tirto.id - Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) tidak ikut campur terkait tindakan deportasi yang dilakukan oleh otoritas Cina di Bandara Hongkong, Cina terhadap Abdul Somad pada Sabtu (23/12/2017).
Juru Bicara Kemenlu, Arrmanatha Nasir, menuturkan penolakan kedatangan Somad merupakan kewenangan penuh dari suatu negara.
"Hak untuk mengizinkan WNA masuk ke wilayah suatu negara adalah kedaulatan setiap negara, dan dapat dilakukan tanpa memberitahu alasannya," kata Nasir saat dihubungi Tirto, Minggu (24/12/2017).
Ia menerangkan, setiap negara memiliki kriteria untuk menolak orang asing masuk ke negaranya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Indonesia.
Hal yang sama juga dikemukakan Dirjen Imigrasi Kemenkumham yang menilai aksi penolakan guru agama Islam itu sebagai hal wajar sebab merupakan hak suatu negara.
"Cara kerja imigrasi menolak orang asing untuk masuk suatu negara itu merupakan kewenangan negara yang didatangi. Pada saat dia menolak orang asing untuk masuk, tidak ada kewajiban untuk memberitahukan kepada negara [asal]," kata Kabag Humas Ditjen Imigrasi Agung Sampurno kepada Tirto, Minggu.
Agung menjelaskan, peristiwa yang dialami Somad merupakan peristiwa keimigrasian pada umumnya. Ketika menolak, negara penangkal boleh untuk tidak memberitahukan alasan mereka menolak kehadiran seorang WNA. Orang yang ditangkal pun langsung dibawa kembali ke negara asal dengan pesawat yang membawanya.
"Kalau memang orang itu melakukan tindak pidana, jalurnya pakai interpol. Kalau ini, peristiwa keimigrasian biasa,” terangnya.
Ia mencontohkan kisah pemerintah Singapura menolak Ustad Solmed dan advokat Adnan Buyung Nasution saat dinas sebagai dewan penasihat Indonesia. Ia juga mencontohkan penangkalan Panglima TNI Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo oleh otoritas Amerika Serikat.
Indonesia pun, Agung menjelaskan, juga melakukan hal yang sama. Sejak tahun 2017 sampai saat ini, Indonesia sudah menolak 1800 WNA.
“Hong Kong boleh menolak siapa saja dan bukan hanya Indonesia. Banyak sekali Hongkong itu menolak masuk warga negara lain, sama halnya Indonesia. Nggak ada yang komplain," kata Agung.
Kabar penolakan Abdul Somad ia sampaikan melalui fanpage Facebook-nya, sehari setelah peristiwa.
Somad bercerita bahwa ia mendarat di Hong Kong pukul 15.00 waktu Indonesia (berdasarkan jam tangan yang waktunya belum disesuaikan dengan waktu setempat).
"Keluar dari pintu pesawat, beberapa orang tidak berseragam langsung menghadang kami dan menarik kami secara terpisah," katanya.
Somad bersama dua rekannya lalu diperiksa—kemungkinan pemeriksa adalah pihak imigrasi Hong Kong. Dompet Somad diperiksa, informasi yang ada pada semua kartunya ditanya. Somad mengatakan petugas bertanya mengenai identitas, pekerjaan, pendidikan, hingga afiliasi ormas dan politik.
Setelah 30 menit diperiksa, otoritas bandara mengatakan bahwa negara mereka tidak menerima Somad. Ia bersama rombongan langsung diantar ke pesawat yang sama dengan yang ditumpangi untuk pergi ke Hong Kong.
"Mereka langsung mengantar saya ke pesawat yang sama untuk keberangkatan pukul 16.00 WIB ke Jakarta," kata dia.
Somad tidak mengetahui pasti mengapa otoritas Hong Kong menolak kedatangannya. Namun ia menduga ini terkait dengan terorisme. "Mereka tertelan isu terorisme karena [pada kartu nama Rabithah Alawiyah] ada logo bintang dan tulisan Arab," duga Somad.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Yuliana Ratnasari