tirto.id - Penerimaan dana repatriasi hasil program tax amnesty alias pengampunan pajak dalam bentuk investasi obligasi dan saham perusahaan belum maksimal. Sejak pemberlakuan program yang tahap pertamanya berakhir pada Jumat (30/9/2016) malam kemarin, transaksi harian di PT Mandiri Sekuritas yang mencapai Rp500 miliar per hari tidak mengalami perubahan yang berarti.
Mandiri Sekuritas merupakan satu dari 19 perantara pedagang efek yang telah ditetapkan sebagai "gateway" dana repatriasi amnesti pajak. Mandiri Sekuritas sebagai perusahaan efek memiliki 54.000 nasabah yang berinvestasi di pasar modal dan membukukan nilai transaksi sebesar Rp80,8 triliun dengan pangsa pasar 3,9 persen pada Agustus 2016.
"Kami melacak di bisnis ritel dan sejauh ini belum signifikan. Kami terus melakukan pemantauan internal supaya bisa mendapatkan 'disclosure' dari nasabah berapa transaksi yang melibatkan amnesti pajak," kata Direktur Utama Mandiri Sekuritas Silvano Rumantir di Bandung, Minggu (2/10/2016).
Selain itu Silvano juga mengatakan bahwa perantara pedagang efek juga kesulitan melacak uang investasi dana amnesti pajak karena bukan merupakan entitas penerima tabungan. Kondisi ini berbeda dengan bank dan manajer investasi yang langsung berinteraksi dengan nasabah ritel.
"Yang lebih bisa melacak uang investasi adalah bank, cuma memang kami kerja sama dengan Bank Mandiri terkait amnesti pajak. Mandiri menyediakan ke nasabahnya alternatif produk. Kalau ada yang tanya instrumen, maka kemudian ada menu untuk ditawarkan, salah satunya sekuritas," ujarnya seperti dilansir Antara.
Lebih lanjut, Silvano menjelaskan jika nasabah bank dan manajer investasi bisa saja menggunakan dana hasil repatriasi amnesti pajak untuk membeli produk obligasi dan saham. Namun, perusahaan perantara pedagang efek tidak punya akses ke nasabah-nasabah yang membeli obligasi tersebut karena tidak ada kewajiban pelaporan siapa nasabahnya ke perusahaan efek.
"Kami hanya bisa mengetahui manajer investasi yang menanungi nasabah tersebut. Misalnya, PT Schroder Investment Management Indonesia tidak mungkin melaporkan siapa nasabahnya ke perusahaan efek, tetapi mereka hanya lapor ke kantor pajak," ucap Silvano.
Masih Ada Tahap Dua dan Tiga
Sementara itu, hingga 2 Oktober 2016 pukul 10.30 WIB, Direktorat Jenderal Pajak melalui laman amnesti pajaknya mencatat terdapat 372.428 surat pernyataan harta (SPH) dengan uang tebusan amnesti pajak berdasarkan SPH senilai Rp89,2 triliun. Komposisi harta hasil repatriasi dan deklarasi tercatat Rp3.621 triliun yang terdiri atas deklarasi dalam negeri Rp2.533 triliun, deklarasi luar negeri Rp951 triliun dan repatriasi Rp137 triliun.
Hasil ini telah melampaui harapan, namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan, bahwa ini adalah tahapan pertama. Masih ada tahapan yang kedua dan ketiga yang bisa diikuti lagi oleh seluruh wajib pajak, dunia usaha, dan masyarakat.
“Jadi masih ada kesempatan lagi pada tahapan kedua dan nantinya tahapan ketiga yang kita harapkan betul-betul program tax amnesty ini betul-betul tuntas. Yang belum deklarasi juga silakan gunakan kesempatan yang baik ini,” kata Presiden Jokowi saat memantau perkembangan terakhir pelaksanaan tax amnesty, di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jumat (30/9/2016) malam.
Menurut Jokowi, keberhasilan program tax amnesty tahap pertama ini karena ada sebuah kepercayaan atau trust dari masyarakat dan dunia usaha kepada pemerintah khususnya di bidang perpajakan. Karena itu, Jokowi menilai ini adalah sebuah momentum untuk mereformasi perpajakan, memperluas basis pajak, dan tentu saja meningkatkan rasio pajak di Indonesia.
Jokowi mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh wajib pajak, dunia usaha, dan masyarakat yang telah berpartisipasi dalam program tax amnesty tahap pertama ini. “Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh petugas pajak, seluruh aparat pajak yang dalam 3 bulan terakhir ini betul-betul bekerja. Dalam sebulan terakhir ini bekerja sampai tengah malam, saya lihat sendiri,” ungkapnya sebagaimana dikutip laman resmi Sekretariat Kabinet Republik Indonesia.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan