tirto.id - Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo menilai integrasi data kependudukan dan perpajakan dapat mengatasi masalah pajak yang dikemplang.
"Perluasan akses ke data perbankan, integrasi NIK (nomor induk kependudukan) dan NPWP (nomor pokok wajib pajak), perbaikan koordinasi dan integrasi sistem administrasi, serta konsistensi penegakan hukum adalah ranah yang mesti digarap serius," kata Yustinus di Jakarta seperti dikutip dari Antara, Rabu, (24/2/2016).
Dalam jangka panjang, lanjut Yustinus, kebijakan integrasi data juga untuk mendahului era berlakunya Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan. Dalam era tersebut akan terjadi pertukaran informasi otomatis (Automatic Exchange of Information) yang akan diberlakukan di seluruh negara di dunia pada 2018 mendatang.
Yustinus mengatakan bahwa apabila pemerintah menempuh kebijakan tersebut, maka tidak ada lagi tempat bagi wajib pajak untuk menyembunyikan kekayaannya dari aparat pajak.
"Jika dimanfaatkan, kita menuju era wajib pajak akan semakin sulit menemukan sarang persembunyian untuk pajak yang dikemplang," katanya.
Yustinus memaparkan bahwa banyak wajib pajak yang menyimpan aset besar di luar negeri dan tidak melaporkan kepada institusi pajak.
Untuk diketahui, menurut data Tax Justice Network pada 2010, tercatat ada 331 miliar dolar AS atau setara Rp 4.500 triliun aset orang Indonesia yang ditempatkan di berbagai negara suaka pajak (tax haven), seperti Singapura dan lain sebagainya.
Sedangkan laporan Global Financial Integrity pada 2013 menempatkan Indonesia sebagai negara peringkat ketujuh dengan aliran dana tidak sah keluar negeri mencapai Rp 200 triliun per tahun.