Menuju konten utama

Peran Kiai NU Menentukan Kemenangan Jokowi-Ma'ruf di Jawa Timur

Kemenangan Jokowi-Ma'ruf di Jawa Timur tak lepas dari dukungan NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, terutama jaringan kiai dan pesantren sebagai patron masyarakat.

Peran Kiai NU Menentukan Kemenangan Jokowi-Ma'ruf di Jawa Timur
Jokowi Berpidato di kampung deret, selasa 21/5/2019. tirto.id/Riyan

tirto.id - Perhitungan suara Pilpres 2019 telah usai. Senin (21/5/2019) dini hari, KPU mengumumkan hasilnya. Pasangan nomor urut 01, Jokowi-Ma’ruf, keluar sebagai pemenang dengan total suara sebesar 85.607.362 (55,50 persen). Sementara pasangan nomor urut 02, Prabowo-Sandiaga, hanya meraih suara sebesar 68.650.239 (44,50 persen).

Prabowo-Sandiaga hanya menang di 13 provinsi, sedangkan Jokowi-Ma’ruf menang di 21 provinsi, termasuk di Jawa Timur. Di provinsi ini, Jokowi-Ma’ruf menang di 32 kabupaten/kota. Mereka hanya kalah di Bondowoso, Pacitan, Pamekasan, Sampang, Situbondo, dan Sumenep.

Kemenangan Jokowi’Ma’ruf di Jawa Timur tak bisa dilepaskan dari pengaruh Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, serta yang paling solid dan banyak anggotanya di Jawa Timur.

Sejak kembali ke khittah 1926 pada 1984, NU memang tak pernah secara resmi dan formal berpolitik praktis. Namun, kecenderungan-kecenderungan pilihan pada salah satu kontestan politik selalu terlihat dari pelbagai manuver yang dilakukan oleh sejumlah tokohnya.

Terpilihnya Ma’ruf Amin (mantan Rais Aam PBNU) sebagai calon wakil presiden yang mendampingi Jokowi, tentu menjadi catatan tersendiri. Belum lagi kemunculan Jokowi bersama Habib Luthfi bin Yahya dan Mbah Moen (K.H. Maimoen Zubair) sebagai tokoh-tokoh NU semakin menegaskan kecenderungan ekspresi politik mayoritas warga nahdliyin.

Hal ini sesuai dengan hasil survei yang sempat dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada awal April 2019. Hasil survei itu menunjukkan sebesar 62,7 persen nahdliyin mendukung Jokowi-Ma’ruf, sementara sisanya mendukung Prabowo-Sandiaga, terutama di Banten dan Jawa Barat.

Pada bulan yang sama, Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, K.H. Anwar Iskandar, bahkan menargetkan kemenangan Jokowi-Ma’ruf di Jawa Timur sebesar 70 persen. Hal itu ia sampaikan usai menghadiri ikrar dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf, di Pondok Pesantren An Nur 1, Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang.

Ia menegaskan, secara organisasi NU memang tidak berpolitik praktis, tapi warga NU termasuk pengurus, kiai, dan santri, memiliki hak politik yang sama dengan warga negara lain.

Garis Demarkasi dengan Islam Konservatif

Menurut M. Faishal Aminudin, pengajar Ilmu Politik di Universitas Brawijaya, Malang, salah satu faktor yang mendorong warga nahdliyin memilih Jokowi-Ma’ruf adalah garis keislaman NU yang moderat. Sementara pihak Prabowo-Sandiaga lebih dekat dengan kelompok-kelompok Islam puritan, bahkan "garis keras".

Dihubungi Tirto lewat telepon pada Rabu (22/5), ia menambahkan, Prabowo-Sandiaga sebetulnya punya peluang lebih besar untuk menarik simpati warga nahdliyin, karena isu ekonomi cukup memberatkan Jokowi. Namun, karena pasangan tersebut justru menjadi dekat dengan kalangan Islam konservatif dan cenderung transnasional, maka NU pun menjauhinya.

Menurutnya, Ma’ruf Amin sebetulnya sosok kiai yang tidak begitu mengakar di kalangan nahdliyin. Hal ini terbukti dengan kekalahannya di Banten sebagai tempat kelahirannya. Namun, karena ideologi keislaman para pendukung Prabowo-Sandiaga tidak sesuai dengan prinsip-prinsip NU, maka dukungan pun mengalir ke Jokowi-Ma’ruf.

Jawa Timur sebagai basis warga Nahdliyin terbesar di Indonesia juga menjadi kantong besar bagi Jokowi-Ma’ruf untuk mendulang suara. Situasinya berbeda dengan, misalnya, Jawa Tengah di mana NU hanya kuat di pesisir utara, dan di Jawa Barat yang hanya kuat di Cirebon serta sebagian Priangan Timur seperti Tasikmalaya dan sekitarnya.

Hal lain menurut M. Faishal Aminudin yang menguatkan suara NU bagi Jokowi-Ma’ruf, terutama di Jawa Timur adalah dua pilar NU yang tokohnya dalam beberapa kesempatan dekat dengan Jokowi, yakni Mbah Moen (K.H. Maimun Zubair) sebagai pilar jaringan kiai dan pesantren, serta Habib Luthfi bin Yahya sebagai pilar jaringan tarekat.

Infografik NU jawa timur dan jokowi maruf

Infografik NU jawa timur dan jokowi maruf. tirto.id/Fuad

Amaliyah, Fikrah, dan Harakah

Hal senada disampikan oleh Hasanuddin Ali, pendiri Alvara Research Center. Menurutnya, meski PBNU tidak secara formal mendukung salah satu kandidat, tapi para kiai di sejumlah pesantren besar secara terbuka memberikan dukungan terhadap Jokowi-Ma'ruf.

“Adanya perasaan psikologis yang sama di antara orang-orang NU menghadapi kelompok-kelompok Islam konservatif yang sebagian besar berada di 02, sehingga Pak Jokowi di basis-basis NU mengalami keunggulan yang signifikan” ungkapnya ketika dihubungi Tirto lewat telepon, Rabu (22/5).

Selain itu, meski Ma’ruf Amin bukan sosok kiai yang mengakar di kalangan nahdliyin, tapi seorang Rais Aam bagi warga NU sangat dituakan dan dihormati.

“Jadi saat Kiai Ma’ruf diambil oleh Pak Jokowi sebagai wakil presiden, maka mereka akan terpanggil untuk mendukung secara emosional,” imbuhnya.

Menyinggung soal kemenangan Prabowo-Sandiaga di beberapa wilayah Madura dan Tapal Kuda, baik Hasanuddin Ali maupun M. Faishal Aminudin mengatakan, karakteristik NU di Madura dan daerah-daerah lain di Jawa Timur cukup berbeda. M. Faishal Aminudin bahkan menyampaikan bahwa warga Madura telah banyak bergabung dengan organisasi massa Islam lain yang ekspresi politiknya lebih condong ke 02.

Sementara Hasanuddin Ali mengatakan bahwa orang-orang yang tinggal di Madura dan Tapal Kuda mempraktikkan amaliyah a la NU. Namun secara garis politik agak berbeda, mereka lebih konservatif dibandingkan NU di luar Madura.

Kemenangan Jokowi-Ma’ruf di Jawa Timur tentu tidak seratus persen, hal ini menurut Hasanuddin Ali disebabkan beberapa faktor, salah satunya karena memang ada juga kiai dan pondok pesantren yang punya hubungan historis dekat dengan Prabowo. Kunjungan-kunjungan Prabowo ke beberapa pesantren di Jawa Timur dalam beberapa tahun ke belakang membangun hubungan ini.

“[Mereka mendukung Prabowo] bukan karena Islam garis kerasnya, atau faktor PKS dan lain-lain, tapi mereka memang lebih dekat secara emosional dengan Prabowo,” ucapnya.

Lebih luas lagi Hasanuddin Ali menerangkan, pilihan politik NU dalam sejumlah Pilpres setiap lima tahunan biasanya bersandar pada kesamaan amaliyah, fikrah (pemikiran), dan harakah (gerakan).

Dalam konteks Pilpres 2019, saat pasangan Prabowo-Sandiaga didukung oleh sejumlah organisasi Islam yang prinsip gerakannya berbeda dengan NU, maka warga nahdliyin mayoritas tak sejalan dan menghindarinya.

Berdasarkan pemaparan keduanya, kemenangan Jokowi-Ma’ruf di Jawa Timur sebagai basis NU bukan ditentukan oleh PBNU secara struktural, melainkan oleh patron-patron yang mengakar di masyarakat. Bagi warga nahdliyin hal tersebut memang lumrah, karena bagi mereka kiai adalah teladan yang amat dihormati.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Politik
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Windu Jusuf