tirto.id - Direktur Utama PT MRT Jakarta William Sabandar menjelaskan soal tagihan yang disampaikan Pemerintah Jepang kepada Sandiaga Uno ketika Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Ia menegaskan bahwa pembayaran yang dimaksud bukan utang, melainkan pengerjaan proyek yang dilakukan pemerintah Jepang. Sementara utang, kata dia, adalah pinjaman uang yang diberikan oleh JICA (Japan Internasional Cooperation Agency).
"Kalau ini kan pembayaran kontraktor, jadi terhadap pekerjaan. Jd mereka ngerjain apa, kemudian harus di kita bayar," ujarnya saat dihubungi, Kamis (22/2/2018).
Pinjaman dana dari JICA yang disetujui pada 27 Agustus 2017 lalu digunakan untuk pembiayaan proyek PT Mass Rapid Transit (MRT) fase kedua sebesar Rp22,5 triliun serta pinjaman untuk fase pertama sebesar Rp2,56 triliun.
Menurut William, perusahaannya tak bisa serta-merta membayarkan uang yang ditagihkan Jepang kepada Wakil Gubernur itu. Sebab, kata dia, tagihan pembayaran kontraktor itu masih perlu diaudit ulang dan dipisahkan dengan tagihan lain yang juga belum dibayarkan PT MRT.
Audit itu dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi DKI agar nilai yang dibayarkan tidak kelebihan dan merugikan keuangan negara.
"Maksud saya kita menerapkan sebuah prosedur yang sesuai dengan tata kelola. Kita memang melakukan percepatan dan pembayaran semua kita uji dan lakukan," imbuhnya.
Jika perusahaannya membayar langsung yang ditagihkan pemerintah Jepang, ada memungkinkan nilainya bisa mencapai Rp20 triliun.
"Biasanya BPKP harus mengaudit dulu baru bayar. Tapi hasil [pengambilan] kebijakan, supaya tidak tertahan BPKP, oleh sebab itu ya kita putuskan dibayar saja dulu nanti akan dilakukan cost audit. Jadi audit setelah pembayaran di akhir tahun. Itu cara-cara yang kita lakukan untuk mempercepat pembayaran," tambah William.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Yantina Debora