tirto.id - Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto menilai akar masalah dari sulitnya penanganan bencana adalah kurangnya pengalokasian anggaran untuk bencana daerah.
“Banyak daerah yang mengalokasikan dana untuk bencana hanya sebesar 0,1 persen dari APBD,” ujar Eko di Gedung Media Center LIPI, Selasa (2/10/2019).
Menurut Eko, pengalokasian dana sebesar 0,1 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tersebut tidak cukup. Ia mencontohkan kerugian yang terjadi akibat gempa Padang tahun 2009 saja bisa mencapai Rp21 triliun dalam dua bulan setelah gempa.
“Sementara pengalokasian anggaran untuk BPBD Padang juga tidak banyak. Hanya Rp2,1 sampai Rp3,6 miliar per tahun. Dan itu sudah masuk biaya operasional atau belanja rutin yang menghabiskan sekitar 70 persen, atau Rp1,47 miliar hingga 2,52 miliar,” jelas Eko.
Menurut dia, gempa merupakan salah satu bencana yang memiliki siklus dan akan berulang. Dan berbeda-beda untuk setiap daerah. Untuk di Padang, kata Eko, siklusnya bisa saja terjadi dalam lima puluh atau seratus tahun sekali.
Oleh karena itu, diperlukan biaya investasi agar pemerintah daerah tidak merugi. Biaya investasi itu disebutnya sebagai anggaran Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Terkait dengan prinsip investasi tersebut, Eko juga mencontohkannya dengan kerugian sebesar Rp21 triliun dari gempa Padang.
Menurut Eko, agar kerugian sebesar itu tidak terulang lagi, maka diperlukan investasi sebesar Rp5 triliun untuk siklus seratus tahun. Artinya, setiap tahun pemerintah daerah Padang harus mengumpulkan anggaran PRB sebesar Rp50 miliar untuk mencapai angka tersebut.
Namun, Eko pesimistis anggaran PRB sebesar Rp50 miliar per tahun itu akan tercapai. Pasalnya, sisa anggaran 30 persen dari Rp2,1 hingga Rp3,6 miliar milik BPBD Padang hanya menyisakan rata-rata Rp825 juta.
Apabila anggaran tersebut ditambah dengan anggaran milik SKPD terkait, maka hanya mampu menutupi Rp10 miliar dari total kebutuhan PRB tiap tahunnya. Artinya masih ada kekurangan sekitar Rp40 miliar untuk biaya investasi yang harusnya Rp50 miliar per tahun.
“Pertanyaannya, dari mana kemudian kita akan menutup [kekurangan itu]. Karena daerah tidak punya uang, pusat juga sama. Karena tadi, kondisinya hanya 30 persen anggaran yang bisa digunakan untuk pembangunan,” tutur Eko.
Penulis: Rizky Ramadhan
Editor: Alexander Haryanto