tirto.id - Dalam memutuskan reshuffle atau perombakan kabinet, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai sama sekali tidak mempertimbangkan isu penuntasan pelanggaran HAM masa lalu sebagai variabel berpengaruh. Hal itu dilihat dari pilihan Presiden Jokowi atas Wiranto sebagai Menko Polhukam.
“Kehadiran Wiranto dalam kabinet hanya akan mempertebal impunitas pelanggaran HAM karena sulit bagi Wiranto memprakarsai penuntasan pelanggaran HAM berat, sementara dirinya diduga terkait dengan peristiwa- peristiwa itu,” kata Ketua Setara Institute, Hendardi, menanggapi reshuffle kabinet jilid II, Jakarta, Rabu (27/7/2016).
Hendardi menjelaskan, dugaan keterlibatan Wiranto terkait pelanggaran HAM bahkan cukup jelas dalam laporan-laporan yang disusun Komnas HAM.
“Saya termasuk yang pesimistis atas masa depan penuntasan pelanggaran HAM yang adil," ujarnya.
Ia menambahkan, janji-janji Jokowi yang terang benderang tertuang dalam Nawacita, besar kemungkinan akan menemui jalan buntu.
"Sekarang rakyat pasti memahami bahwa isu HAM hanya menjadi komoditas politik Jokowi untuk menundukkan lawan politik saat berkontes dalam Pilpres 2014 dan akan berulang pada Pilpres 2019," tutur Hendardi.
Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan menggantikan Luhut Binsar Panjaitan yang dipindah menjadi Menteri Koordinator bidang Maritim.
Jabatan tersebut diemban Panglima ABRI/Tentara Nasional Indonesia (TNI) periode 1998-1999 ini setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumumkan menteri baru hasil perombakan kedua Kabinet Kerja di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu.
Wiranto sebelumnya juga pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, namun kemudian mengundurkan diri.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari