Menuju konten utama

Pemerintahan Jokowi Dinilai Belum Mampu Atasi Kekerasan Perempuan

Solidaritas Perempuan menggugat tiga tahun pemerintahan Jokowi

Pemerintahan Jokowi Dinilai Belum Mampu Atasi Kekerasan Perempuan
hari Anti Kekerasan terhadap perempuan Menggugat Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi dengan judul Perempuan Berdaulat, Akhiri Ketidakadilan. FOTO/solidaritasperempuan.org

tirto.id - Pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla dinyatakan belum mampu membawa perubahan yang mengarah pada upaya mengakhiri segala bentuk kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan.

Hal ini disampaikan oleh Solidaritas Perempuan dalam peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, di Jakarta, Sabtu (25/11/2017).

Dalam keterangan tertulisnya, mereka juga menyampaikan bahwa saat ini marak aksi-aksi yang dilakukan kelompok ekstrimisme agama. Hal ini semakin diperparah oleh negara yang secara arogan memaksakan penggunaan tafsir-tafsir agama untuk mengontrol tubuh, pikiran, dan ruang gerak perempuan.

“Hal ini bahkan dilegitimasi oleh berbagai kebijakan diskriminatif yang melanggar hak perempuan dan digunakan sebagai marketing politik untuk memperoleh simpati publik mayoritas namun mengorbankan kepentingan kelompok lain, khususnya perempuan,” tulis mereka.

Mereka juga menyinggung sikap pemerintah Jokowi-JK saat mengeluarkan Perppu Ormas yang telah disahkan menjadi UU Ormas. Perppu Ormas tersebut, menurut Solidaritas Perempuan, semakin menunjukkan karakter represif pemerintah.

“Alih-alih melindungi perempuan, kebijakan ini justru akan mengancam demokrasi, meningkatkan kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap perempuan di berbagai konteks. Perempuan akan semakin kehilangan ruang untuk berpikir dan bersikap kritis dalam memperoleh hak-haknya, dan kelompok perempuan berada pada situasi terancam oleh penindasan dan ketidakadilan,” jelas mereka.

Mereka juga menilai proyek maupun program yang dilahirkan pemerintah saat ini berimbas pada terkungkungnya perjuangan perempuan korban konflik agraria, perempuan nelayan/pesisir, perempuan buruh migran dan perempuan marginal lainnya.

Mereka menyontohkan sistem yang berlaku pada buruh migran yang terus melanggengkan ketergantungan perempuan terhadap pihak swasta, dengan tidak diakuinya pekerja rumah tangga mandiri di dalam UU yang baru.

Menjadi buruh migran di tengah lemahnya perlindungan negara justru menambah lapisan ketidakadilan perempuan. Data SP menunjukkan sebanyak 90% kasus-kasus yang dialami perempuan buruh migran pekerja rumah tangga. Sayangnya, perubahan UU No.39 Tahun 2004 pun belum secara menyeluruh melindungi buruh migran, terutama perempuan pekerja rumah tangga migran.

“Perempuan Buruh Migran mengalami kekerasan dan penindasan dalam setiap proses migrasi, seperti penganiayaan, dicaci maki, perkosaan, gaji tidak dibayar, beban kerja dan waktu kerja yang eksploitatif, larangan berkomunikasi dengan keluarga, larangan beribadah, tidak mendapat fasilitas kerja yang layak, deportasi, hingga kriminalisasi dan menjadi korban perdagangan orang/trafficking,” terang SP.

Baca juga artikel terkait PEKERJA PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yulaika Ramadhani
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Yulaika Ramadhani