Menuju konten utama

Penumpang Pesawat Turun: Maskapai Penerbangan Untung, Hotel Buntung

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, secara kumulatif angkutan udara domestik Januari-Juli 2019 tercatat sebanyak 43,6 juta orang. Angka ini turun sebesar 20,47 persen dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 54,8 juta orang.

Penumpang Pesawat Turun: Maskapai Penerbangan Untung, Hotel Buntung
Ilustrasi penumpang pesawat. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Dampak harga tiket pesawat yang mahal belum reda. Sepanjang periode Januari-Juli 2019, jumlah penumpang pesawat domestik anjlok 21 persen dengan hanya mengangkut 43,6 juta orang dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 54,8 juta orang.

Menariknya, penurunan jumlah penumpang yang signifikan tersebut ternyata tidak lantas membuat performa keuangan maskapai penerbangan memburuk. Sebaliknya, keuangan maskapai malah membaik.

Corporate Secretary PT Garuda Indonesia Tbk. Ikhsan Rosan menjelaskan keuangan maskapai sebenarnya sudah mulai mengalami perbaikan, meskipun jumlah penumpang yang diangkut saat ini masih terpantau rendah.

“Sebelumnya kan, harga penerbangan dengan moda transportasi yang lain itu hampir sama. Ya karena mungkin dulu perang harga atau apa lah itu dulu. Nah ketika harga kembali normal, mereka kembali ke moda sebelumnya,” tutur Ikhsan kepada reporter Tirto, Rabu (4/9/2019).

Moda angkutan udara, lanjut Ikhsan, memang tidak lagi jadi pilihan utama seperti dulu ketika tarif tiket pesawat masih rendah, atau kurang lebih setara dengan moda transportasi lainnya.

Untuk itu, ia tidak menampik penurunan jumlah penumpang pesawat diakibatkan kenaikan harga tiket. Namun demikian, ia menolak apabila tiket pesawat disebut mahal. Menurutnya, harga tiket pesawat justru berada di angka normal.

“Bukan mahal ya tapi harganya memang sesuai dengan cost yang dikeluarkan karena bagaimanapun kita harus menjaga kesinambungan operasional kita. Sehingga (tiket pesawat) nggak boleh dijual di bawah harga cost,” sambungnya.

Dalam lima tahun terakhir ini, tren penurunan jumlah penumpang pesawat baru terjadi pada tahun ini. Tahun-tahun sebelumnya, penumpang pesawat selalu tumbuh. Rata-rata tumbuh dua digit tiap tahunnya.

Tiket yang dinilai 'normal' itu pada akhirnya mengkompensasi penurunan penumpang, dan berdampak positif bagi maskapai, tak terkecuali Garuda Indonesia. Sepanjang semester I/2019, Garuda berhasil membukukan laba bersih sebesar US$24 juta dari sebelumnya rugi US$114 juta pada semester I/2018.

Hal senada disampaikan Direktur Niaga Citilink Indonesia Benny Rustanto. Menurutnya, tarif tiket pesawat sebenarnya tidak mahal karena sudah sesuai dengan keekonomian biaya produksi maskapai.

“Harga itu tak ada yang mahal, kita hanya mengikuti regulasi pemerintah. Airlines tidak melanggar TBA (tarif batas atas), kalkulasi yang tepat sekali masalah mengakomodir fuel dan lainnya dengan harga itu harga yang paling wajar,” tegas Benny.

Dengan penerapan tarif yang lebih adil bagi maskapai, keuangan maskapai penerbangan akhirnya pelan-pelan membaik lantaran tidak perlu lagi ‘banting’ harga demi menggaet jumlah penumpang sebanyak-banyaknya.

Kondisi keuangan yang membaik juga tercermin di PT AirAsia Indonesia Tbk. Sepanjang periode April-Juni 2019, AirAsia Indonesia berhasil mencetak laba bersih sebesar Rp11 miliar dari sebelumnya rugi sebesar Rp203 miliar pada periode yang sama tahun lalu.

Meski begitu, jika diakumulasi sejak awal tahun, AirAsia Indonesia sebenarnya masih merugi. Sepanjang semester I/2019, AirAsia Indonesia membukukan rugi Rp83 miliar atau turun 80 persen dari sebelumnya rugi sebesar Rp421 miliar.

Pengusaha Hotel Meringis

Namun, nasib sebaliknya dialami bisnis perhotelan dan restoran terutama di daerah tujuan wisata. Turunnya minat bepergian dengan pesawat dari wisatawan membuat okupansi perhotelan turun drastis.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, rata-rata okupansi hotel berbintang dalam tahun berjalan ini hanya 52 persen. Sementara tahun lalu, rata-rata okupansi hotel berbintang sekitar 57 persen.

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sudrajat mengakui bisnis perhotelan sedang dalam tekanan besar lantaran penurunan okupansi, terutama di luar Pulau Jawa, seperti Aceh, Kalimantan hingga Papua.

"Okupansi hotel di luar Jawa tentunya yang turun. Bahkan Bali juga turun, meski sebenarnya tidak terlalu jadi persoalan buat mereka. Tapi kalau ke tempat lain misal ke Aceh, harga tiketnya lebih mahal ketimbang ke Kuala Lumpur," kata Sudrajat ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis (5/9/2019).

Sudrajat tak merinci berapa besaran penurunan dari okupansi hotel itu. Namun yang pasti, kondisi ini disebabkan harga tiket pesawat yang tak lagi terjangkau. Adapun, tingkat keterisian hotel di Pulau Jawa masih normal.

"Untuk okupansi di Pulau Jawa normal karena dulu harga tiket pesawat sama dengan tiket bus atau kereta api. Ya costumer kaget, jadi pada balik lagi, sebagian menggunakan bus dan kereta api. Yang kasihan tetap di luar Pulau Jawa," tutur Sudrajat.

Baca juga artikel terkait MASKAPAI PENERBANGAN atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Ringkang Gumiwang