Menuju konten utama

Pemerintah Thailand Larang Demo dan Umumkan Keadaan Darurat

Pemerintah Thailand melarang aksi protes yang menarget Raja Maha Vajiralongkorn serta Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha.

Pemerintah Thailand Larang Demo dan Umumkan Keadaan Darurat
(Ilustrasi) pendukung monarki Thailand memegang foto mendiang Raja Bhumibol Adulyadej dan Ratu Ibu Sirikit di dekat Monumen Demokrasi tempat pengunjuk rasa anti-pemerintah berkumpul Minggu, 16 Agustus 2020 di Bangkok, Thailand. (Foto AP / Sakchai Lalit)

tirto.id - Pemerintah Thailand melarang aksi protes, yang diikuti dengan penangkapan sedikitnya puluhan orang serta tiga pemimpin protes oleh pihak kepolisian pada hari Kamis (15/10/2020) pagi waktu setempat.

Perintah ini sejalan dengan pengumuman “keadaan darurat”, dalam rangka menghadapi eskalasi demonstrasi yang menarget Raja Maha Vajiralongkorn serta Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha.

Mengutip CNN, di bawah perintah keadaan darurat, pemerintah Thailand melarang pertemuan lima orang atau lebih telah. Selain itu, mereka juga melarang publikasi berita atau informasi daring yang "dapat menimbulkan ketakutan" atau "mempengaruhi keamanan nasional".

Kamis pagi, hanya 30 menit setelah perintah darurat diumumkan, demonstran langsung dipukul mundur dengan alasan mengganggu iring-iringan mobil kerajaan. Sementara polisi juga menangkap beberapa massa yang berkemah di depan gedung perdana menteri.

Dilaporkan The Guardian, para pengunjuk rasa pro-demokrasi Thailand meneriakkan "pajak saya" dan memberikan penghormatan tiga jari secara simbolis pada iring-iringan mobil kerajaan yang sedang melintas. Polisi anti-huru hara pun langsung mengusir mereka.

Seorang juru bicara pemerintah mengatakan, PM Prayuth telah memerintahkan polisi untuk memastikan mereka yang terlibat dalam menghadang iring-iringan mobil kerajaan untuk dituntut secara hukum.

Sementara polisi mengonfirmasi, mereka telah menangkap lebih dari 20 orang karena menolak bekerja sama dengan petugas. Di antara mereka yang ditangkap adalah dua kritikus monarki yang paling vokal.

Pemimpin protes yang ditangkap antara lain pengacara hak asasi manusia Anon Nampa; aktivis mahasiswa terkemuka Parit Chiwarak, yang dikenal sebagai 'Penguin'; dan Panusaya Sithijirawattanakul, yang dikenal sebagai 'Rung'.

“Situasi saat ini sama saja dengan kudeta,” kata Tattep Ruangprapaikitseree, salah satu dari sedikit pemimpin protes yang masih bebas, dikutip dari Reuters, Kamis (15/10/2020).

Pemerintah mengklaim, tindakan ini sangat penting untuk diambil demi mengakhiri "kekacauan" secara efektif serta untuk menjaga perdamaian dan ketertiban. Alasan lain untuk tindakan darurat adalah kerusakan ekonomi akibat protes dan risiko penyebaran virus corona.

Sementara beberapa demonstran lain mengatakan, meskipun ada perintah darurat dan beberapa massa tertangkap, mereka masih berencana untuk melanjutkan aksi.

“Kami belum dapat memulihkan demokrasi yang sebenarnya,” kata Sun Pathong, 54 tahun, kepada Reuters.

"Aku akan kembali. Kami harus terus berjuang bahkan jika kami mempertaruhkan nyawa kami,” imbuh pria yang juga sudah melakukan protes sebelum Prayuth mengambil alih kekuasaan dalam kudeta 2014 lalu.

Gerakan protes, yang tercatat telah berlangsung selama tiga bulan, mempunyai tiga tuntutan utama. Dilaporkan BBC, yang pertama adalah menuntut PM Prayuth mundur, dengan alasan karena mantan pemimpin junta itu memanipulasi pemilu tahun lalu untuk mempertahankan kekuasaan.

Selanjutnya, demonstran juga menginginkan konstitusi baru dan menyerukan pengurangan kekuasaan raja. Mereka ingin keluarga kerajaan secara jelas tunduk pada konstitusi.

Di Thailand sendiri terdapat undang-undang lese majeste, yang melarang pencemaran nama baik raja dengan hukuman hingga 15 tahun penjara.

Pada akhir Agustus lalu, Facebook, atas perintah dari pemerintah Thailand, juga telah memblokir akses sekitar satu juta anggota grup yang membahas monarki di Thailand.

Baca juga artikel terkait THAILAND atau tulisan lainnya dari Ahmad Efendi

tirto.id - Politik
Kontributor: Ahmad Efendi
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Alexander Haryanto