tirto.id - Culture shock sering disebut sebagai proses gegar budaya seseorang ketika berada di sebuah lingkungan baru.
Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan oleh Oberg untuk menggambarkan respons yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi, dan disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam suatu lingkungan budaya baru.
Mereka yang mengalami perpindahan suatu tempat atau peran dan bisa beradaptasi mungkin akan merasa nyaman-nyaman saja bertahan di lingkungan barunya.
Akan tetapi, bagi mereka yang tidak dapat bertahan akan mengalami kesulitan luar biasa.
Bahkan, kasus ini dapat mengganggu psikis seseorang dan memunculkan perasaan emosi berupa putus asa, depresi, dan ketakutan terhadap sesuatu yang baru.
Gejala yang dapat mendeskripsikan seseorang mengalami keadaan culture shock bisa terlihat ketika ia menjalankan kehidupan sehari-hari.
Contoh culture shock dapat kita lihat di masa pandemi saat kegiatan pembelajaran yang sepenuhnya berpindah ke mode daring.
Banyak mahasiswa dan siswa bahkan dosen yang guru yang mengalami culture shock kerap kali merasa stres karena terpaksa harus terus berada di depan layar. Ditambah dengan beban dalam mempelajari fitur-fitur daring untuk menunjang pembelajaran.
Bagi mereka yang tidak juga kunjung terbiasa, kegiatan pembelajaran daring ini tentu akan terasa sangat melelahkan.
Dampaknya bisa sangat beragam, mulai dari kelelahan secara fisik dan psikis, sampai ke gangguan depresi.
Dampak Negatif CultureShock
Dilansir laman Languages Alive, menurut Oberg ada enam aspek negatif yang timbul akibat dari culture shock, yaitu:
- Stres yang dipicu oleh psikologis karena harus menyesuaikan diri dengan lingkungan atau suasana baru.
- Rasa kehilangan yang berasal dari tidak adanya lagi teman lama, juga status dan peran terdahulu.
- Penolakan budaya lama dari lingkungan atau suasana baru.
- Ketidakpastian tentang ekspektasi peran dan identitas diri.
- Kecemasan dan penolakan terhadap cara hidup baru.
- Perasaan tidak berdaya karena tidak mampu bertahan dengan baik di lingkungan atau suasana baru.
1. Tahap Bulan Madu
Ditandai dengan antusiasme karena berada di lingkungan yang berbeda.
Tahap ini dapat berlangsung dari beberapa hari hingga beberapa bulan dan biasanya dialami oleh orang-orang yang memegang posisi penting dan tidak menemukan diri mereka dipaksa untuk menghadapi kesulitan hidup sehari-hari.
Misalnya seorang direktur yang harus pindah tugas ke kantor pusat dan sebagainya.
2. Tahap Frustrasi
Tahap penolakan ini terjadi ketika seseorang dipaksa untuk mengatasi kesulitan sehari-hari di lingkungan baru.
Termasuk di antaranya cuaca yang tidak bersahabat, bahasa (ketika pindah ke wilayah dengan perbedaan bahasa), masalah ketidaknyamanan, rasa tidak mampu, dan sebagainya.
3. Tahap Penyesuaian
Mereka menganggap lingkungan baru tidak peka terhadap situasi mereka dan mencari bantuan dari luar, misalnya pada seseorang yang tinggal di negara lain, yaitu rekan senegara mereka.
4. Tahap Penerimaan
Biasanya setelah melalui masa di lingkungan atau negara baru dan setelah bergelut dengan tahapan emosional, tahap terakhir dari culture shock adalah penerimaan.
Penerimaan tidak berarti bahwa budaya atau konteks baru dipahami sepenuhnya, tetapi itu berarti pemahaman bahwa kesadaran penuh tidak perlu berfungsi dan berkembang di lingkungan baru.
Selama tahap penerimaan, orang asing dapat mengumpulkan sumber daya yang mereka butuhkan untuk merasa dirinya seperti di rumah sendiri.
Penulis: Nika Halida Hashina
Editor: Dhita Koesno