tirto.id - Di antara peristiwa yang terjadi pada 25 Ramadan adalah penghancuran patung al-‘Uzza pada 8 Hijriah yang terjadi pada tahun penaklukan kota Mekkah (Fathu Mekkah) oleh pasukan Nabi Muhammad, bertepatan dengan 15 Januari 630 M.
Dari tiga berhala yang paling terkenal, kuil berhala yang terdekat dengan Ka’bah adalah al-‘Uzza di Nakhlah. Muhammad mengutus Khalid bin Walid untuk menghancurkan pusat penyembahan berhala itu.
Sebelumnya, Muhammad mendatangi berhala-berhala yang mengelilingi Ka’bah, yang seluruhnya berjumlah sekitar 360 buah. Muhammad bergerak di antara berhala berhala dan Ka’bah dengan mengulang-ulang ayat, “Kebenaran telah datang dan kebatilan telah hancur. Sesungguhnya kebatilan akan musnah selamanya” (Q. 17: 81), sembari menunjuk ke tiap berhala dengan tongkatnya. Setiap berhala yang Muhammad tunjuk wajahnya jatuh tersungkur. Kemudian, Muhammad menyuruh para sahabat untuk menghancurkan dan menguburkan berhala terbesar, Hubal. Muhammad juga mengumumkan agar setiap orang di seluruh kota Mekkah menghancurkan berhala di rumah mereka.
Menurut Abu Bakr Siraj al-Din (Martin Lings) dalam Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (2017), mendengar berita kedatangan Khalid, As-Sulami sang penjaga kuil langsung menggantungkan pedangnya di patung dewa itu. As-Sulami menyuruh sang dewa untuk menjaga dirinya sendiri dan membunuh Khalid, atau menjadi seorang monoteis. Khalid pun memutuskan untuk menghancurkan kuil berikut berhalanya dan kembali ke Mekkah.
“Apakah engkau tidak melihat sesuatu?” tanya Muhammad, “kembali dan hancurkan dia.”
Khalid kembali ke Nakhlah. Di antara puing reruntuhan kuil, ia temukan seorang perempuan hitam, telanjang, dengan rambut panjang acak-acakan. “Tulang belakangku luluh lantak,” ujar Khalid. Setelah berteriak, “al-‘Uzza, penolakan untukmu, tidak penyembahan,” Khalid mengangkat pedangnya dan memenggal si perempuan, lalu mengambil harta benda yang tersimpan di dalam rumahnya (Lings, 2017: 441).
Sewaktu kembali, Khalid berkata kepada Nabi, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari kematian! Aku terbiasa melihat ayahku keluar untuk al-‘Uzza dengan membawa persembahan seratus unta dan domba. Dia mengorbankannya untuk al-‘Uzza dan tinggal selama tiga hari di kuil itu, lalu kembali kepada kami dengan gembira atas apa yang dia capai!”
Nabi Muhammad pun bersabda, “Itulah al-‘Uzza yang terpegah. Ia tidak akan disembah khalayak lagi selamanya” (Lings, 2017: 441).
Sementara itu, mayoritas penduduk Mekah telah bersyahadat, kecuali Suhayl. Akan tetapi, setelah berlindung di rumahnya, Suhayl mengirim pesan kepada putranya, ‘Abd Allah, dan meminta sang putra menghadap Nabi atas namanya. Sebab, meskipun ada perlindungan umum, Suhayl belum percaya bahwa perlindungan itu berlaku pula baginya.
Ketika ‘Abd Allah berbicara kepada Muhammad, sang nabi segera menjawab, “Dia aman di bawah perlindungan Allah, maka biarkan dia menghadap.” Muhammad meminta kepada semua orang: “Jangan ada perlakuan kasar kepada Suhayl, jika kalian bertemu dengannya! Biarkan dia keluar dengan aman. Selama hidupku, dia orang yang cerdas dan terhormat, bukan orang yang buta terhadap kebenaran Islam.” Walhasil, Suhayl datang dan pergi dengan bebas, tetapi belum bersyahadat (Lings, 2017: 441-2).
Shafwan mengutus sepupunya 'Umayr untuk bertemu Nabi. Kemudian, ‘Umayr pergi menemui Muhammad dan melihatnya di Syu’aybah, sebuah pelabuhan di Mekkah, sedang menunggu kapal yang menurut rencana hari itu akan berlabuh. Shafwan curiga dan sama sekali menolak untuk mengubah rencananya, maka ‘Umayr kembali lagi kepada Muhammad. Rasulullah SAW memberikan serban bergaris-garis dari kain Yumani untuk diberikan kepada sepupunya itu sebagai tanda keselamatannya.
Dalam Sejarah Perjalanan hidup Muhammad (2003), Muhammad al-Ghazali mendedahkan bahwa hal-ihwal ini meyakinkan Shafwan yang memutuskan untuk kembali dan mencari kepastian lebih jauh lagi bagi dirinya sendiri.
“Wahai Muhammad,” ujar Shafwan, “’Umayr mengatakan kepadaku bahwa jika aku menyetujui sesuatu—maksudnya masuk Islam—itu akan baik, dan jika tidak, engkau memberiku tenggang waktu dua bulan.” “Tinggallah di sini. Engkau mendapatkan kelonggaran selama empat bulan,” kata Nabi, dan Shafwan setuju untuk tinggal di Mekkah (al-Ghazali, 2003: 276).
Di antara ketiga orang yang menghadap Muhammad pasca-pembebasan Mekah itu, ‘Ikrimah-lah yang terakhir datang menemui Muhammad. Tapi dari ketiganya pula, 'Ikrimah adalah orang pertama yang masuk Islam. 'Ikrimah memutuskan untuk berlayar dari pantai Tihamah ke Abyssinia. Tatkala ia naik ke kapal, kapten berkata kepadanya, “Bayarlah atas nama Tuhan.” “Apa yang harus kuucapkan?” tanya ‘Ikrimah. ”Ucapkanlah, tiada tuhan selain Allah,” jawab sang kapten.
Lelaki itu mendedahkan bahwa ia takkan menerima penumpang yang tidak bersyahadat karena takut karam. Empat kata "la ilaha illallah" merasuk ke dalam sanubari ‘Ikrimah. Saat itu, ia sadar dapat mengucapkan kalimat itu dengan tulus (al-Ghazali, 2003: 276).
Sekalipun demikian, 'Ikrimah tak kunjung naik kapal. Sebab, satu-satunya alasan ia mengucapkan empat kata itu adalah menghindari ajaran Muhammad yang terangkum dalam "la ilaha illallah". Jika 'Ikrimah dapat menerima hidayah di atas kapal, maka ia dapat menerimanya di padang pasir.
“Tuhan kami di laut adalah Tuhan kami di darat,” tekad 'Ikrimah, sebelum akhirnya ia dijemput istrinya yang mengatakan bahwa Nabi telah menjamin keamanannya di Mekkah. Mereka pun segera kembali. Muhammad sudah tahu bahwa 'Ikrimah akan datang dan memberi tahu para sahabatnya. Muhammad mengatakan: “’Ikrimah putra Abu Jahl dalam perjalanan menuju kalian dan dia telah beriman. Karena itu, jangan mencerca ayahnya sebab mencerca yang telah mati, berarti mencerca yang hidup dan tidak berpengaruh bagi yang mati” (al-Ghazali, 2003: 278).
Setibanya di Mekkah, ‘Ikrimah langsung menghadap Muhammad. Dia mengucapkan salam dengan wajah penuh sukacita.
“Hari ini, engkau mestinya tidak meminta apa pun kepadaku, tapi aku memberimu kesempatan," ucap Rasulullah.
“Aku memohon kepadamu,” kata ‘Ikrimah, ”tolong mohonkan ampun kepada Allah atas permusuhanku kepadamu selama ini.”
Muhammad berdoa seperti yang diinginkan 'Ikrimah. Lalu, ‘Ikrimah berbicara perihal uang yang dia belanjakan dan tentang berbagai peperangan yang bertujuan untuk menghalangi orang-orang mengikuti kebenaran yang diwahyukan oleh Rasulullah SAW. ‘Ikrimah berjanji akan membelanjakan dua kali lipat dari jumlah itu dan berperang dua kali lipat di jalan Allah, dan dia memenuhi janjinya (al-Ghazali, 2003: 278).
================
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang peristiwa dalam sejarah Islam dan dunia yang terjadi pada bulan suci kaum Muslim ini. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Kronik Ramadan". Kontributor kami, Muhammad Iqbal, sejarawan dan pengajar IAIN Palangka Raya, mengampu rubrik ini selama satu bulan penuh.
Editor: Windu Jusuf