tirto.id - Anto, bukan nama sebenarnya, sudah sebulan dirumahkan. Omzet toko tempatnya bekerja sebagai office boy (OB) merosot sejak orang-orang diimbau beraktivitas di rumah saat pandemi COVID-19.
Hari-hari ini Anto hanya bergantung pada sisa uang dari upah terakhir yang dibayarkan sebelum ia berstatus pengangguran. Keluarga kecilnya tidak lagi memiliki pendapatan tetap karena sang istri bahkan terkena PHK.
Di sisi lain, perut harus tetap diisi dan iuran BPJS Kesehatan yang dinaikkan pemerintah tahun lalu dan belum turun meski keputusan itu sudah dibatalkan Mahkamah Agung (MA) tetap wajib dibayar. Belum lagi Anto juga harus mengeluarkan uang untuk menanggung mertuanya yang sudah janda.
Di tengah segala keterbatasan itu, Anto memutuskan untuk tak membayar dulu cicilan kredit motor. Alhasil, dia 'diteror' perusahaan pembiayaan.
Maka Anto senang betul ketika mendengar Presiden Joko Widodo menjanjikan pembayaran kredit kendaraan “diberikan kelonggaran selama satu tahun” pada Selasa (24/3/2020) lalu. “Tidak perlu khawatir,” kata Jokowi.
Pernyataan ini membuatnya yakin kalau pemerintah membolehkan orang-orang sepertinya untuk menunda pembayaran sampai situasi normal.
Anto segera mengajukan keringanan ke perusahaan leasing via email.Tapi jawabannya ternyata tidak seperti yang diharapkan: “Maaf, sampai saat ini kami belum ada perintah langsung dari OJK perihal pinjaman multiguna.”
Formulir pengajuan keringanan kredit yang ia isi terasa seperti pepesan kosong karena ia harus menerima 'teror' dari perusahaan pembiayaan.
“Dari pihak leasing terus menelepon dengan mengingatkan akan mengenakan denda penalti kepada saya,” ucap Anto kepada reporter Tirto, Rabu (8/4/2020).
Ifank Kerta, pedagang kaki lima di Jakarta Timur, juga menghadapi kondisi serupa. Ia kebingungan membayar angsuran kredit motor karena pendapatannya berkurang.
Perusahaan pembiayaan sebenarnya menawarkan semacam keringanan, yaitu perpanjangan tenor dari semula 15 bulan menjadi 27 bulan. Ifank merasa perpanjangan tenor tetap memberatkan karena toh ia tetap harus membayar pokok cicilan beserta bunga tiap bulan, padahal yang ia harapkan dari pernyataan Jokowi itu adalah ada kebijakan penghentian angsuran sementara waktu. Dus, ia saat opsi itu belum ia ambil karena tak mau masa kreditnya jadi makin lama.
“Denda tetap berjalan. Yang mereka tawarkan adalah perpanjangan tenor yang masih tersisa,” ucap Ifank kepada reporter Tirto. “Tabungan yang saya punya rasanya enggak cukup untuk bayar setoran untuk bulan-bulan yang akan datang.”
Rizqy, pengemudi ojol di kawasan Jakarta, belum mau mengajukan keringanan kredit yang dijanjikan pemerintah saat tahu apa yang dialami Ifank. Meski cicilan bulanan jadi lebih ringan dengan perpanjangan tenor, kata dia, opsi terbut tetap memberatkan karena membikin total bunga yang harus diangsur membengkak.
“Ini bukan solusi yang baik. Untuk mencari uang buat makan sehari hari saja sudah susah,” kata Rizqy.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menilai kasus Ifank dan Anto tidak bisa disimpulkan mewakili seluruh orang. Saat ini masih ada yang sanggup membayar bahkan berhasil melunasi utang.
“Harus lihat satu per satu kasusnya seperti apa,” ucap Suwandi kepada reporter Tirto, Rabu (8/4/2020), lalu menegaskan dalam situasi ini perusahaan juga terdampak. Mereka harus tetap menanggung upah karyawan dan biaya operasional lain.
Ia lantas mengatakan perusahaan pembiayaan bisa saja memberi keringanan sampai penundaan cicilan. Namun itu tergantung dari data yang ditanyakan kreditur dan jawaban debitur. Kreditur akan bertanya, misalnya, separah apa penurunan pendapatan para debitur dan apakah ada sumber pemasukan lain. “Kalau ternyata dia pekerja informal, punya warung tutup, ya buktikan,” katanya.
Alhasil, keringanan yang diberikan akan berbeda-beda, tergantung dari kondisi debitur. “Yang bisa diberi keringanan tentu karena masa krisis Corona ini, bukan yang sudah macet 90-100 hari,” kata Suwandi.
Pada akhirnya, Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) Ajib Hamdani menyimpulkan kebijakan relaksasi ini terkesan setengah hati.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 11 Tahun 2020 yang menjadi landasan relaksasi ini katanya hanya payung hukum jika perbankan/leasing bersedia memberi relaksasi kredit bagi nasabahnya. Artinya, POJK itu hanya bersifat imbauan dan relaksasi dikembalikan pada kebijakan masing-masing perusahaan.
“Makanya jadi menimbulkan dispute antara perbankan/leasing dengan nasabah,” ucap Ajib kepada reporter Tirto, Sabtu (28/3/2020).
Pernyataan ini dibenarkan juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot. Ia mengatakan keringanan akhirnya tergantung dari “kebijakan masing-masing bank/perusahaan pembiayaan.” “Baik bentuk restrukturisasi dan jangka waktu tergantung pada asesmen/penilaian terhadap profil dan kapasitas membayar debiturnya,” kata Sekar lewat pesan singkat, Rabu (8/4/2020) lalu.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana