tirto.id - Dalam rangka memperingati hari AIDS sedunia yang jatuh hari ini (1/12/2019), Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono mengklaim “penanganan HIV/AIDS sudah sangat komprehensif.”
“Mulai dari deteksi dini. Jika positif maka sudah disediakan tempat pengobatan di seluruh provinsi,” ujar Anung kepada reporter Tirto, Sabtu (30/11/2019) kemarin.
Ia juga mengklaim sebaran fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) sudah tersebar di 308 dari total 415 kabupaten. 1.063 fasyankes sudah menyediakan akses terhadap ARV atau antiretroviral--obat yang berguna untuk memperlambat perkembangan virus, bukan menyembuhkan.
“Ada dalam jumlah cukup,” ia menegaskan.
Berbeda dengan fasilitas yang diklaim cukup, persoalan mengendalikan HIV dan AIDS masih menemui masalah ketika berkaitan dengan faktor-faktor sosial, kata Anung. Stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) masih banyak ditemui. Hal ini pada akhirnya menghambat ODHA mengakses layanan tes dan pengobatan.
Untuk menangani persoalan ini, Anung menyebut solusi dari pemerintah adalah “melatih petugas kesehatan [soal] HIV/AIDS, dan memberi informasi kepada masyarakat luas.”
Stagnan
Namun penilaian berbeda disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC) Aditya Wardhana. Menurutnya upaya Kemenkes menangani persoalan HIV dan AIDS masih rendah, bahkan “bisa dibilang stagnan”.
“Karena kalau balik ke data UNAIDS. Insiden HIV new infections di Indonesia pada 2016 sekitar 48 ribu, 2017 49 ribu, dan 2019 46 ribu. Masih sekitar 40 [ribuan] dan tidak berubah signifikan,” ujarnya kepada reporter Tirto.
Hal lain yang membuatnya berkesimpulan pemerintah tidak maksimal adalah ketersediaan obat ARV yang terbilang minim. Aditya atau yang akrab disapa Edo mengatakan ODHA yang menjalani terapi ARV hanya 19,49 persen.
“Itu pun sedang ketar-ketir karena stok obat semakin menipis,” ujarnya.
Tipisnya stok ARV ia perlihatkan melalui data ARV Stock per 22 November 2019. Beberapa stoknya dalam kondisi merah, artinya di bawah angka kecukupan nasional. ARV yang memerah antara lain: ABC (300) 4,1 persen; EFV (200) 6,4 persen; EFV (600) 4,3 persen; TDF (300) 2,5 persen; TDF (300)/FTC (200) 1,5 persen; dan TDF (300)/3TC (300)/EFV (600) 5,9 persen.
“Makanya kami menyebut hari AIDS sedunia 2019 sebagai Indonesia darurat AIDS,” ujarnya.
Kondisi ketersediaan ARV yang menipis itu, menurutnya, membikin upaya Kemenkes menyediakan ribuan fasyankes menjadi percuma. “Buat apa? Penuhi dulu ketersediaan obatnya.”
Aditya juga merasa Kemenkes tidak serius menyelesaikan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Salah satu buktinya, misalkan, tidak ada kampanye publik yang masif. Hal ini pada akhirnya juga melanggengkan mitos-mitos terkait HIV/AIDS.
Kasus Anak
Rabu lalu, Anung Sugihantono mengatakan ARV untuk anak sulit didapat karena tidak ada yang memproduksinya di dalam negeri. Masalahnya, “karena jumlahnya [yang memesan] tidak terlalu banyak, tidak cukup menarik bagi importir.”
Pada akhirnya banyak ODHA anak yang mengonsumsi ARV untuk orang dewasa dengan terlebih dulu memotongnya jadi dua. Menurut Anung itu tidak masalah karena “pasti sama karena isinya sama, hanya lebih ke presisi dosis.”
Natasya Sitorus, Manajer Advokasi Lentera Anak Pelangi, program organisasi yang mendampingi anak yang terdampak HIV dan AIDS di DKI Jakarta, menyayangkan pernyataan Anung.
Soal potong ARV, menurutnya, “salah sekali,” sebab “obat yang tidak memiliki garis potong tidak semestinya dipotong.”
Anung juga dianggap tidak peka terhadap penderita ketika menjelaskan masalah sulitnya impor ARV.
“Mereka sebagai masyarakat yang lemah harus diperjuangkan, walaupun jumlahnya sedikit,” Natasya menegaskan.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino