tirto.id - Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Rosa Damayanti menyebutkan bahwa penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) harus ramah terhadap suara penyandang disabilitas mental. Hal ini karena penyelenggara pemilu dinilai abai dalam mendata suara penyandang disabilitas mental.
“Saya merasa sangat sedih karena KPU dengan bangga mengklaim keberhasilannya mendata kaum disabilitas pada pemilu 2015, sementara orang dengan disabilitas mental tidak didaftar oleh KPU,” ujar Yeni kepada awak media dalam acara diskusi publik “Pemenuhan Hak Pilih Disabilitas Mental dalam Penyelenggaraan Pemilu 2019” di Media Center Bawaslu RI, Jumat (24/8/2018).
Yeni memberi contoh kasus yang terjadi di DKI Jakarta, apabila KPU tidak mendapat tekanan dari para LSM peduli kaum disabilitas di setiap pemilu dan pilkada, maka KPU seringkali tidak mendaftarkan mereka menjadi peserta pemilu.
“Misal di DKI, dari 2.600 penyandang, yang didaftarkan tidak sampai 400 orang,” kata Yeni.
Hal ini juga terjadi di beberapa tempat di antaranya Yayasan Kaum Disabilitas Galuh di Bekasi dan sebuah panti disabilitas milik Kementerian Sosial di Sukabumi.
“Kami melakukan pemantauan di beberapa panti dan yayasan. Di Bekasi, Yayasan Galuh. Terdapat 418 orang penghuni dan tak satupun didaftar oleh KPU Bekasi sebagai pemilih. Padahal kita sudah berkali-kali mendesak KPU Bekasi agar didaftar, ke KPU nasional juga,” jelas Yeni.
Menurut Yeni, Undang-Undang (UU) telah menjamin penuh hak-hak kaum disabilitas untuk memilih dalam pemilu tanpa pengecualian, termasuk kaum disabilitas mental. Hal ini diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 Pasal 5, yang berisi penyandang disabilitas yang memenuhi syarat, mempunyai kesempatan yang sama sebagai Pemilih, sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai Penyelenggara Pemilu.Artinya, kaum difabel memenuhi syarat untuk memiliki kesempatan menyalurkan hak pilihnya dalam pemilu. Kaum difabel dinyatakan tidak memenuhi syarat jika terdapat surat dokter yang menunjukan bahwa orang tersebut kehilangan kemampuannya untuk memilih.
Hal ini juga diatur dalam Pasal 13 Huruf g UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Aturan itu menegaskan kelompok difabel berhak memperoleh akses pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, bahkan pemilihan kepala desa.
Yeni juga menyebutkan terdapat dua alasan KPU tidak mendaftarkan kaum disabilitas mental. Pertama, karena ketidakpahaman dari KPU daerah/RI tentang penyandang disabilitas. Mereka menganggap kaum disabilitas mental memiliki gangguan jiwa yang akut, padahal gangguan jiwa sendiri memiliki parameter dari ringan hingga gangguan jiwa berat. Kedua, ketiadaan e-KTP sehingga memiliki kesulitan untuk pendataan.
Yeni pun tetap optimistis tahun depan akan lebih banyak para penyandang disabilitas mental mendapatkan hak pilihnya. “Saya berharap karena tahun depan akan ada pesta demokrasi akbar, kita menginginkan setiap penyandang disabilitas mental wajib dan dapat memilih di Pileg dan Pilpres 2019,” ujar Yeni.
Penulis: Larasati Ayuningrum
Editor: Alexander Haryanto