ketika 'Bapak' Deepfakes Pindah ke Apple
CEO Apple Tim Cook berbicara tentang Apple iPhone XS di Teater Steve Jobs saat acara perilisan produk Apple baru Rabu, 12 September 2018, di Cupertino, Calif. AP Photo / Marcio Jose Sanchez

tirto.id - Perusahaan-perusahaan teknologi raksasa dunia kini tengah berlomba-lomba mengembangkan Artificial Intelligence (AI) secara serius. Mereka melihat AI sebagai masa depan dan menanamkan modal besar-besaran di bidang ini. Salah satunya Apple.

Selama bertahun-tahun teknologi percakapan AI miliki Apple yang bernama Siri dinilai inferior dibandingkan dengan asisten virtual bikinan Google (Google Assistant) dan Amazon (Alexa). Dalam setahun terakhir, Apple tengah berusaha menebus ketertinggalan.

Pada Kamis (4/4) lalu, CNBC melaporkan salah satu orang penting dalam bidang AI di Google (dan juga di dunia), Ian Goodfellow telah bergabung dengan Apple dan menduduki jabatan sebagai seorang direktur di perusahaan tersebut.

Kabar ini secara tidak langsung dikonfirmasi oleh Goodfellow. Pada hari yang sama, Goodfellow telah memperbarui laman profil LinkedIn miliknya. Tertulis ia resmi pindah sejak bulan Maret dan menduduki jabatan sebagai Director of Machine Learning yang mengepalai proyek-proyek spesial.

Goodfellow bukanlah orang sembarangan di dunia AI. Ia adalah ‘bapak’ dari sebuah pendekatan AI yang dikenal dengan istilah “jaringan adversarial generatif” atau generative adversarial networks (GANs).

Pendekatan ini mengacu pada dua jaringan. Jaringan pertama disebut "jaringan generatif", sementara jaringan kedua disebut "jaringan diskriminatif". Kedua jaringan ini kemudian digunakan untuk memproduksi audio, video dan teks yang sifatnya kreatif.

GANs bekerja secara kontinyu. Alogaritma dari jaringan generatif akan memproduksi konten berdasarkan data asal yang dimasukkan. Alogaritma kedua dari jaringan diskriminatif kemudian akan berusaha mencari ‘kesalahan’ yang dapat ditemukan pada hasil konten jaringan generatif dan bakal dipakai oleh jaringan generatif untuk memproduksi konten yang baru.

Proses ini terus berulang dalam proses deep learning di mana kedua alogaritma akan saling belajar satu dengan yang lain. Proses ini kemudian membentuk konten yang lebih sempurna dibandingkan konten sebelumnya.

Sederhananya, alogaritma pertama, misalnya, membuat sebuah gambar kucing dari data sebuah gambar kucing sungguhan. Alogaritma kedua kemudian mencoba mencari gambar kucing hasil alogaritma pertama yang tampak palsu. Hasil alogaritma kedua ini kemudian kembali digunakan oleh alogaritma pertama untuk membuat konten yang lebih baik. Proses ini disebut machine learning.

Tidak heran jika proses interaksi melalui Google Assistant tampak sangat manusiawi. Melalui teknologi Google Duplex, misalnya, Google Assistant menunjukkan bagaimana teknologi AI mampu menduplikasi reaksi natural manusia dengan sangat baik sehingga sangat susah untuk membedakan mana suara mesin dan mana suara asli manusia.

Tak hanya membantu pekerjaan manusia, GANs nyatanya juga digunakan untuk menciptakan konten media palsu yang nampak realistis: “Deepfake.”

Goodfellow sendiri mendapatkan gelar doktor di bidang machine learning dari Universitas Montreal pada 2014 dan pernah pula bekerja di perusahaan teknologi OpenAI. Risetnya tentang Deep Learning dan GANs sering dikutip di dunia akademik. Masih menurut CNBC, ketika bekerja di OpenAI, ia pernah digaji lebih dari 800.000 dolar AS.

Pekerjaan Goodfellow di Google masih di ranah GANs dan keamanan digital, termasuk di bidang adversarial attacks. Apple sendiri memiliki pekerja di bidang AI yang telah melakukan riset terkait penggunaan GANs.

Terkait teknologi AI, Apple menerapkannya untuk fitur FaceID, Siri, serta proyek teknologi kemudi otonom yang disebut Proyek Titan. Namun, baru-baru ini Apple memecat lebih dari 200 pegawai dari Proyek Titan. Seorang juru bicara Apple mengindikasikan perusahaan tengah mengalihkan fokus pengembangan AI ke bidang lain.

Perlombaan AI

Bukan pertama kalinya Apple ‘mencuri’ pegawai kenamaan Google di bidang AI. Pada April 2018, Apple menggaet John Giannandrea yang kala itu menjabat sebagai kepala AI dan pencarian Google.

Mengutip New York Times, Giannandrea akan menjadi orang yang bertanggung jawab atas strategi AI dan machine learning Apple. Tidak hanya itu, ia menjadi satu dari 16 eksekutif perusahaan yang akan memberikan laporan langsung kepada CEO Apple, Tim Cook. Giannandrea dikenal karena keberhasilannya mengintegrasikan AI dalam produk-produk Google, termasuk pada pencarian internet, Gmail dan Google Assistant.

Selain Giannandrea, Apple juga telah menggaet sejumlah praktisi ternama lainnya di bidang AI seperti Ruslan (Russ) Salakhutdinov. Russ merupakan profesor ilmu komputer di Departement of Machine Learning, School of Computer Science, Universitas Carnegie Mellon. Di Apple, ia menjabat sebagai Direktur Riset AI.

Avi Greengart, direktur riset di GlobalData, menilai langkah Apple adalah sinyal untuk dua hal. “Apple mengakui bahwa mereka akan membayar apapun untuk meningkatkan kualitas AI di semua produk dan layanannya. Kedua, pendekatan Apple pada AI yang berpusat privasi cukup menarik untuk memikat talenta-talenta unggulan,” sebut Greengart, dilansir Tom’s Guide.

Di sisi lain, sejak 2016 Google telah menyatakan akan menjadikan AI sebagai inti dari semua layanannya. Dilansir dari Business Insider, CEO Google Sundar Pichai mengatakan, “Dalam jangka panjang, kami berevolusi dalam komputasi dari dunia 'mobile-first' ke dunia 'AI-first'.”

Google membuktikannya melalui sejumlah akuisisi sejumlah perusahaan rintisan teknologi yang bergerak di bidang AI. Menurut laporan CBInsights, Google mengakuisisi DeepMind dengan nilai 600 juta dolar AS pada 2014. Dengan teknologi yang dimiliki DeepMind, Google dapat mencari rute tercepat di stasiun-stasiun kereta api bawah tanah hingga mengalahkan juara catur ‘Go’ dalam sebuah permainan.

Masih menurut catatan CB Insights, Google merupakan perusahaan yang paling banyak mengakuisisi startup AI sejak 2010 hingga 2018 dengan total 14 akuisisi. Selain DeepMind, ada pula DNNResearch dari departemen ilmu komputer Universitas Toronto yang diakuisisi pada 2013. Akuisisi ini dikabarkan telah banyak membantu Google dalam pengembangan fitur pencarian gambar.

Infografik Beradu Kecerdasan Buatan

undefined

Pada 2016, Google juga mengakuisisi API.ai yang membantu pengembangan pemrosesan bahasa natural dalam produk Google Assistant.

Apple sendiri berada dalam posisi kedua dalam upaya akuisisi ini dengan jumlah mencapai 13 akuisisi. Dalam catatan CBInsights, jumlah akuisisi Apple menurun drastis sejak mengakuisisi Siri pada 2010 yang kemudian membawa gelombang kepopuleran asisten AI. Namun, sejak 2016 jumlah akuisisi startup AI yang dilakukan Apple kembali menanjak.

Facebook menempati peringkat ketiga dengan jumlah enam akuisisi, disusul oleh Amazon dengan lima akuisisi. Salah satu implementasi teknologi AI Amazon dapat ditemukan misalnya pada toko canggih mereka di Seattle, AS, yang bernama Amazon Go. Di toko ini, transaksi jual beli hanya mengandalkan teknologi AI untuk mencatat total harga belanjaan konsumen sehingga konsumen dapat langsung meninggalkan toko tanpa direpotkan oleh mengantri di kasir.

Dengan penggunaan AI yang semakin meluas, menarik untuk melihat bagaimana bergabungnya Goodfellow dapat merubah peta persaingan AI di dunia raksasa IT.

Di Indonesia sendiri, salah satu startup unicorn Tokopedia juga secara terbuka menunjukkan investasi mereka di bidang AI melalui peluncuran pusat pengembangan AI dengan menggandeng Universitas Indonesia, Maret lalu. Bertajuk Tokopedia-UI AI Center of Exellence, proyek ini adalah yang kedua, menyusul peluncuran laboratorium serupa di Universitas Gadjah Mada pada Februari 2018.

Baca juga artikel terkait ARTIFICIAL INTELLIGENCE atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Windu Jusuf