tirto.id - Pengadilan Negeri Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat mengeluarkan putusan sela dengan menghentikan kasus empat ibu rumah tangga (IRT) yang dilaporkan oleh pabrik tembakau, Senin (1/3/2021). Putusan itu dibacakan Majelis Hakim yang terdiri dari Asri (Ketua), Pipit Christa, Maulida Ariyanti, serta Heri Supriyadin selaku panitera pengganti.
Empat IRT tersebut—Hultiah, Nurul Hidayat, Maritini, dan Fatimah—dilaporkan karena dituding melakukan pengrusakan spanduk pabrik tembakau di daerah rumah mereka. Hal tersebut imbas dari protes mereka karena pabrik tersebut mengeluarkan polusi udara yang meresahkan warga.
“Menyatakan keberatan dari Penasihat Hukum para Terdakwa diterima, menyatakan bahwa surat dakwaan Penuntut Umum Nomor Reg. Perk. PDM-05/PRAYA/02/2021 tanggal 17 Februari 2021 batal demi hukum, dan memerintahkan pemeriksaan perkara a quo dihentikan dan mengembalikan berkas perkara kepada Penuntut Umum,” kata Hakim Ketua Asri, Senin kemarin.
Majelis Hakim menilai bahwa tuntutan Kejaksaan Negeri Lombok Tengah tidak memenuhi syarat materiil sebuah surat dakwaan yang seharusnya menguraikan dengan cermat, jelas, dan lengkap, mengenai tindak pidana yang didakwakan. Pertimbangan Majelis Hakim juga sesuai dengan keberatan kuasa hukum para terdakwa.
Isi tuntutannya menyebut perbuatan empat orang ibu tersebut yang membuat spanduk pabrik tembakau UD. Mawar Putra penyok membikin kerugian hingga Rp4,5 juta dan melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHP.
Pengacara publik KontraS, Tioria Pretty mengatakan, semua berawal pada kejadian 26 Desember 2020. Empat orang ibu tersebut resah karena bau menyengat yang mengganggu kesehatan muncul dari pabrik tembakau itu.
“Sebagai bentuk protes, empat ibu secara spontan melakukan pelemparan spanduk perusahaan dengan batu dan batang singkong sambil berteriak agar perusahaan tidak mengeluarkan bau dari dalam gudangnya,” kata Pretty lewat keterangan tertulis yang diterima wartawan Tirto, Selasa (2/3/2021).
Kata dia, mereka protes juga karena selama ini pemerintah dan pihak perusahaan mengabaikan protes warga sejak delapan tahun lalu. Setelah peristiwa pelemparan itu, pihak perusahaan ternyata melaporkan keempat ibu ke polisi.
Pretty juga mengatakan bahwa proses hukum yang dialami oleh keempat IRT itu terkesan dipaksakan dan terhitung cepat.
“Para Terdakwa sekitar seminggu setelah pelemparan tersebut langsung dipanggil oleh penyidik Polres Lombok Tengah, yang dalam waktu sebulan dilakukan pelimpahan para terdakwa ke Kejaksaaan Negeri Lombok Tengah, dan dilakukan penahanan di rutan Polsek Praya Tengah 2 hari dan Rutan Praya 5 hari,” kata Pretty.
Apalagi, kata Pretty, selama proses hukum berjalan, pihak yang paling merasakan dampak buruk adalah anak-anak para ibu—yang notabene merupakan para pencari nafkah di keluarga masing-masing. Setidaknya, total ada 10 anak dari empat ibu tersebut—dan sebagian masih balita.
“Kesepuluh anak tersebut merasakan dampak yang begitu besar atas kasus yang terjadi pada ibu mereka, bahkan 5 dari 10 anak harus tetap ikut empat ibu menjalani proses hukum. 1 anak dari ibu Fatimah yaitu MN (6 th) sejak Desember 2020 sudah mulai sakit-sakitan yang puncaknya kondisinya melemah hingga tidak dapat bergerak pada bulan Februari 2021,” kata Pretty.
Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB sampai harus turun tangan untuk meminta penangguhan penahanan terhadap empat ibu tersebut bersama para balita. Para keluarga dari keempat ibu juga sempat meminta lindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz