Menuju konten utama

Pengalihan Status, Awal Mula Buruh Pertamina Jadi "Zombie"

PT Pertamina Patra Niaga mengalihkan status pekerja kontraknya ke perusahaan outsource pada 2012. Kini, para Awak Mobil Tangki (AMT) itu meminta status mereka diangkat jadi pekerja tetap.

Sejumlah Awak Buruh Mobil Pertamina yang terkena PHK melakukan longmarch dengan menggunakan kostum zombie dari LBH Jakarta menuju Istana Negara, Jakarta, Jumat, (21/102017). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Saat terjadi ramai-ramai pemogokan Awak Mobil Tangki (AMT) pada pertengahan tahun lalu, pihak Pertamina sempat memberikan klarifikasi. Mereka mengaku tidak pernah melakukan PHK.

Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga, Rudy Permana mengatakan, pihaknya tidak pernah melakukan PHK terhadap AMT. Menurutnya, yang melakukan pemutusan hubungan kerja adalah rekanan dari Perusahaan Pemborong Pekerjaan Pengangkutan seperti PT Garda Utama Nasional, PT Ceria Utama Abadi, PT Absolute Service, PT Prima Perkasa Mandiri, dan PT Ardina Prima.

Oleh karenanya, segala tuntutan yang diarahkan kepada mereka dinilai salah alamat. Buruh-buruh ini seharusnya menuntut kepada perusahaan dimana mereka bekerja.

"Karena mereka bukan karyawan Pertamina Patra Niaga, bagaimana kami bisa mem-PHK mereka? Itu jelas dulu, karena kami tidak ada hubungan tenaga kerja di situ. Mereka ini sebetulnya adalah pekerja dari perusahaan pemborongan tadi," kata Rudi, seperti dikutip dari Antara.

Baca juga: Jalan Panjang Awak Mobil Tangki Pertamina Mencari Keadilan

Klaim ini dibantah oleh pekerja AMT sendiri. Nuratmo, Ketua AMT, mengatakan bahwa semua bermula pada 2012 lalu, ketika Patra Niaga mengalihkan pekerja kontraknya ke perusahaan outsource yang tadi disebutkan. Jadi alih-alih mengangkatnya jadi pegawai tetap sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Patra Niaga justru menjadikan mereka sebagai pekerja outsource di perusahaan rekanan.

"Tahun 2007 sampai 2012, kami ini pekerja Patra yang dikontrak lima tahun. Tapi mulai 2012 malah divendorkan. Ini menyalahi aturan. Namanya orang kerja kontrak 'kan maksimal tiga kali perpanjangan, setelah itu diangkat (jadi pekerja tetap). Bukan malah divendorkan," terang Nuratmo kepada Tirto, Jumat (20/10/2017).

Sebetulnya, mereka telah melakukan protes sejak pertama kali dialihkan. Namun, sebagaimana pengakuan Nuratmo, advokasi urung dilakukan karena pimpinan serikatnya sudah di-PHK terlebih dulu. Baru kemudian pada 2016, advokasi kembali dilakukan dengan melaporkan pelanggaran Patra Niaga ke Suku Dinas Tenaga Kerja (Sudisnaker) Jakarta Utara.

Dalam nota pemeriksaan, Sudisnaker Jakut mendesak Pertamina mengangkat buruh AMT menjadi karyawan tetap Pertamina. Sebab selain karena ketentuan pekerja kontrak yang dilanggar, outsourcing tidak boleh diterapkan pada golongan pekerjaan inti, sementara jenis kerja AMT masuk di dalamnya.

Namun Patra Niaga bergeming, padahal telah beragam advokasi telah dilakukan AMT. Selain mengandalkan nota pemeriksaan Sudisnaker, mereka juga telah berupaya dengan menggelar mogok kerja selama dua hari, menyambangi Kementerian Tenaga Kerja berkali-kali, juga ke DPR Komisi VI dan VII. "Di Komisi VII keluar rekomendasi yang menyebut ada 'eksekusi' terkait PHK massal yang dilakukan Pertamina, tapi ya menguap begitu saja sampai sekarang," kata Nuratmo.

Baca juga: Komisi VII DPR: Tidak Perlu Ada PHK Awak Mobil Tangki Pertamina

Menurut Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, pengalihan status dari kontrak ke outsourcing adalah modus pelanggaran yang lazim terjadi di banyak perusahaan, tidak hanya Pertamina saja. Namun begitu, katanya, meski dialihkan ke perusahaan lain, tetap tanggung jawab berada di perusahaan utama.

"Meski disubkontrak ke berbagai perusahaan, tetap status kerjanya itu ya ke perusahaan utama, dalam hal ini PT Pertamina Patra Niaga dan PT Elnusa Petrofin," kata Isnur. Hal ini juga yang kemudian mendorong AMT untuk menuntut Pertamina, tidak hanya perusahaan outsource mereka.

Tindakan pemecatan yang dilakukan oleh Patra Niaga kepada AMT dinilai sebagai tindakan yang sewenang-wenang. Mereka melihat PT Pertamina telah melakukan pelanggaran UU Ketenagakerjaan dari beragam sisi. "Dalam UU 13/2003 itu yang namanya outsourcing sangat ketat syarat-syaratnya. Itu dilanggar semua oleh perusahaan outsourcing Pertamina," kata Isnur.

Dalam pemantauan LBH, anak perusahaan Pertamina ini sudah melanggar pasal 59 tentang kontrak kerja; pasal 65-66 tentang outsourcing; pasal 150-151 tentang hak normatif; serta melanggar pasal 160-170 karena sikap mereka yang sewenang-wenang.

Baca juga: Awak Mobil Tangki Pertamina akan Long March Bandung-Jakarta

Hari ini, puluhan AMT menggelar demonstrasi ke Istana Negara menuntut Presiden Joko Widodo campur tangan. Selain menuntut pencabutan PHK sepihak, mereka juga menagih janji kampanye Jokowi tentang "tiga layak untuk buruh", yaitu upah layak, kerja layak, dan hidup layak.

Mereka melakukan demonstrasi dengan pakaian kerja ditambahi bercak darah, menyerupai zombie, sebagai simbol kesusahan karena terkena PHK. Sebelum demo di Jakarta, mereka telah menggelar long march dari Bandung dengan rute tidak kurang dari 150 kilometer.

Paino (62 tahun), satu dari 1.000an buruh AMT yang di-PHK, sebetulnya punya keinginan yang begitu sederhana. Paino telah bekerja selama 15 tahun untuk Pertamina. Sebagai awak mobil, ia bekerja lebih dari 8 jam per hari selama 6 hari, dan diupah sebatas UMR tanpa uang lembur.

"Keinginan saya sih kita minta uang, itu saja. Uang pesangon, uang jasa lembur," katanya kepada Tirto.

Baca juga artikel terkait PERTAMINA atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Rio Apinino
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti
-->