tirto.id - Ketika Islam baru datang ke Indonesia, tak semua perempuan Indonesia yang menganut Islam memakai pakaian tertutup dan menutup kepalanya. Hanya segelintir perempuan saja yang benar-benar menutup kepala, leher, dan dadanya. Jilbab baru ramai dipakai ratusan tahun setelah Islam masuk ke Indonesia. Itu pun dengan bentuk yang bertahap.
“Dahulu kerudung ini merupakan bagian dari seragam sekolah anak perempuan di Muhammadiyah," tulis Niels Mulder dalam Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia (2001) dan Di Jawa: Petualangan Seorang Antropolog (2007). Muhammadiyah, yang didirikan Kiai Haji Ahmad Dahlan (1868-1923) pada 18 November 1912, sejak awal sudah berusaha membangun sekolah yang boleh dimasuki anak perempuan. Kerudung menjadi bagian dari pakaian yang mereka kenakan di sekolah.
Yogyakarta, tempat Muhammadiyah berkembang, menjadi saksi tumbuhnya kaum perempuan berkerudung. Di masa sekarang, kerudung terganti oleh jilbab yang baru ramai dipakai menjelang loyo dan remuknya Orde Baru. Di masa Ahmad Dahlan masih hidup, hanya sedikit perempuan di Indonesia yang memakainya.
Istri Ahmad Dahlan, Siti Walidah alias Nyai Ahmad Dahlan, adalah salah satu pemakai jilbab dalam sejarah jilbab di Indonesia. Kita bisa melihatnya dalam buku biografi Nyai Ahmad Dahlan (1981) yang ditulis Drs. Suratmin dan diterbitkan pemerintah Orde Baru. Di tahun 1920an, sebagai aktivis di organisasi perempuan Muhammadiyah, Aisyiyah, Siti Walidah sudah tampil berjilbab.
Di tahun 1930an, aktivis perempuan berjilbab lain yang cukup sohor adalah Rasuna Said. Menurut A.A. Navis dalam Surat dan Kenangan Haji (1994), jilbab yang dipakai Rasuna Said tergolong sebagai jilbab jenis mudawarah. Pada dekade yang sama, Siti Raham, istri Buya Hamka, juga memakai jilbab yang hampir sama dengan Rasuna. Juga aktivis perempuan lain: Roehana Koedoes.
- Baca perjuangan Rohana Koedoes: Menjadi Jurnalis Perempuan Pertama Secara Otodidak
Baca kisah Ahmad Dahlan:
- Baca kisah Ahmad Dahlan: Cara Ahmad Dahlan Memuliakan Perempuan dan Kisah Ahmad Dahlan dan Koreksi Waktu Subuh Muhammadiyah
Pelajar putri di sekolah-sekolah Muhammadiyah era 1920an juga kebanyakan berkerudung saja. Hal ini bisa dilihat dalam foto-foto lawas di buku Nyai Ahmad Dahlan (1981). Sebelum meninggalnya Ahmad Dahlan pada 23 Februari 1923, pelajar putri Muhammadiyah memang sudah memakai kerudung ke sekolah. Hal itu setidaknya terlihat sejak tahun 1922, dalam foto pelajar putri di Standardschool Muhammadiyah Bausasran Yogyakarta yang menjadi bagian dari buku Nyai Ahmad Dahlan. Mereka sudah berkerudung dengan bawahan jarik dan atasan kebaya.
Jika di level pelajar putri sekolah rendah saja sudah berkerudung, tentu saja di kalangan pelajar putri di sekolah guru atau kweekschool juga tak ketinggalan memakainya. Menurut catatan Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan (1981), “tahun 1923 Kweekschool Muhammadiyah Perempuan (Sekolah Guru Wanita) berdiri di Yogyakarta. Pada tanggal 1 Januari 1932, namanya secara resmi menjadi Madrasah Mualimat Muhammadiyah.” Selain Kweekschooldi Yogyakarta, Muhammadiyah juga punya sekolah keputrian.
Jika melihat catatan-catatan sejarah ini, sangat mungkin para pelajar putri Muhammadiyah menjadi golongan yang pelan-pelan memperkenalkan kerudung, dan belakangan jilbab, pada kaum muslimah lain di Indonesia.
Tak heran jika Nasruddin Anshoriy Ch. dalam buku Matahari Pembaruan: Rekam Jejak K.H. Ahmad Dahlan (2010), menyebut Ahmad Dahlan berjasa dalam tradisi pemakaian kerudung bagi perempuan di Indonesia. Abdul Munir Mulkhan juga punya pendapat sama. Dalam bukunya Kiai Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan (2010), Mulkhan menyebut Ahmad Dahlan sebagai orang “yang mentradisikan pemakaian kerudung bagi kaum perempuan yang belakangan merebak dalam tradisi atau model jilbab.”
Penggunaan kerudung oleh perempuan-perempuan Muhammadiyah tentu punya efek ekonomis. Selain terkenal sebagai sentra batik, Kauman yang dikenal sebagai pusat Muhammadiyah di Yogyakarta, merupakan daerah pengrajin sulam kerudung.
“Kerajinan menyulam kerudung ini muncul setelah adanya pergerakan Muhammadiyah,” tulis Adabi Darban dalam Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah (2000).
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani