tirto.id - Di suatu sore pada November 2019, Balairung Universitas Hasanuddin, Makassar, riuh oleh kuliah umum yang disampaikan Herawati Sudoyo. Kuliah peneliti senior Eijkman Institute itu adalah salah satu acara dalam Wallacea Week 2019—rangkaian peringatan 150 tahun terbitnya The Malay Archipelago karya naturalis Alfred Russel Wallace.
Herawati Sudoyo tengah menceritakan sejarah pribadinya. Melalui beberapa salindia sederhana, dia menggambarkan kode genetik sebagai muasal dirinya.
“Saya memiliki DNA Neanderthal. Itu hominin, bukan Homo sapiens, tapi kawin-mawin dengan Homo sapiens. Dari fragmen DNA terlihat, saya memiliki 2,7 persen keturunan Cina, yang bila dirunut baru masuk dalam DNA saya sekitar tahun 1710-1800,” tutur Herawati.
Ketertarikan Herawati pada genetika bermula dari keingintahuan akan sejarah keluarganya sendiri. Melalui genetika dia kemudian mengetahui, dirinya yang keturunan Kediri-Mojokerto-Madiun itu ternyata juga keturunan Cina dan bahkan spesies lain, Homo neanderthalensis. Materi genetik dalam DNA Herawati mengonfirmasi hal itu.
DNA atau asam deoksiribonukleat mencatat rapi semua informasi itu dan akan terus mewariskannya pada keturunan berikutnya. Komposisi DNA berubah-ubah mengikuti proses kawin-mawin yang terjadi sehingga menghasilkan informasi yang unik pada tiap individu.
Sejarah Penemuan DNA
Pada 1857-1864, seorang pendeta muda yang dua kali gagal ujian guru menyibukkan diri dengan percobaan mengawin-silangkan kacang Pisum sativum di kebun gerejanya. Gregor Johann Mendel, pendeta itu, bereksperimen untuk melihat pola keturunan dan pewarisan sifat yang dihasilkan.
Setelah melakukan eksperimen selama delapan tahun, Mendel dapat menyimpulkan bahwa makhluk hidup memiliki “faktor-faktor” yang dapat mewariskan ciri-ciri induk kepada anaknya. Saat itu Mendel tak memberinya nama atau sebutan khusus, tapi kini dunia ilmiah menyebutnya sebagai “gen”.
Pada 8 Februari 1865, Mendel menyusun hasil-hasil penelitiannya menjadi makalah yang dipresentasikan di depan Brunn Natural History Society (kini di Republik Chehnya). Mendel kembali mempresentasikan bagian kedua makalahnya sebulan kemudian, pada 8 Maret 1865. Setahun kemudian, makalahnya dipublikasikan melalui Proceedings of the Brno Natural Science Society.
Meski begitu, temuan Mendelitu sepi sitasi. Ia hanya dikutip 4 kali sejak terbit tahun 1866 hingga tahun 1900. Karya Mendel itu memang banyak dipuji, tapi banyak juga saintis masa itu yang gagal memahami signifikansinya.
“Kebisuan paling ganjil dalam sejarah biologi,” demikian komentar seorang ahli genetika seperti dikutip Siddharta Mukherjee dalam The Gene: An Intimate History (2016, hlm. 47-54).
Sementara penemuan Mendel terlupakan, pada 1869, seorang ahli biokimia Swiss bernama Fredrich Miescher berhasil mengidentifikasi nucleus dalam sel. Kemudian pada 1881, ahli biokimia Jerman Albrecht Kossel mengidentifikasi asam nukleat dalam sel yang memiliki kemampuan mewariskan sifat. Kossel lantas memberinya nama asam deoksiribonukleat (DNA).
Sejak itu, penelitian terkait materi genetik dan pewarisan sifat terus menunjukkan perkembangan. Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan masa ketika para ilmuwan perlahan mengidentifikasi kromosom manusia. Bersamaan dengan itu, Teori Mendel pun diangkat lagi dan memperoleh pengakuan yang semestinya.
Teori Mendel juga memandu pada penelitian penyakit genetik akibat gen resesif. Namun, penelitian yang dilakukan sampai sejauh itu masih belum menguak seperti apa dan bagaimana struktur informasi genetik yang terdapat dalam DNA.
Foto 51 Rosalind Franklin
Ranah gelap itu baru terbuka oleh perkembangan teknologi sinar x usai Perang Dunia II. Sebuah penemuan penting berawal dari riset-riset yang dilakukan oleh Rosalind Franklin.
Sejak 1947, Franklin melakukan penelitian postdoctoral di Paris sambil mengasah dirinya dalam teknik terbaru kristalografi sinar x. Ketika kembali ke Inggris pada 1951, Franklin ditugaskan mengembangkan laboratorium kristalografi sinar x untuk penelitian DNA di King’s College Laboratory, London.
Pada Mei 1952, Franklin dengan bantuan mahasiswanya Ray Gosling berhasil menangkap citra sinar x DNA. Foto citraan DNA itu lantas dikenal dengan sebutan “Foto 51”.
“Hasil fotonya adalah citraan sinar x yang terindah, bahkan jika dibandingkan dengan foto-foto lain dari substansi apa pun,” puji Ahli kristalografi J.D. Bernal yang juga atasan Franklin seperti dikutip Brenda Maddox dalam artikelnya yang terbit di jurnal ilmiah Nature (2003).
Meski telah mencatat dalam jurnalnya bahwa DNA memiliki dua rantai dan gugus fosfat, Franklin belum yakin akan bentuk berpilin ganda DNA. Saat itu, temuan itu pun tidak dipublikasikan oleh Franklin.
Lalu, pada awal 1953, Franklin memutuskan pindah ke Birkbeck College karena tidak betah bekerja di King’s College. Keputusan Franklin itu membuat semua penelitian tentang DNA di King’s College berhenti sementara. Penelitian lanjutan lantas dilakukan lagi oleh Maurice Wilkins.
Franklin dan Wilkins sebenarnya adalah kolega. Namun, keduanya enggan bekerja sama karena ketidakcocokan karakter.
Sebelumnya, pada musim semi 1951, Wilkins telah mempresentasikan citra buram DNA yang diambilnya dengan difraksi sinar x di Zoological Station di Naples, Italia. Konferensi itu kebetulan juga dihadiri oleh ahli genetika burung James Watson. Foto buram Wilkins rupanya membuat Watson terpikat.
Oleh karena itu, Watson pun lantas minta dipindah-tugaskan ke Laboratorium Max Perutz di Cambridge. Laboratoriaum itu rupanya juga sedang melakukan penelitian struktur molekul—bidang kajian yang paling dekat dengan penelitian Wilkins. Di Perutz Lab itulah Watson bertemu dengan Francis Crick yang menguasai matematika untuk kristalografi.
Tiga Makalah Satu Kisah
Mukherjee (hlm. 145-148) menyebut, Watson dan Crick pun segera menjadi sejoli penelitian pada 1952. Mereka berdua mendapat satu ruangan tersendiri untuk berbagi kegilaan, seperti dua bocah dilepas di taman bermain.
Pada akhir Januari 1953, Watson berkunjung ke King’s Laboratory. Saat itulah Wilkins memperlihatkan Foto 51 milik Franklin kepada Watson. Sebelumnya, Watson dan Crick sudah membaca laporan penelitian Franklin, termasuk jumlah rantai dan penjelasan singkatnya.
Bermodal data Franklin itu, Crick pun melakukan kalkulasi dan membangun model struktur DNA-nya sendiri. Model DNA buatan Watson dan Crick lantas diperlihatkan kepada Franklin dan Wilkins. Tanpa keraguan lagi, Franklin dan Wilkins tahu bahwa pemodelan itu akurat menggambarkan struktur DNA.
“Pada April 1953, jurnal ilmiah Nature menerbitkan tiga artikel berturut-turut tentang struktur DNA, bahan penyusun gen kita. Ketiga artikel itu merupakan salah satu penemuan ilmiah terpenting dalam sejarah,” tulis The Guardian.
Pada 25 April 1953—tepat hari ini 68 tahun lalu, sebuah pesta diadakan di King’s Lab untuk merayakan terbitnya tiga artikel itu. Artikel Watson dan Crick yang singkat—hanya 842 kata—berjudul “Molecular Structure of Nucleid Acids: A Structure for Deoxyribose Nucleic Acid”. Sementara itu, artikel pendukung dari Wilkins dan Franklin lebih panjang dan kaya data.
Dalam artikelnya, Wilkins menyatakan bahwa data eksperimen miliknya sesuai dengan pemodelan yang dibuat Watson dan Crick. Dia tak lupa menyebut bahwa pemodelan itu dimungkinkan berkat Foto 51 milik Franklin.
Sementara itu, Franklin melampirkan Foto 51 yang indah dalam makalahnya. Dia pun menyatakan, “Dengan demikian gagasan umum kami tidak bertentangan dengan model yang diajukan Watson dan Crick di artikel sebelumnya.”
Namun, Franklin memutuskan tidak ikut berpesta malam itu. Dia kembali ke Birkbeck dan menenggelamkan dirinya dalam penelitian struktur molekul virus.
Pada 1962, Komite Hadiah Nobel menganugerahkan Hadiah Nobel bidang kedokteran kepada James Watson, Francis Crick, dan Maurice Wilkins. Rosalind Franklin telah meninggal empat tahun sebelumnya akibat kanker rahim. Dia baru berusia 37 tahun saat itu. Keterpaparan sinar x yang tinggi selama melakukan penelitian diduga berkontribusi membuatnya sakit dan meninggal.
Arti penting penemuan struktur DNA
Tiga artikel tentang struktur DNA yang dimuat bersamaan itu merupakan terobosan baru bagi pemahaman sains hereditas. Menurut James D. Watson dalam DNA: The Story of The Genetic Revolution (2017), memahami genetika bukanlah sekadar untuk mengetahui mengapa kita mirip dengan orang tua kita, tapi juga untuk menghadapi musuh tertua manusia: kelainan dalam gen yang menyebabkan penyakit genetik.
Penemuan struktur DNA itu kini bahkan memungkinkan berkembangnya kedokteran presisi. Pengobatan penyakit di masa depan akan disesuaikan dengan profil genetik individu sehingga penanganannya lebih tepat, bukan generik. Bahkan, sebelum suatu penyakit bermanifestasi, seseorang sudah dapat diobati dengan melihat kelainan genetiknya.
Dalam Sarwono Lecture pada 28 Agustus 2020 lalu, Herawati menjelaskan manfaat analisis DNA untuk populasi Indonesia yang etnisnya sangat beragam. Misalnya, pengetahuan dasar molekul thalasemia (kelainan genetik pada sel darah merah) menjadi dasar penanganan penyakit dalam skrining populasi.
Berdasarkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Thalasemia 2018, kasus thalasemia terbanyak di Indonesia ditemukan pada suku Palembang, Jawa, dan Makassar (Bugis).
Ilmu genetika juga berhasil menguak bahwa penyebaran virus Hepatitis B ternyata mengikuti pola migrasi leluhur dan pengelompokan populasi manusia Indonesia. Tidak hanya itu, pemahaman proses penyakit di tingkat molekul juga membuka jalan untuk pencarian obat baru berdasarkan molekul protein DNA dari kekayaan khasanah genom manusia Indonesia.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi