tirto.id - Direktur Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi Selatan Abdul Kadir Wokanubun mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami proyek-proyek Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah yang lain. “KPK perlu melakukan pengembangan lebih jauh terkait beberapa kasus yang jadi sorotan,” ujar Kadir kepada reporter Tirto, Senin (1/3/2021).
Nurdin ditetapkan sebagai tersangka kasus pengadaan barang dan jasa, perizinan, dan pembangunan infrastuktur 28 Februari lalu. Tersangka lain, sang kontraktor, diduga memberikan uang pelicin agar ia dapat menggarap proyek lagi untuk tahun anggaran 2021. Sebelumnya yang bersangkutan telah menggarap banyak proyek--kebanyakan terkait pembangunan jalan.
Nurdin sendiri membantah soal itu dan menyalahkan anak buahnya, yang menurutnya “melakukan transaksi tanpa sepengetahuan saya.”
Salah satu proyek lain yang dimaksud Kadir adalah pengerukan pasir laut untuk Makassar New Port (MNP). “Kasus proyek MNP khusus pengerukan pasir laut melibatkan juga orang-orang dekatnya [Nurdin],” ujar Kadir.
Majalah Tempo edisi 19 September 2020 melaporkan orang-orang terdekat Nurdin “diduga mendapatkan karpet merah untuk memperoleh izin usaha pertambangan pasir.” Nurdin diduga berperan mempermudah perizinan dua perusahaan pengeruk, yaitu PT BLI dan PT NIT.
Direktur Utama BLI berinisial AN dan Direktur BLI berinsial AI sama-sama mantan anggota Tim Pemenangan Nurdin-Andi saat Pilgub Sulsel 2018. Keduanya juga menguasai setengah dari total saham PT NIT. Orang-orang ini tak bisa dimintai konfirmasi oleh Majalah Tempo, tapi Nurdin sendiri membantah memudahkan laju perizinan untuk dua perusahaan. “Selama itu sesuai aturan dan perundang-undangan, semua kami percepat,” ujar Nurdin.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha juga mendesak KPK menyelidiki proyek tambang pasir laut. ICW menduga Nurdin menekan bawahannya untuk memudahkan dua perusahaan tersebut mendapatkan Amdal.
“Kasus Nurdin juga menunjukkan pentingnya pengawasan terhadap proyek-proyek infrastruktur secara keseluruhan,” ujar Egi.
Terkait dugaan tersebut, Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan akan fokus terhadap perkara utama terlebih dulu. Meski begitu ia mempersilakan masyarakat menyampaikan informasi yang diketahui kepada KPK. “Informasi yang diterima KPK akan kami tampung dan tindaklanjuti dengan pendalaman,” ujar Firli.
Menabrak Semangat Bung Hatta
Saat menjabat sebagai Bupati Bantaeng, Nurdin mendapatkan penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) 2017. Ketika itu dewan juri menilai Nurdin memiliki komitmen tinggi membangun daerah secara bersih tanpa korupsi.
Sesaat setelah Nurdi ditangkap KPK pada 27 Februari 2021 dini hari, akun resmi @BungHattaAward menyampaikan keprihatinan dan menerapkan asas praduga tidak bersalah dalam perkara ini.
Zainal A Mochtar, salah satu dewan juri BHACA 2017, menilai penghargaan ini semestinya ditarik. “Sangat perlu untuk ditarik. Semalam rapat sudah banyak usulan dan catatan, mereka akan ambil langkah segera,” ujar Zainal kepada wartawan, Senin.
Bivitri Susanti, juga dewan juri BHACA 2017, pun sama. “Yang jelas BHACA itu bukan tentang award itu sendiri sebagai 'hadiah', tetapi karena ada pesan soal pemberantasan korupsi […] Kalau memang ia melakukan apa pun yang sudah merusak semangat anti korupsi yang didorong Bung Hatta, maka sudah sepatutnya ditarik,” ujarnya kepada wartawan, Senin.
Meski begitu menurutnya hal tersebut harus melewati berbagai tahapan dan hati-hati, tidak bisa terburu-buru.
Nurdin berstatus tersangka bersama Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Sulsel Edy Rahmat dan Direktur PT Agung Perdana Bulukumba Agung Sucipto sebagai penerima.
Nurdin dan Edy disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999 Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Sedangkan Agung disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino