Menuju konten utama

Penyebab dan Sejarah Konflik Mesuji yang Kini Terjadi Lagi

Sejarah konflik di Mesuji diperkirakan mulai muncul sejak runtuhnya rezim Orde Baru dan terus berulang hingga kini.

Penyebab dan Sejarah Konflik Mesuji yang Kini Terjadi Lagi
Aparat melakukan pengamanan di areal bentrok di Mesuji. ANTARA Lampung.com/HO/Damiri

tirto.id - Bentrok antar kelompok warga terjadi di Mesuji, Lampung, pada Rabu (17/7/2019) lalu dan hingga Jumat (19/7/2019) ini menewaskan 5 orang. Sejarah konflik di Mesuji sebenarnya sudah tergurat sejak lama dan menelan korban nyawa yang diduga lebih banyak.

Dua kubu yang bertikai dalam polemik beberapa waktu lalu adalah warga Pematang Panggang Mesuji Raya dan warga KHP Register 45 Mekar Jaya Abadi. Tercatat 5 orang tewas dan beberapa lainnya luka-luka akibat luka bacok. Jauhnya jarak rumah sakit dari lokasi kejadian membuat penyelamatan korban agak terhambat.

Menurut Kabag Penum Divisi Humas Mabes Polri, Kombes Pol Asep Adi Saputra, bentrokan itu diduga terkait perebutan pengelolaan lahan yang termasuk hutan lindung oleh sekelompok warga. Kelompok warga lainnya merasa berhak menggarap areal tersebut meskipun hutan lindung sebenarnya tidak boleh dimanfaatkan oleh masyarakat.

“Benturan kelompok masyarakat karena melakukan sebuah upaya untuk mengelola tanah yang sebenarnya berada di hutan lindung dan itu tidak boleh," sebut Adi Saputra, di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (18/7/2019).

Riwayat Tragedi di Dua Mesuji

Sejarah konflik di Mesuji sudah berlangsung cukup lama. Oyos Saroso H.N. dalam artikelnya berjudul “Cerita tentang Tragedi Mesuji” yang diunggah TerasLampung (10 Mei 2014), membeberkan asal-muasal terjadinya polemik berdarah di kawasan ini.

Sebenarnya, tulis Oyos Saroso, ada dua daerah bernama Mesuji di Sumatera. Yang pertama berada di Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung, dan yang kedua termasuk wilayah administratif Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan.

Dua wilayah Mesuji ini semula berupa belantara, termasuk yang disebut hutan lindung di dalamnya. Namun, sebagian rimba ini kemudian menjadi perkebunan sawit yang dikelola perusahaan besar yang memperoleh Hak pengelolaan hutan (HPH) serta Hak Guna usaha (HGU) dari pemerintah Orde Baru.

Setelah rezim Orde Baru tumbang dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998, polemik di dua Mesuji mulai muncul. Sejak 1999, masyarakat adat yang menghuni dua kawasan ini menuntut hak atas tanah atau hutan yang diklaim milik negara dan telah dikelola oleh perusahaan sawit.

Bentrok mulai terjadi antara warga kontra tenaga sekuriti swasta atau pasukan pengamanan masyarakat swakarsa (pam swakarsa) yang disewa perusahaan sawit tersebut, juga aparat keamanan. Namun, polemik kemudian berkembang menjadi gesekan antar-kelompok warga, termasuk pendatang, yang sama-sama merasa berhak mengelola kawasan hutan di situ.

Bersimbah Darah di Lahan Merah

Polemik di Mesuji sebenarnya sudah muncul sejak 1999. Namun, yang tercatat berdasarkan data dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), setidaknya ada tiga konflik berskala cukup besar yang terjadi antara tahun 2009 hingga 2011, ini belum termasuk kejadian terbaru pada 17 Juli 2019 lalu.

Tanggal 14 Desember 2011, warga dari kedua wilayah Mesuji (Lampung dan Sumatera Selatan) mengadukan kasus berdarah itu ke Komisi III DPR di Jakarta. Warga melaporkan adanya pembantaian warga yang diduga dilakukan oleh perusahaan sawit dan mengakibatkan korban jiwa sebanyak 30 orang.

Namun, Polri membantah jumlah korban tersebut. Dalam jumpa pers pada 21 Desember 2011, Kadiv Humas Polri kala itu, Irjen (Pol) Saud Usman Nasution, mengatakan bahwa jumlah korban tewas berjumlah 9 orang.

“Jadi, bukan 30 orang seperti yang diberitakan selama ini. Ini kami sampaikan supaya masyarakat tidak terprovokasi dan tidak mendapatkan informasi yang keliru,” jelas Saud Usman Nasution, dikutip dari Tempo (21 Desember 2011).

Mengenai perbedaan jumlah korban meninggal dunia antara versi warga dan klaim Polri, Komnas HAM berpendapat bahwa jumlah 30 orang itu merupakan akumulasi sejak awal konflik. Korban tewas tidak hanya dari warga, juga dari pihak perusahaan atau petugas keamanan.

“Laporan adanya 30 korban tewas kemungkinan karena itu merupakan jumlah akumulasi dari awal mula terjadinya konflik,” kata Ketua Komnas HAM kala itu, Ifdhal Kasim, dilansir TerasLampung.

Kini, setelah bertahun-tahun berlalu dan kejelasan tentang kasus-kasus itu belum terungkap jelas, darah kembali membasahi tanah Mesuji, lagi-lagi dipicu persoalan lahan yang diperebutkan lantaran ulah rezim masa lalu.

Baca juga artikel terkait BENTROK MESUJI atau tulisan lainnya dari Wisnu Amri Hidayat & Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Wisnu Amri Hidayat
Penulis: Wisnu Amri Hidayat & Iswara N Raditya
Editor: Iswara N Raditya