Menuju konten utama

Penyebab Terjadinya Tsunami di Selat Sunda

Gunung Anak Krakatau yang memicu tsunami di Selat Sunda merupakan satu dari 127 gunung berapi aktif di Indonesia.

Penyebab Terjadinya Tsunami di Selat Sunda
Foto udara letusan gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Minggu (23/12). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan telah terjadi erupsi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda pada Sabtu, 22 Desember 2018 pukul 17.22 WIB dengan tinggi kolom abu teramati sekitar 1.500 meter di atas puncak (sekitar 1.838 meter di atas permukaan laut). ANTARA FOTO/Bisnis Indonesia/Nurul Hidayat/pras.

tirto.id - Indonesia terletak di zona “cincin api” Pasifik. Ditandai dengan banyaknya gunung berapi yang aktif secara seismik, serta secara teratur mengalami gempa bumi dan tsunami. Gunung Anak Krakatau yang memicu tsunami di Selat Sunda merupakan satu dari 127 gunung berapi aktif di Indonesia.

Tsunami ini diyakini disebabkan karena adanya letusan gunung berapi yang diikuti tanah longsor di bawah laut. Sayangnya, tidak ada getaran seismik yang signifikan untuk mengindikasikan datangnya tsunami. Juga memberikan waktu yang sedikit bagi pihak tanggap bencana untuk memberikan peringatan kepada masyarakat.

Ahli Geologi Gempa Ben van Der Pluijm seperti dilansir dari The Guardian mengatakan, kemungkinan tsunami di Selat Sunda disebabkan oleh ketidakstabilan gunung berapi aktif. Ketidakstabilan itu menciptakan longsoran batu yang menggerakkan volume besar air laut. Lalu terjadilah gelombang tsunami lokal yang punya potensi sangat kuat.

“Ini seperti tiba-tiba menjatuhkan sekantong pasir ke dalam bak berisi air,” kata Ben mengilustrasikan seperti dikutip dari The Guardian.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) lewat siaran pers dengan judul “PERISTIWA TSUNAMI DI PANTAI BARAT BANTEN TIDAK DIPICU OLEH GEMPABUMI” Sabtu (22/12/2018) lalu menyatakan, peristiwa tsunami yang terjadi di Pantai Barat Provinsi Banten itu setidaknya dipicu oleh tiga hal:

Pertama, gelombang tinggi karena cuaca.

Pada tanggal 22 Desember pukul 07.00 WIB hingga tanggal 25 Desember pukul 07.00 WIB BMKG telah memberikan peringatan dini terkait gelombang tinggi yang terjadi di wilayah perairan Sunda. Dari laporang tim lapangan BMKG, pada pukul 09.00-11.00 WIB terjadi hujan lebat dan angin kencang di perairan Anyer.

Kedua, erupsi Gunung Anak Krakatau.

Pada pukul 21.03 WIB BMKG berkoordinasi dengan Badan Geologi melaporkan Gunung Krakatau mengalami erupsi kembali. Ini menyebabkan peralatan seismometer setempat rusak, tetapi aktivitas seismik di Stasiun Sertung merekam adanya getaran tremor terus menerus (meski tidak ada frekuensi tinggi yang mencurigakan).

Berdasarkan rekaman seismik, getaran tersebut tidak disebabkan oleh aktivitas gempa bumi tektonik. Namun karena adanya aktivitas seismik yang berdurasi kurang lebih 24 detik dengan frekuensi 8-16 Hz. Peristiwa ini terjadi pada pukul 21.03.24 WIB.

Ketiga, tsunami di Banten dan Lampung.

Berdasarkan pengamatan sementara tide gauge (alat pendeteksi dan perekam tsunami), didapatkan data: (a) Tide gauge Serang di Pantai Jambu, Desa Bulakan, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang tercatat pukul 21.27 WIB dengan ketinggian 0,9 meter. (b) Tide gauge Banten di Pelabuhan Ciwandan, Kecamatan Ciwandan tercatat pukul 21.33 WIB dengan ketinggian 0,35 meter. (c) Tide gauge Kota Agung di Desa Kota Agung, Kecamatan Kota Agung, Lampung tercatat pukul 21.35 WIB dengan ketinggian 0,36 meter. (d) Tide gauge Pelabuhan Panjang, Kecamatan Panjang Kota Bandar Lampung tercatat pukul 21.53 WIB dengan ketinggian 0,28 meter.

Baca juga artikel terkait TSUNAMI SELAT SUNDA atau tulisan lainnya dari Isma Swastiningrum

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Isma Swastiningrum
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno